Realitas yang “Patah”, dan Imajinasi yang “Halu”

Judul Buku : Adam Suatu Senja
Penulis : Italo Calvino
Penerbit : Diva Press, Jogjakarta
Cetakan : Juni, 2020
Tebal : 151 halaman
ISBN : 978-6o2-391-907-9
Peresensi : Ahmad Farisi
Pegiat literasi di Garawiksa Institute, Jogjakarta
Saya bukanlah penulis sastra. Sejak pertama kali berkenalan dengan dunia tulis-menulis, saya tak sempat menaruh hati padanya. Dulu, semasih bergiat di komunitas Penyisir Sastra Iksabad (Persi), saya adalah satu-satunya orang diangkatan saya yang tak minat pada sastra. Pun, pada kenyataannya saya juga pernah beberapa kali menulis puisi. Tetapi, hal itu bukan berangkat dari nurani saya, melainkan hanya karena merasa malu bergiat di komunitas sastra namun tak menulis sastra.

Setidaknya ada satu alasan mendasar mengapa saya tak meminati sastra. Satu-satunya alasan itu adalah karena pada waktu itu saya melihat sastra yang berkembang di lingkaran komunitas saya sangatlah lembek dan tak revolusioner. Melulu soal rindu dan cinta. Tidak sarkas dan memuat banyak kritik sosial. Sedangkan saya, tak menyukai itu. Saya suka yang sarkas dan revolusioner. Setidaknya, ilmiah. Akhirnya, saya berkesimpulan, bahwa beginilah dunia sastra, tidak penting-penting amat.

Pandangan ini memang dikotomis, tetapi, harap dimaklumi, waktu itu saya masih anak-anak. Masih belum bijak dalam menyimpulkan sesuatu. Padahal, setelah saya lihat kembali hari ini, khususnya secara sisi historis, sastra itu sangat revolusioner. Dan, kondisi yang membuat saya tak meminati sastra di awal perjumpaan itu, menurut saya itu adalah sebagian dari kondisi sastra kita yang mandek. Sebagian, bukan kesemuanya sebagaimana sempat saya menilai, dulu.

Namun, apalah daya, nasi telah jadi bubur. Kendati belum terlambat. Saya sudah kadung tak meminatinya. Namun, bukan berarti saya tak suka untuk sekadar membaca dan menikmatinya. Saya masih suka untuk sekadar membaca. Pun hanya beberapa dari sekian banyak karya sastra yang ada. Baik yang berbentuk puisi, cerpen, novel dan lainnya.

Adam Suatu Senja,adalah sekumpulan cerita pendek (cerpen) yang sudah saya baca. Di dalamnya terdapat 12 kumpulan cerpen. Pembacaan saya terhadap buku ini sebenarnya bukan sepenuhnya atas rasa suka. Melainkan lebih karena keterbatasan bahan bacaan di kampung halaman. Akhirnya, saya berkesimpulan, lebih baik membaca, dari pada tak membaca sama sekali, meski kurang pas dengan hati.

Awal mula membaca buku kumpulan cerpen Italo Cavino (esais dan cerpenis), yang berkebangsaan Italia ini, saya disuguhi dengan cerpen yang cukup menarik hati. Namun, memasuki cerpen kedua, dan beberapa cerpen selanjutnya, aroma kemandekan sastra-menurut saya-seperti yang saya alami sejak pertama kali bergiat di komunitas sastra itu-begitu terasa. Dan, bak Covid-19 yang mudah menular, aroma kemandekan itu tampak semakin mewabah pada sebagian cerpen lainnya. Kecuali pada beberapa cerpen di bagian akhir.

Cerpen-cerpen dalam buku setebal 151 halaman ini lebih banyak menyodorkan imajinasi yang “halu” ketimbang berbicara realitas dalam bentuk sastra. Pun, ada juga yang mencoba menarasikan realitas, tetapi lebih banyak membicarakan realitas yang patah. Artinya, realitas yang dibangun tidaklah sempurna.

Bahkan, dari beberapa cerpen yang ada, penulis tampak tak peduli terhadap para pembaca yang berbaik hati membaca karya cerpennya. Dengan kata lain, pembaca mendapatkan sesuatu atau tidak dengan membaca cepennya, hal itu tampak tak sempat terpikirkan oleh penulis. Sehingga, membaca beberapa cerpen dalam buku ini, pembaca akan dihadiahi sebuah kekecewaan terhadap apa yang telah ia baca. Baik secara moral, sosial, budaya dan politik.

Namun, harus saya katakan pula, bahwa dalam buku ini memang ada beberapa cerpen yang laik kita apresiasi. Pertama, cerpen dengan judul Adam Suatu Senja, yang sekaligus menjadi judul buku ini. Cerpen ini berkisah tentang seorang remaja yang selalu berjanji akan memberi hadiah menarik kepada gadis yang baru saja ia kenal. Namun, sampainya-sampai, hadiah menarik itu hanya berupa barang-barang tidak jelas seperti halnya kodok, ular, dan binatang-binatang lainnya yang mayoritas ditakuti oleh seorang perempuan.

Secara sosial-politik, cerpen ini cukup menarik. Sebab, dalam hemat saya, Calvino melalui seorang remaja yang pandai berjanji akan memmberikan hadiah menarik, namun nyatanya zero. Hal itu mengingatkan kita dengan janji para politikus yang setiap hajatan Pemilu, seperti pilkada. Selalu berkoar-koar akan mewujudkan kehidupan rakyat yang sejahtera, makmur, dan sejahtera, yang pada kenyataannya, janji-janji itu tak lebih dari sekadar janji-janji dusta.

Kedua, cerpen itu berjudul Tidur Seperti Anjing. Berbeda dengan cerpen Adam Suatu Senja, cerpen ini berkisah tentang betapa kronisnya kondisi sebuah stasiun yang tak mampu memberikan fasilitas yang nyaman bagi orang-orang yang hendak menempuh perjalanan. Sehingga, membuat orang-orang yang menunggu jadwal keberangkatan kereta api harus rela tidur serabutan, tumpang-tindih, tak teratur laiknya tidur para anjing.

Seperti halnya cerpen Adam Suatu Senja, cerpen ini juga punya sisi menariknya sendiri. Yang jika dilihat secara kritis, cerpen ini sebenarnya begitu sarkas, satire dan membawa kritik pedas pada pemerintah yang membidangi stasiun Kereta Api. “Sebegitu tak becusnya pemerintah yang hanya mau mengurusi fasilitas stasiun?” Jika disimpulkan pada sebuah pertanyaan, kira-kira begitu.

Buku kumpulan cerpen (kumcer) ini diawali dengan adegan cerpen yang cukup menarik. Selanjutnya, diisi dengan sejumlah cerpen yang, kata saya membosankan untuk dibaca. Dan, diakhiri dengan beberapa cerpen yang memukau. Dan, barang tentu, dengan memuat cerpen memukau di bagian akhir, itu adalah kelebihan tersendiri untuk buku ini. Sebab, dengan demikian, pembaca akan mengakhiri aktivitas membacanya dengan kegembiraan. Bukan kekecewaan.

Tags: