Rasisme dan Demokrasi di Media Sosial

Oleh :
Titania Riswanda D
Penulis, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Baru-baru ini dunia digegerkan oleh tindakan rasisme yang menimpa George Floyd, seorang warga Afrika-Amerika yang tinggal di AS. Kejadian ini berawal dari seorang yang melapor ke polisi karena bermasalah dengan konsumennya, yaitu Floyd. Diduga Floyd telah melakukan transaksi dengan menggunakan uang palsu sehingga pada akhirnya polisi datang dan membawa Floyd. Akan tetapi hal tidak terduga terjadi, seorang anggota polisi Minneapolis bernama Derek Chauvin menindih leher Floyd di aspal, sehingga membuat pria berusia 45 tahun tersebut tidak dapat bernapas dan pada akhirnya dinyatakan meninggal setelah beberapa saat.

Nampaknya kasus kematian George Floyd ini menyita perhatian seluruh negara di dunia bukan hanya Amerika saja. Banyak demo yang terjadi di Kota-Kota di AS, dan negara lain. Di Amerika sendiri banyak demonstran yang memberi penghormatan kepada Floyd di sekitar tempat dimana Floyd meninggal dengan membawa plakat,poster, dan slogan yang bertuliskan “Justice For George”, “I Can’t Breathe”, dan “Black Lives Matter”.

Bukan hanya di Amerika, negara lain seperti Iran, Rusia,Turki, China,dan lainnya juga menyuarakan kejadian yang menimpa Floyd. Di China demonstrasi juga ramai menyebar melalui platform media sosial China, yaitu weibo. Bahkan tagar BlackLivesMatter, JusticeForGeorge menjadi trending topik di Twitter dalam beberapa hari.

Kasus ini juga tentunya menarik perhatian warga negara Indonesia. Tagar BlacklivesMatter dan JusticeForGeorge juga menguasai trending topik di Twitter Indonesia selama beberapa hari. Kasus ini menjadi perbincangan hangat sehingga membuat beberapa warga negara kembali membahas kasus diskriminasi dan rasisme yang pernah terjadi di Indonesia seperti yang pernah dialami oleh Obby Kagoya mahasiswa asal Papua yang berkuliah di Yogyakarta, dan kejadian penggedoran gerbang asrama Papua yang dilakukan oleh sekelompok TNI di Surabaya. Tidak hanya itu, beberapa pengguna Twitter juga menyampaikan bahwa masih ada diskriminasi dan rasisme yang masih saja terjadi di Indonesia.

Demonstran di Media Sosial
Saat ini media sosial merupakan media komunikasi yang efektif, dan juga efisien serta memiliki peran penting di era globalisasi ini. Media sosial mempunyai peranan strategis selain sebagai sumber informasi, media sosial juga dapat menjadi sarana komunikasi antar sesama masyarakat, maupun antara masyarakat dengan pemerintah dalam menyampaikan keluhan dan aspirasinya. Seperti pada kasus yang terjadi pada Floyd diatas, warga negara Amerika tidak hanya menyuarakan suaranya untuk menuntut keadilan pada orang berkulit hitam secara langsung. Akan tetapi mereka juga menyuarakannya melalui media sosial hingga menjadi perbincangan yang hangat di kalangan masyarakat di dunia. Begitu pula dengan Indonesia, banyak pengguna akun media sosial baik di Twitter, Instagram, ataupun Facebook yang memakai tagar “BlackLivesMatter” dan “JusticeForGeorge”.

Seperti yang telah disebutkan diatas bahwasannya di Indonesia pun pernah terjadi tindakan diskriminasi dan rasisme yang kebanyakan dialami oleh rakyat Papua. Oleh karena itu banyak warga yang menyuarakan untuk menuntut keadilan pada rakyat Papua melalui akun Twitter mereka pribadi. Bahkan sampai ada tagar “PapuaLivesMatter” di Twitter yang juga menempati trending topic beberapa saat.

Di masa adanya wabah virus corona ini, memang tidak memungkinkan bagi demonstran untuk menyerukan aspirasinya secara langsung karena kewaspadaan akan penularan virus. Namun keberadaan media sosial sangat membantu rakyat untuk tetap mengeluarkan aspirasinya agar di dengar oleh Pemerintah.

Dengan demikian menunjukkan bahwa sebenarnya media sosial membantu membangun demokrasi, karena dari media sosial masyarakat dapat mengawasi pemerintahan dan isu-isu sosial. Selain itu kini pemerintah semakin berlomba-lomba menunjukkan apa saja kinerja mereka. Akan tetapi media sosial juga tidak selamanya bisa dapat membangun demokrasi, karena ketika pemerintah memberikan informasi atau membuat propaganda-propaganda politik yang memang ditujukan untuk membuat opini-opini public yang berbeda. Maka hal itu dapat membuat masyarakat krisis kepercayaan sehingga, perlahan mulai kehilangan rasa simpatiknya terhadap negeri.

Kekhawatiran lain yang ada pada Media sosial saat ini adalah siapa saja dapat menjadi jurnalis amatiran yang dapat mempublikasikan dan membuat berita. Tidak heran jika banyak berita bohong atau Hoax yang terus-terusan menyebar mengingat literasi bermedia yang cukup kurang di masyarakat. Sebaiknya kita harus bijak dalam bermedia, salah satunya dengan menggali terlebih dahulu kebenaran dan kredibilitas sumber berita yang kita dapatkan baru setelah itu kita juga menyerukan berita itu.

—————- *** —————–

Rate this article!
Tags: