Rebranding Perpustakaan Jawa Timur, Pentingkah?

Berdasarkan penelitian para ahli sejarah, kesadaran akan pentingnya perpustakaan bahkan sudah tumbuh sejak zaman Sebelum Masehi. Pada tahun 625 SMdiperkirakan telah berdiri Perpustakaan Raja Ashurpanipal dari Assyria di Timur Tengah. Kemudian sekitar tahun 400 SM telah berkembang pula perpustakaan di Yunani, salah satunya adalah perpustakaan Aristoteles.

Bila merujuk pada analisis tersebut, bisa ditarik konklusi bahwa keberadaan perpustakaan menjadi elemen penting dari sejarah sebuah bangsa. Persoalannya, akan kemana institusi perpustakaan di Indonesia, khususnya di Jawa Timur?

Satu bulan menjelang Hari Kunjung Perpustakaan 2021 lalu, Sinta Yudisia mengemukakan gagasan kreatifnya untuk mengembangkan perpustakaan di Indonesia.Penulis produktif sekaligus founder Ruang Pendampingan Psikologi dan Literasi (Pelita) itu mengatakan bahwa perpustakaan sudah saatnya berubah menjadi lebih user friendly. Sederhananya, perpustakaan harus melakukan pengubahan konsep agar membuat pengunjungnya tertarik dan nyaman.

Menurut hasil observasinya, publik masih suka datang ke perpustakaan namun ada pergeseran perilaku. Pengunjung (pemustaka) ingin ke perpustakaan bukan sekadar mencari dan membaca buku tetapi juga berekreasi, berkumpul, dan berekspresi. Fenomena inilah yang perlu ditangkap para pustakawan untuk berani tampil beda. Bila perlu dilakukan penataan ruangan sehingga bisa membuat pemustaka betah membaca buku sambil merefresh pikiran yang penat..

Dalam perspektif ilmu marketing, hakikat gagasan yang diusulkan Sinta Yudisia adalah perlunya perpustakaan melakukan branding ulang (rebranding) sehingga lebih bisa diterima pasar (marketable). Meski bukan institusi bisnis yang profit oriented, namun branding juga bisa dilakukan perpustakaan untuk meningkatkan angka kunjungan pemustaka.

Robin Landa pada tahun 2006 mengemukakan pandangannya bahwa branding bukan sekadar upaya membuat dan membangun merek. Menurutnya, branding juga berkaitan dengan semua hal yang terkait dengan merek, termasuk citra, kredibilutas, kesan, persepsi dan anggapan yang ada pada benak konsumen sebuah perusahaan.

Kalau pandangan Landa disederhanakan, branding bisa disamakan artinya dengan pencitraan. Lantas, bagaimana kesan atau citra perpustakaan secara generaldi masyarakat?

Sebuah riset yang berjudul “From Awareness to Funding: A Study of Library Support in America” yang dilakukan OCLC (Online Computer Library Center) melaporkan bahwa perpustakaan dalam persepsi masyarakat adalah sumber informasi tradisional. Dari hasil riset ini bisa ditarik hipotesis bahwa citra perpustakaan itulah yangberdampah pada rendahnya tingkat kunjungan ke perpustakaan. Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik 2019, hanya sekitar 13,02 persen penduduk usia lima tahun ke atas yang datang ke perpustakaan.

.Untuk meningkatkan angka kunjungan pemustaka, gagasan rebrandingmenjadi sangat relevan untuk diterapkan, termasuk oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur. Wahana pencerdasan dan pemberdayaan masyarakat Jawa Timur itu perlumembentuk citra baruyang mengakomodasi keinginan para pengguna (user), dalam konteks ini adalah masyarakat, khususnya pemustaka.

Seperti halnya langkah yang biasa dilakukan tim marketing perusahaan, langkah awal yang bisa dilakukan dari proses rebranding itu adalah riset. Hasil riset inilah yang bisa dijadikan acuan pustakawan untuk mengelolaaspirasi masyarakat terhadap Disperpusip Jawa Timur dengan segala koleksi bahan pustakanya.

Pustakawanjuga bisa melakukan riset terhadap aspek demografi masyarakat di semua kota dan kabupaten Jawa Timur, terutama yang berkaitan dengan latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Analisis hasil riset tersebut bertujuan untuk mengimplementasikan program perpustakaan berbasis inklusi sosial sebagai jawaban atas adanya kritik sebagian masyarakat yang cenderung pragmatis.

Melalui program berbasis inklusi sosial, perpustakaan dengan segala koleksi bahan pustakanya hadir sebagai solusi atas kebutuhan masyarakat dalam menjalani studi ataupun pekerjaannya. Untuk masyarakat petani, maka perpustakaan perlu menghadirkan buku tentang tips bertani. Untuk masyarakat pedagang, maka buku yang harus dihadirkan adalah referensi tentang hal-hal yang terkait dengan kiat-kiat sukses dalam berbisnis. Seperti itu pula yang semestinya disajikan untuk kalangan lainnya.

Setelah melakukan penyesuaian berdasar hasil riset terhadap kondisi dan kebutuhan masyarakat, perpustakaan perlu melakukan redifinisi kunjungan. Jika selama ini yang dimaksud dengan angka kunjungan hanya tertuju pada hadirnya pemustaka secara langsung (offline) ke ruang-ruang perpustakaan, maka sekarang maknanya bisa diperluas dengan mencakup pula kunjungan secara online ke aplikasi layanan digital. Perluasan makna ini akan menjadi solusi buat mereka yang memiliki minat baca tetapi mengalami kendala jarak atau waktu untuk mengakses perpustakaan secara offline.

Era digitalisasi juga membuka ruang-ruang baru untuk perpustakaan melakukan branding dan promosi dengan teknik copywriting melalui website/blog ataupun media sosial. Pengadopsian ilmu yang sudah sangat dikenal di dunia online marketing tersebut akan membuat pustakawan bisa mempengaruhi konsumen, dalam konteks ini adalah pemustaka, agar mau melakukan actionyang diharapkan yaitu kunjungan, baik secara offline maupun online.

Berdasarkan analisis empiris, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Disperpusip) Jawa Timur sudah sadar digital. Selain website, institusi tersebut sudah menggunakan media sosial seperti instagram, facebook dan YouTube untuk melakukan branding dan promosi melalui konten-konten yang dibuat.

Namun demikian, langkah maju tersebut dilanjutkan dengan pengelolaan yang profesional, termasuk dengan mengaplikasikan berbagai formula teknik copywriting.Bukan sekadar untuk memperbanyak jumlah followers tetapi juga melejitkan kedatangan banyak pemustaka setiap harinya.

Tidak bisa dinafikan, upaya untuk melakukan rebranding agar Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timurlebihmarketable membutuhkan dukungan banyak pihak. Karena itulah antara pustakawan,pemerintah provinsi, anggota DPRD Jawa Timur dan pihak-pihak lainnya perlu memiliki satu semangat yang sama. yaitu menguatkan gerakan aktivis intelektual di Indonesia, terutama di dalam menyebarkan budaya membaca masyarakat Jawa Timur. Akan tetapi jika para elit yang berwenang sebagai pembuat kebijakan (policy makers) tetap memandang pengembangan perpustakaan tidak penting, maka budaya membaca masyarakat Jawa Timurakan tetap berada pada kategori rendah.

DATA PENULIS:
Nama : Sri Hartono, S.Sos, MM
Profesi : Pustakawan Ahli Muda Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur.

Tags: