Refleksi Akhir Tahun: Peringkat PISA, Kita Bisa Apa?

Oleh:
Husamah, S.Pd., M.Pd.
(Pendidik di Pendidikan Biologi FKIP UMM)

Tahun 2019 akan segera berakhir. Akan sangat bijak bila kita melakukan refleksi, terlebih dalan dunia pendidikan. Bagaimana pun pendidikan adalah harga diri sebuah bangsa, yang tentu saja tidak akan dapat dipisahkan dari denyut nadi kehidupan bangsa.
Ada banyak ukuran untuk melihat kualitas pendidikan, baik secara khusus ataupun secara global. Salah satunya adalah apa yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), yaitu melalui Programme for International Student Assessment (PISA).
PISA Negeri Jiran
Laporan PISA yang dirilis oleh OECD pada tanggal 3 Desember 2019 sontak membuat negara-negara di ASEAN ramai. Secara kebetulan pada tanggal 3-9 Desember 2019 itu, saya melakukan perjalanan tiga negara, Singapura-Thailand-Malaysia, bersama puluhan mahasiswa dan dosen dari Program Studi Pendidikan Biologi FKIP UMM. Saat istirahat di sebuah hotel di Hat Yai Thailand, saya menyimak betul bagaimana di televisi Menteri Pendidikan Malaysia yang dengan bangga menyatakan bahwa posisi Malaysia naik menuju level menengah. Sontak para pejabat dan wartawan yang hadir dalam press conference itu bertepuk tangan tanda bangga.
Sementara Thailand masih lumayan, berada di peringkat 50-an. Jangan lah ditanya, bagaimana posisi Singapura. Mereka sukses menduduki peringkat kedua. Apakah mereka bangga? Ternyata tidak. Mereka kecewa, sebab pada PISA 2015 mereka menempati posisi terbaik (peringkat 1). Lihatlah judul-judul berita yang ada di media massa Singapura, misalnya di Straitstimes.com: “Pisa 2018: Singapore slips to second place behind China but still chalks up high scores”, atau Businessinsider.Sg: “Singapore students lose PISA top spot to China – which wasn’t in top 5 previously – despite far above global average scores”. Namun demikian, sebagaimana dilansir Strait Times, Mr Sng Chern Wei, deputy director-general of education di The Ministry of Education (MOE) Singapura mencoba untuk merespon secara bijak. Dia mengatakan “Kita sangat senang dengan hasil PISA 2018 karena itu menunjukkan bahwa siswa kita telah dibekali keterampilan kritis dan ketahanan untuk menghadapi tantangan dunia yang berubah dengan cepat. Secara khusus, siswa kami telah mempertahankan kinerja yang sangat kuat dalam aspek membaca, matematika, dan sains.”
Ia juga menegaskan bahwa Singapura mengikuti tes PISA tidak untuk mencoba mengalahkan setiap Negara, melainkan untuk mempelajari hal-hal penting untuk perbaikan bagi pendidikan di Singapura. Ketika negara-negara lain memperoleh hasil yang baik, Singapura akan terus belajar dari mereka dan mencoba untuk membuat pengalaman pendidikan dan perjalanan belajar, yang lebih positif dan yang lebih efektif bagi siswa kami.
Saya saat itu kebetulan , skor membaca Indonesia ada di peringkat 72 dari 77 negara, lalu skor matematika ada di peringkat 72 dari 78 negara, dan skor sains ada di peringkat 70 dari 78 negara.
Posisi Indonesia
Jagat media ternyata riuh, khususnya media online. Dengan cepat, aneka komentar dari pengamat dan masyarakat umum membanjiri linimasa. Hasil yang berlawanan 180 derajat dari tiga negeri jiran yang telah kita ulas di atas, justru diperoleh bangsa Indonesia. Tentu hal ini menjadi sebuah tamparan keras. Tiga skor itu kompak menurun dan menyebabkan Indonesia terdampar di urutan-urutan bawah. Indonesia berada di peringkat 72 dari 78 negara untuk skor membaca. Untuk skor matematika, Indonesia menempati peringkat 72 dari 78 negara. Sementara itu, untuk skor sains, Indonesia berada di peringkat 70 dari 78 negara.
Menurut Dewabrata (Zenius.net/04/02/2019) dapat dikatakan, Indonesia hanya ada di atas negara-negara seperti Kosovo (baru merdeka tahun 2008), Filipina, Lebanon, Maroko. Indonesia bahkan masih di bawah Macedonia Utara (baru ganti nama dari Macedonia di tahun ini dan baru merdeka tahun 1991) dan Georgia.
Lalu kita harus (bisa) apa?
Jika dibandingkan dengan rata-rata internasional, Indonesia memiliki jarak yang cukup jauh. Membaca, Matematika, dan Sains di rata-rata internasional ada di angka 487, 489, dan 489. Indonesia bahkan tidak berhasil menembus skor di atas 400 untuk ketiganya. Berturut-turut, nilai untuk Membaca, Matematika, dan Sains dari hasil tes di 2018 adalah 371, 379, dan 396. Saya sependapat dengan pandangan Dewabrata (2019) bahwa penurunan kualitas ini tentu menjadi indikasi bahwa ada beberapa pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Tentu hal ini jika kita dan khususnya pemerintah masih menjadikan PISA sebagai standar dalam pembangunan pendidikan.
Kita tentu harus mengapresiasi bahwa Mendikbud (saat itu) Prof. Muhadjir Effendy pada saat menjabat sangat getol mengampanyekan penerapan HOTS dan soal HOTS (setara dengan soal-soal PISA) dalam ujian nasional. Walau penolakan dari orang tua dan sebagian guru/sekolah sangat deras. Jelas Prof Muhadjir menyadari bahwa memang sebelumnya soal-soal ujian di Indonesia, kebanyakan memiliki tingkat kesulitan di bawah standar PISA. Sayangnya, karena masih singkat dan dengan pola yang cenderung instant (misalnya hanya dengan dril-dril soal), sementara guru dan sekolah tidak bisa merespon cepat, maka saja saat ujian sistem HOTS diberlakukan (2018-2019) banyak siswa yang mengeluh tak bisa mengerjakan.
Tentu saja, penerapan HOTS dalam pendidikan/pembelajaran harus terus digalakkan, dilaksanakan atau tidaknya UN. Menteri Nadiem Makarim perlu memastikan bahwa HOTS harus menjadi kebiasaan. Gerakan membaca harus pula digalakkan. Penataan dan penggunaan teknologi informasi untuk mendukung aspek membaca, sains, dan matematika harus segera diperhatikan. Tuntutan untuk setiap jenjang/level pendidikan harus ditata ulang. Ada baiknya melihat bagaimana negara-negara peringkat atas itu melakukan penataan sistem pendidikan. Dan untuk beberapa hal tersebut, pengalaman beliau mengenyam pendidikan di luar negeri akan memudahkan untuk melakukan refleksi dan mengambil kebijakan yang tepat.
Tentu, mengubah semuanya tidak semudah membalik telapak tangan. Setidaknya, kita berharap akan menyaksikan bagaimana hasil positif dari kebijakan pendidikan yang diterapkan oleh Nadiem Makarim, pada tes PISA tahun 2024. Semoga saja.
———- *** ———–

Tags: