Redemokratisasi Demokrasi Indonesia

Hasnan BachtiarOleh :
Hasnan Bachtiar
Peneliti Filsafat dan Teologi Sosial di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF), Universitas Muhammadiyah Malang

Di tengah-tengah rakyat kecil yang lelah dengan elitisme pemerintahan Indonesia Pasca Reformasi, mereka menyerahkan segala pengharapannya kepada seorang Jokowi. Sosok yang dianggapnya sebagai representasi yang paling tepat, untuk mewakili suara rakyat.
Suara yang digaungkan jelas. Pemerintah diharapkan mampu mewujudkan kehidupan berbangsa yang pro-keadilan, pro-kemanusiaan dan pro-kesejahteraan rakyat. Jadi, sebenarnya hakikat demokrasi di negeri ini memiliki mimpi yang sederhana. Yakni, setiap orang bisa hidup damai dan sejahtera, sekaligus leluasa untuk menyampaikan suara hatinya secara bebas dan merdeka, tanpa ketakutan sama sekali. Pokoknya adalah berbeda kondisinya dengan rezim-rezim pemerintahan sebelumnya, yang serba melarat dan terbungkam oleh kekhawatiran.
Sungguh mujur nasib rakyat karena pada 2014, Jokowi terpilih sebagai Presiden negeri ini. Segala rancangan dan strategi politik diupayakan, dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama yang bersifat nasional. Di kala itu, slogan “Revolusi Mental” menjadi senjata ampuh yang bukan sekedar dapat menarik simpati para pemilih, tetapi juga memberikan kepercayaan bahwa, bangsa Indonesia akan berhasil dalam mengupayakan demokratisasi.
Mengemban amanah untuk merevolusi mental seluruh orang bangsa, bukanlah tugas yang mudah. Beban luhur tersebut, sama beratnya dengan mentransformasi kondisi sosio-politik bangsa, yang padamulanya hanya dikuasai oleh politik oligarki-elitis-kapitalis, menuju kepada politik demokrasi-kerakyatan-Pancasilais. Dengan kata lain, agar supaya politik tidak dikuasai oleh tangan-tangan kekuatan besi-kaum ningrat-pemodal kaya, tetapi publik yang beradab-rakyat-kaum nasionalis yang humanis.
Setahun lamanya Jokowi memimpin, ternyata kondisi sosial politik bangsa tak kunjung menghadirkan kemaslahatan publik. Alih-alih memanen kebahagiaan untuk seluruh rakyat, ternyata malah menjadi bancakan para elit partai politik, penguasa sektor privat yang sangat kapitalis dan kader-kader rezim kekuasaan tirani masa lampau. Indonesia bukan lagi menjadi ibu pertiwi yang segar bugar, tetapi nenek-nenek renta yang dirudung malang karena sakit-sakitan.
Mendiagnosa Demokrasi
Inilah realitas demokrasi Indonesia. Sebagai sebuah eksemplar sejarah, setiap orang bangsa sama sekali tidak bisa merubah segala hal yang sudah terjadi. Namun demikian, penting kiranya untuk mengambil pelajaran dari suratan takdir demokrasi yang berwajah muram tersebut.
Sudah empat periode kekuasaan bertengger di singgasana republik ini. Namun sejak Orde Lama, Orde Baru, Reformasi dan periode politik Pasca-Reformasi, demokrasi yang sesungguhnya tiada pernah hadir. Rakyat hanya disuguhi pertunjukan tentang demokrasi yang elektoral-formal-instrumental, bukan yang liberal-substansial-fundamental.
Menurut Marcus Mietzner, seorang Indonesianis terkemuka, ia menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia telah mengalami cacat. Ia melanjutkan, “munculnya golongan elite konservatif anti-reformis sebagai penyebab terjadinya kemacetan dan kemunduran demokrasi Indonesia” (2012: 229). Senada dengan Mietzner, Franz Magnis-Suseno menyatakan bahwa para elitis tersebut mengalami disorientasi cita-cita reformasi. Karenanya, berbagai distorsi demokrasi kita membawa menuju kehidupan kolektif yang sangat berbahaya (2014: 137).
Fakta-fakta mengenai kebobrokan moralitas elit (politik) melalui merebaknya kasus korupsi, merupakan contoh yang sulit untuk dibantah. Di samping itu, berbagai persoalan yang berkenaan dengan pelanggaran HAM, terpasungnya kebebasan pers, ekspoitasi sumber daya alam yang kemaruk dan destruktif, serta tumpah-ruahnya praktik-praktik chauvinisme etnis-religius dan seterusnya, adalah fakta-fakta lain yang mustahil ditutup-tutupi lagi.
Refleksi terhadap itu semua, akan membawa pada kesimpulan bahwa, kenyataan demokrasi Indonesia bukanlah sesuatu yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Akan tetapi dari elit, oleh elit dan untuk elit. Para elit politik yang berkomplot dengan pemilik kapital, yang diperparah melalui perselingkuhan mereka dengan para elit kebudayaan dan keagamaan, melahirkan anak-anak haram, yakni sebuah rezim anti-demokrasi yang membabi-buta. Demikianlah soliditas kejahatan sosial yang dirayakan sedemikian meriah di negeri ini.
Redemokratisasi Demokrasi
Sukar kiranya mengajukan jalan keluar, kecuali memang jalan yang bersifat komprehensif. Artinya, seluruh subyek kebangsaan yang pro-demokrasi kerakyatan, harus berupaya keras melalui seluruh sendi-sendi kehidupan, mengikis habis segala kejahatan sosial-politik yang ada. Langkah komprehensif ini, bisa diawali dengan upaya redemokratisasi demokrasi itu sendiri.
Redemokratisasi yang hendak diupayakan, harus melampaui demokratisasi yang sudah pernah dilakukan. Hal tersebut sama sekali meninggalkan segala hal yang bersifat formal-instrumental. Dengan kata lain, dilarang keras untuk melakukan komodifikasi segala nilai-nilai moralitas, yang dapat menipu khalayak ramai. “Revolusi Mental” adalah akhlak yang harus hidup di tengah-tengah bangsa yang beradab, bukan jargon kampanye elektoral yang murahan.
Gerak redemokratisasi pertama kali harus membongkar segala kepalsuan syahwat pragmatisme elit, sekaligus menyadarkan publik tentang pentingnya menginternalisasi kebebasan sipil (civil liberty) sebagai ruh demokrasi yang sebenarnya. Melalui cara ini, siapa kawan dan siapa lawan akan tampak, tanpa diliputi keraguan sedikitpun. Apa yang dimaksud kebebasan sipil, bukanlah ruang dan akses yang bebas untuk mereka yang merusak, tetapi bagi siapa saja yang berkeadaban.
Gerak redemokratisasi yang kedua, harus menjelaskan fakta-fakta historis yang sejernih-jernihnya mengenai kondisi sosial politik di sepanjang rezim kekuasaan yang ada, sejak kemerdekaan Indonesia hingga sekarang. Dengan upaya ini, maka akan terungkap, betapa demokratisasi yang terjadi telah dilaksanakan dengan cara yang keliru, oleh karena melayani kepentingan segelintir elit yang tidak bijak dan serakah.
Gerak redemokratisasi yang ketiga, harus merebut akses akan ruang publik, yang selama ini hanya menjadi sarana propaganda para penguasa politik dan ekonomi. Kesempatan akses ini bukan hanya terbatas pada media massa atau elektronik, tetapi juga alam sibernetik (cyberspace). Fenomena histeria massal terhadap aktivisme online melalui media sosial (socmed), adalah kesempatan emas bagi publik sipil untuk melakukan aksi-aksi emansipasi dan transformasi sosial.
Gerak redemokratisasi yang keempat, harus melawan dominasi pasar yang semakin liberal. Ultra-liberalisme ekonomi negeri ini, harus dilawan dengan segala wacana keberpihakan terhadap keadilan sosial dan kemanusiaan, bukan pada kelompok-kelompok kapitalis swasta. Dengan kata lain, pemenangan wacana kritis melalui advokasi diskursif ini, diharapkan akan mempengaruhi kebijakan publik dan politik massa, sehingga kecenderungan terhadap keserakahan yang membabi-buta, bisa diatasi.
Para pembaca yang budiman, semoga dengan adanya demokratisasi kembali terhadap segala aspek demokrasi bangsa ini, kehidupan seluruh orang bangsa bisa lebih adil, damai dan sejahtera. Sekali lagi, yang perlu dirayakan adalah kebangkitan kemerdekaan sipil yang beradab, bukan yang eksploitatif, sewenang-wenang, dominatif, hegemonik dan biadab. Pada akhirnya, Revolusi Mental Jokowian harus diterapkan secara substantif dan penuh kesungguhan, agar tidak menjadi lip-service belaka.

                                                                                                                ————– *** —————-

Rate this article!
Tags: