Rasio Peneliti Rendah, Kebutuhan Riset Tinggi

PenelitiUnair Surabaya, Bhirawa
Kebutuhan terhadap teknologi tepat guna terus meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk di Indonesia. Sayang, peningkatan penduduk dan kebutuhannya terhadap teknologi ini tidak seimbang dengan jumlah penelitinya. Di Indonesia, rasio peneliti bahkan hanya mencapai 4,7 per 10 ribu penduduk.
Jumlah peneliti yang memprihatinkan ini bahkan lebih rendah dibanding Malaysia yang rasionya 18 per 10 ribu penduduk. Sedangkan negara-negara maju pada umumnya memiliki rasio peneliti mencapai 80 per 10 ribu penduduk.
Menurut Manajer Riset Institute of Tropical Disease (ITD) Dr Eduardus Bimo Aksono, hal ini sangat memprihatinkan mengingat jumlah penduduk Indonesia yang terus meningkat dan diprediksi akan mencapai angka 273,1 juta jiwa pada 2015 mendatang.
“Konsekuensi yang akan dirasakan secara langsung adalah kebutuhan pangan dan energi yang ikut meningkat. Sedangkan ketersediaan lahan menurun,” kata dia saat  menjadi nara sumber Seminar Nasional bertajuk Mau Dibawa Kemana Ide Para Ilmuwan Indonesia, di Universitas Airlangga (Unair), Sabtu (20/9).
Keterbatasan lahan ini secara otomatis berdampak pada kebutuhan teknologi untuk perbaikan kualitas lahan dan teknik budidaya yang tepat. Dengan demikian, dibutuhkan riset untuk mendapatkan berbagai teknologi tersebut. “Sayang, rasio peneliti kita sangat rendah,” kata dia.
Selain jumlah peneliti yang kurang, kendala yang dihadapi Indonesia dalam akselerasi teknologi adalah terbatasnya fasilitas riset, lemahnya kerjasama lembaga riset dengan pemerintah dan industri, upah peneliti yang tidak diperhatikan, serta perilaku peneliti yang belum berorientasi pada kebutuhan masyarakat.
“Paradigma peneliti harus diubah dari dorongan rasa ingin tahu menjadi goal oriented research (berorientasi pada tujuan) untuk percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat,” kata dia.
Penelitian yang berorientasi pada tujuan adalah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tim pendamping kemahasiswaan Unair Dr Ganden Supriyanto mengatakan, jika setiap ide itu datang karena mengamati fenomena di masyarakat, bisa dipastikan hasilnya akan aplikatif.
Saat ini, banyak program pemerintah maupun perusahaan yang bertujuan untuk menjaring kreativitas mahasiswa.Salah satunya Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Harapannya, luaran dari PKM berupa produk aplikatif, publikasi, dan paten dapat menjadi solusi bagi permasalahan di masyarakat. Tidak sedikit industri yang melirik produk PKM yang memang layak dikomersialkan, begitu pula pemerintah yang membuat kebijakan merujuk pada hasil PKM tentu saja karena ide tersebut aplikatif.
“Sayang, penelitian tidak selalu menghasilkan produk atau kebijakan yang aplikatif. Padahal sebaik-baik IPTEK adalah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,” tutur dia.
Ganden yang juga menjadi reviewer PKM menilai bahwa sikap pemerintah yang memberikan prioritas dana penelitian pada penelitian yang luarannya jelas dan aplikatif adalah keputusan yang benar.
“Dalam PKM juga demikian. PKM yang baik adalah yang luarannya jelas dan potensial untuk dikomersialkan atau diaplikasikan pada masyarakat. Oleh sebab itu setiap PIMNAS Mendikbud juga mengundang pihak industri dan Dirjen HAKI,” tambah Ganden.
Ganden menanggapi ide-ide kreativitas mahasiswa yang belum bisa diaplikasikan itu berarti masih harus diperbaiki atau dikembangkan, paradigmanya bukan memaksakan ide pada masyarakat tetapi akar masalah dan ujungnya ada pada masyarakat. [tam]

Tags: