Redefinisi Makna Menang dan Kalah

Oleh:
Abd. Rasyid
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Prodi Studi Agama-agama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dalam spektrum kompetisi, kemenangan dan kekalahan merupakan hal yang biasa terjadi. Tak kurang dan lebih dari itu, keduanya hanyalah sepintas persoalan yang menghadirkan kenyataan-kenyataan paradoksal. Oleh karenanya, rasa senang, bahagia, dan keriangan yang didapat oleh pihak pemenang (the winner), tak harus dirayakan dengan antusiasme buta, apalagi sampai terjebak pada kubangan euforia-fanatisme akut yang berlebih-lebihan. Begitupun dengan pihak yang kalah (the loser), perihal rasa sedih, kecewa, ataupun nestapa haruslah dihadapi dengan penuh lapang dada, tanpa harus diluapkan dengan bentuk tindakan-tindakan brutal, tragis dan anarkis.
Ditahun politik seperti sekarang, “kemenangan” dan “kekalahan” tentu saja merupakan isu seksi yang sampai saat ini menjadi trending topic di pelbagai media massa ataupun media daring. Pesta gembira kemenangan dan huru-hara kekalahan para elite politik mulai tampak bising dipertontonkan pada publik (terutama dalam ranah Capres dan Cawapres), pasca digelarnya Pemilu akbar pada 17 April lalu.
Seusai Pemilu, beberapa calon mulai tampak mendeklarasikan diri sebagai pemenang dari pihak lawan politiknya. Keberanian tersebut didasarkan pada hasil yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga penghitungan suara cepat, seperti quick count, real count dan lain sebagainya. Meskipun hal tersebut bukan merupakan hasil akhir (final), namun jika menilik pada fakta-realitas sebelumnya, hasil yang diumumkan oleh lembaga tersebut tidak jauh berbeda dengan perhitungan resmi dari pihak lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU), artinya lembaga seperti quick count hasilnya telah teruji. Bahkan, tingkat kesalahannya (margin of error) dibawah angka 0,9%. Walaupun hanya sebatas pada tataran prediksi, namun fakta dari kejadian tersebut terkesan memberikan indikasi bahwa lembaga di atas bisa dijadikan sebagai acuan dasar yang sampai saat ini validitasnya bisa dipercaya. Fenomena pro-kontra hasil hitung cepat tersebut merupakan contoh kasuistika persoalan hiruk-pikuk antara menang dan kalah.
Dalam ranah percaturan politik, menang dan kalah memang membutuhkan perjuangan yang amat besar, melibatkan semua potensi yang dimiliki; tenaga, waktu dan dana. Pembuktiannya pun membutuhkan pengawalan yang amat ketat dan serius, bahkan tak jarang harus banyak memakan korban jiwa. Pertanyaannya, kapankah persoalan paradoksal antara menang dan kalah akan usai?
Menerima Realitas
Pemilu siapa pemenangnya? Begitulah pertanyaan setiap hari dari masyarakat menunggu kejelasan hasil Pemilu dari pihak KPU. Sampai saat ini, gegap gempita dan hingar bingar resepsi demokrasi belum usai, seluruh elemen masyarakat peduli menunggu hasil akhir. Jangankan usia dewasa yang punya hak untuk bersuara, anak balita pun beberapa kali bertanya siapa yang jadi pemenangnya. Hajatan kali ini memang luar biasa, mampu menaikkan animo masyarakat untuk turut berpartisipasi aktif, berperan, dan berjuang mati-matian untuk mengawalnya.
Dalam arena pertarungan tahta kekuasaan, kekalahan merupakan fakta yang harus diterima. Walaupun secara konotasinya kekalahan kerap melahirkan makna sengsara, nestapa, dan derita bagi para korbannya, sehingga tak jarang hal ini mendorong mereka untuk bertingkah buas, anarkis, liar, dan tak terkontrol seperti hewan. Padahal pada sisi yang lain, kekalahan tidak hanya terbatas pada makna kesengsaraan saja. Begitupun dengan kemenangan, tidak selamanya kemenangan itu konotasinya hanya terbatas pada rasa gembira, bahagia, dan kesukacitaan saja. Masih ada redefinisi lain yang dapat dijadikan sebagai apologi logis terkait kekalahan dan kemenangan.
Pertama, kekalahan adalah bentuk kebebasan dari segala tanggung jawab yang harus diemban oleh seorang pemimpin. Seperti ungkapan peribahasa yang dikemukakan oleh Masduri (Duta Masyarakat, 2017), kekalahan adalah kegembiraan (nederlaag is geestdrift). Menjadi seorang pemimpin bukanlah hal yang pantas untuk dibangga-banggakan. Beban tanggung jawab selama lima tahun adalah tugas yang harus ditunaikan sesuai prosedural, adil, dan penuh tanggung jawab terhadap rakyat.
Kedua, kekalahan adalah suatu yang tak harus diperdebatkan secara berlebih-lebihan. Artinya mereka siap menerima kekalahan (accept defeat) dirinya, serta bersedia untuk turut andil dan menyukseskan visi-misi pihak yang menang. Gus Dur pernah berpesan, persaingan itu diperbolehkan guna tercapainya kemajuan, tetapi persaingan harus dilakukan dengan bentuk kesopanan dan saling memberi, serta menerima antar berbagai pihak. Golongan yang menang akan mewakili konsensus semua pihak. Bukan malah sebaliknya, golongan yang menang justru menjadi bumerang, dan penyulut bara api kemarahan yang berujung pada konflik dan separasi antar pihak.
Oleh karenanya, makna hakikat dari menang dan kalah bukan berakhir pada konteks Pemilu saja, masih banyak ruang kosong yang dapat ditapaki oleh masing-masing pihak (yang menang dan kalah) untuk mengeksplorasi integritas dirinya pada publik. Walhasil, saat wasit pertandingan (KPU) telah meniup peluit pada tanggal 22 Mei nanti, sebagai bentuk petanda telah berakhirnya pertandingan, baik kubu Jokowi-Ma’ruf ataupun Prabowo-Sandi yang akan keluar sebagai juara (the champions), sebagai pendukung yang baik kita harus menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan, menjaga persaudaraan antar warga negara, serta menerima pihak yang memperoleh suara terbanyak tersebut sebagai pemimpin yang legal secara konstitusional.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: