Rapatkan Barisan Diantara Perbedaan

Oleh :
Agnes Devita Yuli
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo 

Indonesia yang menjunjung tinggi toleransi keberagaman sedang diuji ketahanannya. Kisruhnya polemik antara tagar #2019GantiPresiden dengan #2019DiaSibukKerja yang belum usai dan sempat viral di sosial media ternyata belum cukup menguji keutuhan negara ini.
Berita maraknya teror bom serta penangkapan beberapa orang yang diduga menjadi teroris sangat meresahkan masyarakat, ini menjadi tantangan untuk mengukur seberapa kuatnya Indonesia. Pasalnya, target lokasi bom yang dituju sangat tidak terduga dan jeda waktu antara lokasi satu dengan lokasi yang lain tidaklah lama. Terkait dengan itu, salah satu kemungkinan atas kejadian terorisme yang terjadi yakni munculnya stigma negatif terhadap salah satu agama, sebab sebagian besar pelaku kejadian keji tersebut mengenakan pakaian khas atas sebuah agama mayoritas di Indonesia. Teror bom selalu dikaitkan dengan isu agama yang sebenarnya jika diulas secara mendalam, aksi teror bom bukan dibawa oleh mereka yang mengatasnamakan agama yang terduga. Maka yang terjadi sekarang di Indonesia, beberapa oknum saling tuduh atas nama agama serta membenarkan keyakinan yang dianutnya.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang cukup melek teknologi, namun kurang selektif dan bijaksana dalam menyaring informasi. Itu dapat ditandai dengan beredarnya berita hoax mengenai lokasi peledakan bom yang belum diledakkan, lalu foto pelaku bom yang tewas serta para korban yang terkena bom. Berbanding lurus dengan itu, secara tidak langsung masyarakat “membantu” tujuan terorisme agar tercapai yakni menyebarkan ketakutan. Tujuannya agar masyarakat resah dan khawatir dengan aksi teror yang muncul. Kebingungan yang tumbuh juga terjadi pada diri masyarakat sebab kurang adanya sikap mencari tahu secara mendalam terhadap berita yang diterima, maka penyebaran berita tersebut semakin meningkatkan kecurigaan dan sikap kehati-hatian yang berlebihan pada lingkungan sekitar.
Pada hari Minggu, 13 Mei 2018 menjadi tanggal yang menyakitkan bagi negara ini. 3 gereja di Surabaya yakni Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Gereja Pantekosta, Gereja Kristen Indonesia di Jl Diponegoro menjadi sasaran aksi bom bunuh diri, yang ternyata dilakukan oleh satu keluarga yang terdiri atas ayah, ibu dan anak-anaknya. Hal yang sungguh mencabik hati ialah aksi tersebut tidak berhenti sampai disitu saja, bom bunuh diri juga terjadi di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo yang menewaskan satu keluarga yang juga terdiri dari ayah, ibu, serta seorang anaknya dengan dua orang anak pelaku selamat. Sebenarnya apakah yang dipikirkan dalam benak mereka dengan mengikut sertakan keluarga dalam aksi keji tersebut ? Jika mereka mengatasnamakan sebuah agama dengan cara menghancurkan dan menyebarkan teror di negaranya sendiri, apakah agama yang mereka peluk tidak mengajarkan untuk menyebar kebaikan tanpa mengangkat senjata ? Maka bisa dikatakan bahwa teroris bukanlah manusia yang beragama dan tidak memahami pancasila. Setiap agama mengajarkan kebaikan, perdamaian, bukan kebencian. Aksi teror bom yang dilakukan di Indonesia serta pelaku aksi yang berasal dari Indonesia sangat bertentangan dengan pancasila ketiga, Persatuan Indonesia, dimana terdapat nilai didalamnya yakni mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan. Serentetan aksi teror tersebut sangat memprihatinkan, dimana beberapa hari kemudian memasuki bulan suci Ramadhan. Pada hari yang sama pula, seluruh warga Indonesia mengemukakan sikap anti terorisme dan aksi menolak paham radikalisme. Berbagai media muncul beserta fakta-fakta yang mencengangkan atas pelaku aksi bom bunuh diri, dan alasan mengikut sertakan keluarganya dalam aksi kejam itu. Indonesia sedang darurat terorisme. Seluruh lapisan masyarakat turut andil dalam berbagai aksi perdamaian dan perlawanan terhadap terorisme. Komunitas Punk Muslim Indonesia salah satunya yang melakukan aksi perdamaian melalui campaign atau social experiment dengan membawa kertas bertuliskan “Peluk Saya Jika Kehadiran Saya Membuat Anda Nyaman”, “Aku Percaya Padamu”, Apakah Kamu Percaya Padaku? Maka Peluk Saya!”. Aksi yang dilakukan oleh sekelompok wanita bercadar dan lelaki muslim tersebut menuai perhatian dari masyarakat. Hal tersebut patut diapresiasi, sebab sebenarnya tidak ada keterkaitan antara aksi teror bom dengan mereka yang menggunakan pakaian khas sebuah agama (bercadar, celana cingkrang, dan sebagainya), hal ini sudah menjadi tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia untuk menghapus stereotip buruk terhadap seluruh agama yang diduga menjadi pelaku aksi teror bom di Indonesia. Patut kita pikirkan lebih dalam bahwa atribut yang mereka kenakan hanyalah sebuah media untuk memanipulasi masyarakat agar terjadi pertikaian antar agama, namun masyarakat Indonesia bukanlah mereka yang lemah, bahkan aksi-aksi teror tersebut menjadi tonggak seluruh masyarakat Indonesia untuk menjaga keamanan dan keutuhan dari apapun dan siapapun yang mencoba mengusik negara ini.
Presiden Jokowi dalam Konferensi Pers Presiden menegaskan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk melawan akan terorisme, dan membasi terorisme sampai ke akar akarnya. Ini menjadi sebuah alarm bahwa bukan saatnya lagi kita mengatas-namakan agama di atas segalanya, karena kita Indonesia, terdiri atas beragam suku bangsa dan agama. Aksi-aksi teroris semacam ini membuat Indonesia harus merapatkan barisan agar tidak mudah untuk digoyahkan.
Dengan adanya kejadian ini, membuat masyarakat terkoyak hatinya, dan tak membuat gentar untuk menghadapi aksi-aksi tersebut. Baru-baru ini Gusdurian Sidoarjo (sebutan untuk para murid, pengagum dan penerus perjuangan gusdur) menggelar aksi kepedulian dengan menyalakan ratusan lilin sebagai wujud kedukaan yang mendalam bagi para korban. Aksi yang diberi tagar #prayforsurabaya, #kamitidaktakut diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat dan pemeluk agama yang merasakan kedukaan yang menimpa saudara kemanusiaan mereka.
Maka, merapatkan barisan diantara perbedaan sudah menjadi sebuah kewajiban bagi seluruh elemen masyarakat. Pentingnya sebuah kepedulian terhadap lingkungan sekitar khususnya tetangga menjadi salah satu poin utama untuk meminimalisir adanya aksi keji tersebut. Kepedulian memiliki makna yang berarti, menjadi guyub dan rukun dimulai dari tingkatan paling dasar yakni desa ialah penting. Dengan sebuah kepedulian, manusia akan merasa dimanusiakan dan menganggap bahwa ia hidup memiliki tujuan yang jelas, yakni bersosialisasi dan saling memahami satu sama lain.
Lebih jauh dari itu, ideologi yang Indonesia anut yakni pancasila juga patut dipahami oleh seluruh lapisan. Pasalnya, pancasila menjadi pedoman hidup bagi bangsa ini. Baik dari jalannya negara, sistem, serta masyarakatnya diatur dalam pancasila yang notabenenya sudah menjadi dasar negara ini. Menjadi pancasilais bukanlah hal yang sulit, tidak hanya hafal dari sila pertama hingga kelima, namun implementasi dalam kehidupan yang lebih menjadi konsen hadirnya pancasila.
Menjadi beragam bukanlah halangan untuk terpecah belah, justru sebagai sumber kekuatan merapatkan barisan untuk melawan siapapun yang ingin mengusik kedamaian Indonesia , termasuk dengan terorisme yang sedang menarget beberapa lokasi lain di Indonesia. Masyarakat diharapkan memiliki sikap peduli terhadap tetangga, memahami secara menyeluruh pancasila serta nilai-nilai yang terdapat didalamnya, tidak saling menuduh dan memprovokasi antar agama karena Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: