RAPBD Jatim 2018 dan Optimalisasi Pendapatan Daerah

Oleh :
Irwan Setiawan
Anggota Komisi C DPRD Jawa Timur

Saat ini Pemerintah Propinsi Jawa Timur bersama DPRD sedang membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) tahun anggaran 2018. Sebagaimana disampaikan saudara gubernur dalam nota keuangannya, RKPD Propinsi Jawa Timur 2018 adalah: “Memacu Pembangunan Infrastruktur Dalam RangkaMeningkatkan Industri, Perdagangan, Efektifitas DanEfisiensi Pembiayaan Pembangunan Di Jawa Timur”. Ini artinya, postur dan performance RAPBBD 2018 harus menunjang tema, prioritas dan capaian-capaian yang dituangkan dalam program pembangunan sebagai turunan dari RKPD. Tema ini secara langsung atau tidak langsung akan memberikan konsekwensi pada akumulasi anggaran 2018 pada pembangunan infrastruktur. Mengingat pembangunan infrastruktur membutuhkan anggaran yang cukup besar.
Terkait dengan penyusunan RAPBD 2018 ini, penulis mendorong agar pembahasan RAPBD tahun anggaran 2018 Propinsi Jawa Timur ini diorientasikan pada bagaimana postur RAPBD 2018 ini mampu, selain menjawab target-target RPJMD dan target yang telah digariskan dalam RKPD 2018, tapi juga harus mampu menjawab problem sosial-ekonomi secara riil masyarakat di lapangan. Struktur dan performance APBD 2018 ini harus menjadi solusi riil dan komprehensif terhadap persoalan masayarakat saat ini dan kedepannya selama setahun.
Perangkaan RAPBD 2018
Sebagaimana disebutkan dalam nota keuangan Nota Keuangan Gubernur, Pendapatan Daerah pada Rancangan APBD Propinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2018 diproyeksikan sebesar Rp 28,043 triliyun, sementara belanja daerah diproyeksiken sebesar Rp 29,706 trilyun rupiah. Dengan melihat struktur perangkaan antar pendapatan dan belanja daerah tersebut diatas, maka diproyeksikan defisit anggaran pada tahun anggaran 2018 diperkirakan sebesar Rp 1,662 trilyun, yang mana defisit ini yang akan ditutup dengan pembiayaan netto.
Di nota kuangan, tertulis bahwa besarnya kekuatan Penerimaan Daerah adalah Rp 28,043 triliyun. Di mana, besaran penerimaan daerah yang berasal dari PAD adalah Rp 15,552 triliyun dan dari Dana Perimbangan adalah Rp 12,491 triliyun. Angka Penerimaan Daerah sebesar Rp 28,043 triliyun tersebut sangat mengejutkan karena lebih rendah dari pada besarnya Penerimaan Daerah pada APBD 2017 setelah perubahan, di mana angkanya mencapai Rp 28,881 triliyun. Pertanyannya, apa benar Penerimaan Daerah pada APBD tahun 2017 setelah perubahan lebih besar dari pada perkiraan Penerimaan Daerahpada RAPBD 2018 ?.
Proyeksi penurunan pendapatan daerah 2018 ini, dapat memberi indikasi; ada disparitas yang cukup lebar, antara potensi riil pendapatan dan proyeksi yang ditetapkan. Dalam rencana kebijakan pendapatan daerah yang baik, apabila proyeksi pendapatan yang ditetapkan, jaraknya/disparitasnya lebih dekat dengan potensi riil pendapatannya. Artinya kemungkinan ada lost income yang kurang dimaksimalisasi
Optimalsiasi Pendapatan Daerah
Salah satu indikator keberhasilan otonomi daerah dalam konteks pembiayaan pembangunan adalah, sejauh mana kemandirian daerah dalam mengelola dan meningkatkan pendapatan daerah untuk membiayai pembangunannya. Untuk membangun kemandirian ekonomi daerah, salah satunya dengan memaksimalkan potensi pendapatan daerah. Salah satu potensi pendapatan asli daerah (PAD) yang perlu didorong untuk optimalisasi adalah penerimaan pajak daerah, yang sampai saat ini masih menjadi tulang punggung pembangunan. Tahun 2018, penerimaan pajak daerah ditergetkan sebesar Rp 12,618trilyun, naiksebesarRp 439 milyar atau 3,60% dari target APBD tahunAnggaran 2017 sebesarRp 12,179 trilyun. Target penerimaan daris ektor pajak ini mestinya bisa dioptimalkan, terutama pada target pajak kendaraan bermotor, mengingat pertumbuhan kendaraan bermotor setiap tahun terus meningkat, apalagi didukung dengan target pertumbuhan ekonomi yang positif (5,2 – 5,4%). Selain itu, juga optimalisasi piutang pajak yang angkanya masih lumayan besar.
Selain pajak daerah, sumber penerimaan lain yang perlu dioptimalkan adalah Hasil pengelolaan Kekayaan daerah yang dipisahkan, khususnya kontribusi BUMD yang pada tahun 2018 diproyeksi sebesar Rp 376,118 milyar. Angka ini dinilai masih minimalis. Secara umum kinerja dari BUMD kita masih jauh dari harapan. Kita memiliki BUMD yang terbagi dalam 3 kategori, yakni (1). BUMD yang mengemban misi Sosial yaitu PT. PDAB dan PT Jamkrida. (2), BUMD yang berorientasi profit dalam jangka menengah atau 1 sampai 5 Tahun yang dituntut menghasilkan PAD tinggi yaitu PT. Bank Jatim, PT. Bank UMKM, PT. PWU, PT. SIER, dan PT. Askrida. (3), BUMD yang berorientasi jangka panjang atau investasi jangka panjang diatas 5 tahun dituntut menghasilkan PAD tinggi yaitu PT. JGU dan PT. PJU.
Dari BUMD yang dimiliki Pemprov, hanya PT. Bank Jatim yang kinerja lumayan bagus. Namun kontribusi dari BUMD-BUMD, khususnya yang profit oriented masih sangat minim, mestinya dapat dinaikkan.Target yang ditetapkan masih terasa kecil atau tidak sebanding dengan seluruh Asset yang dimiliki BUMD tersebut dan kontribusi APBD yang disuntikan ke BUMD tersebut.
Karena itu, Pemerintah Propinsi Jawa Timur didorong untuk terus melakukan revitalisasi BUMD melalui perbaikan dan pembenahan kinerja setiap BUMD baik dari sisi manajemen maupun keuangan. Sebagaimana dimaklumi bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi sumber utama arus pendapatan. PAD ini pulalah yang paling berperan memiliki kemampuan yang cukup besar untuk merealisasikan program-program pembangunan di Jawa Timur. Hanya saja sumber Pendapatan Asli Daerah ini masih sangat didominasi oleh Pajak Daerah. Sudah semestinya pemerintah Provinsi Jawa Timur menggali sumber pendapatan lain yang tidak membebani masyarakat. Salah satu yang bisa dioptimalkan adalah pendapatan yang berasal dari asset yang dipisahkan, yakni BUMD.

                                                                                               ———– *** ———–

Tags: