Oleh :
Nurudin
Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi, Fisip, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Bom bunuh diri di depan Geraja Katedral Makassar (28/3/21) dan penembakan Zakiah Aini di Markas Besar (Mabes) Polri (31/3/21) menyita perhatian publik. Aksi yang diduga dilakukan oleh teroris tersebut membuat pemerintah dan masyarakat sibuk. Tak saja mencoreng sendi-sendi kerukunan umat beragama tetapi juga menyisakan masalah dasar yang belum terpecahkan sampai sekarang.
Bom bunuh diri tersebut membuka mata banyak pihak bahwa berbagai upaya yang sudah dilakukan tidak mudah untuk mengatasinya. Kasus terorisme dan semacamnya bukan hanya soal kasus bom bunuh diri, penembakan, terorisme tetapi tentu ada kasus lain yang terkait denganya. Jadi, ada banyak tali temali yang harus diurai.
Pemerintah tak lagi bisa abai berjalan sendiri untuk mengatasinya. Berbagai komponen masyarakat layak dilibatkan. Ini jika ada keseriusan untuk menekan tindakan terorisme. Pernahkan pemerintah secara terbuka membahas bersama-sama dengan seluruh komponen masyarakat? Persoalan terorisme juga menjadi problem masyarakat luas yang harus segera diatasi. Jika tidak, maka berbagai upaya untuk mendorong bangsa ini maju akan mengalami hambatan sedemikian lupa.
Bukti bahwa masalah terorisme multitafsir dengan munculnya pendapat bahwa terorisme tak ada kaitannya dengan agama atau terorisme bisa dilakukan oleh siapa saja. Masing-masing pihak akhirnya berbicara sesuai keinginan, kepentingan dan sudut pandangnya sendiri-sendiri.
Dua Realitas
Membahas terorisme memang menarik. Tetapi mengkaji dampak dari terorisnya tak kalah menariknya. Lebih khsusus lagi bagaimana media massa memberitakan kasus terorisme dan semacamnya tersebut.
Salah satu berita yang menarik dari media massa adalah terkait sumber berita yang dijadikan rujukan. Kebanyakan berita terkait terorisme banyak bersumber dari informasi resmi kepolisian, pakar, atau pejabat di institusi tertentu. Judul-judul berita yang dipilih pun terkait atau menunjukkan identitas para pejabat tersebut.
Kecenderungan di atas tentu menjadi masalah penting bagi perkembangan jurnalisme di Indonesia. Mengapa media-media tidak melakukan peliputan langsung di lapangan? Mengapa lebih cenderung mencari, mendapatkan informasi dari sumber-sumber resmi? Tentu saja tidak ada yang salah dari apa yang dilakukan media tersebut. Tetapi sebaiknya, kita mencoba mengkritisi lebih lanjut terkait dengan realitas berita media.
Ada dua realitas yang bisa dipakai untuk mengamati pemberitaan media. Ashadi Siregar (1987) menamakannya realitas sosiologis dan realitas psikologis. Keduanya hadir dan menjadi pilihan media untuk memberitakan kejadian dari lapangan.
Realitas sosiologis adalah apa yang dilakukan oleh individu, kelompok atau lembaga dalam interaksi sosial. Dengan kata lain sungguh-sungguh terjadi dalam realitas.
Contohnya berita terkait nasib masyarakat yang terkena korban banjir. Juga bisa berita demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dalam menuntut akan disahkannya UU Omnibus Law. Umumnya, informasi digali wartawan langsung dari lapangan. Inilah realitas sosiologis itu.
Sementara itu, realitas psikologis adalah apa yang dipikirkan atau dikatakan oleh individu atau kelompok dalam suatu masyarakat. Jadi pada dasarnya ia berada dalam dunia subjektif – sebagai lawan dari dunia objektif dalam realitas sosiologis.
Misalnya berita media yang diangkat dari omongan pejabat atau para pejabat terkait dengan nasib rakyat korban banjir. Juga bisa penjelasan atau omongan pemerintah dan anggota DPR terkait dengan demosntrasi mahasiswa saat protes UU Omnibus Law. Wartawan tidak terjun ke lapangan langsung untuk mencari berita, tetapi mendengar, mencatat, merekam dan menuliskannya dari omongan nara sumber.
Jika realitas sosiologis adalah apa yang dilakukan dalam tindakan, maka realitas psikologis adalah apa yang dipikirkan tentang tindakan tersebut. Informasi yang diangkat dari realitas psikologis inilah informasi yang disebut sebagai informasi yang mengacu atau berorientasi pada realitas psikologis.
Catatan Penting
Sekarang coba kita melihat berita-berita media massa terkait terorisme. Bagaimana realitas berita yang dibangun media massa atas kejadian terorisme? Tanpa kita menyimpulkan dengan sebuah penelitian, maka media massa kita lebih cenderung berada dalam realitas psikologis. Artinya media massa kita banyak yang menjadikan pejabat atau omongan orang lain sebagai sumber pemberitaan. Jarang mereka terjun langsung dengan mengemati atau menginsvestigasi berita-berita terkait itu.
Hal yang sangat kentara sekali adalah berita Zakiah Aini. Sejauh yang kita baca di media massa informasi banyak yang berasal dari kepolisian. Tentu berita resmi kepolisian ini penting. Tetapi sumber resmi kepolisian ini disesuaikan dengan kepentingan kepolisian pula.
Tak banyak media yang menanyakan dan mencari tahu ada apa dengan Zakiah? Apakah saat masuk Mabes tidak diminta meninggalkan KTP? Mengapa pula dia dibiarkan sendiri masuk? Kenapa pula tidak ada usaha polisi untuk melumpuhkan terlebih dahulu untuk mencari tahu “jaringannya” jika memang terduka teroris? Mengapa pula langsung ditembak ditempat sementara dia sendiri dan tak berlindung?
Masyarakat yang mengakses berita tersebut tentu bertanta-tanya. Ada apa dengan media massa kita? Lebih khusus lagi ada apa dengan aparat keamanan kita? Mengapa kepolisian cepat merespon dan memberikan keterangannya? Apakah media massa kita berada dalam ancaman tertentu?
Tentu masih banyak pertanyaan yang menggalantung. Lepas dari menjadi urusan aparat keamanan, yang jelas ini semua juga menjadi pekerjaan rumah media kita. Ternyata selama ini masyarakat “dicekoki” berita-berita yang hanya bersumber dari realitas psikologis. Tidak ada yang salah dengan realitas tersebut. Hanya jika demikian masyarakat hanya akan mendapatkan informasi tidak adil dan dari sumber resmi semata. Dalam jangka panjang dan menyangkut keadilan mendapatkan informasi, itu menjadi hal penting yang mendesak dilakukan media massa kita.
———- *** ———-