Refleksi Kemerdekaan RI Ke-70

Ahmad BasthomiOleh:
Ahmad Basthomi
Staf Pengajar AIK dan Trainer Program Pembentukan Kepribadian dan Kepemimpinan (P2KK) Universitas Muhammadiyah Malang

Rasanya republik yang kita cintai ini masih tertatih-tatih untuk meraih kemerdekaan hakiki. Memang secara resmi kemerdekaan sudah diraih, yaitu tepatnya 17 Agustus 1945 atau 70 tahun silam. Tetapi kemerdekaan itu tidak lain adalah karena para pejuang bangsa kita berhasil mengusir penjajah.
Dalam pengertian yang lebih hakiki, keberhasilan mengusir penjajah adalah awal dari pencapaian kemerdekaan, bukan kemerdekaan itu sendiri. Argumen ini sejatinya dapat kita telisik bagaimana manifesto para founding fathers/mothers dalam menyisipkan pengggalan lagu kebangsaan (Indonesia Raya), yaitu, “..bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”
Penggalan lagu kebangsaan tersebut, mengamanatkan kepada kita, generasi penerus, bahwa hal yang pertama dan utama meraih cita-cita kemerdekaan republik ini adalah dengan melakukan pembangunan jiwa terlebih dahulu. Bukan pembangunan fisik atau hal-hal yang bersifat materialistik. Para pejuang dan pahlawan kemerdekaan kita seolah mengingatkan; “jadilah manusia unggul dengan berkepribadian baik, pasti Indonesia akan nan jaya!” Sungguh luar biasa alam pikiran dan kepekaan nurani mereka.
Ironisnya, “kurikulum” membangun jiwa bangsa yang dikumandangkan para founding fathers/mothers sampai kini belum cukup mempribadi dalam langgam pranata sosial, politik, dan budaya. Tidak sedikit elit politik yang mengemban amanah “membangun jiwa bangsa” di negeri ini senang bohong, dzalim, korup, dan melakukan tindak kejahatan lainnya. Bahkan dari waktu ke waktu terus memprihatinkan.
Kita bisa membayangkan sendiri, bagaimana jadinya republik ini bila pembangunan jiwa bangsa tidak menjadi bagian yang melekat dalam proses pewarisan cita-cita kemerdekaan yang dikumandangkan para pejuang dan pahlawan kita?. Pasti, lambat laun republik ini hancur. Ini dapat kita ilustrasikan dalam skala yang lebih kecil, yaitu pergaulan dengan teman atau sesama. Bila sifat khianat, arogan, egois, dzalim, dan amarah, menjadi amunisi berinteraksi, pasti pertemanan akan bubar. Bahkan bisa saling bermusuhan dan saling berusahan untuk membunuh. Begitu juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bila sifat tidak baik, benar, dan profesional menjadi pilar pembangunan, pasti hasilnya akan muspra alias sia-sia, dus menjadi bangsa yang terjajah kembali, yaitu terjajah oleh perangai buruk penduduknya sendiri.
Keinsafan politik
Ihtiyar membangun jiwa bangsa untuk menemukan makna kemerdekaan, maka keinsafan politik menjadi sesuatu yang sangat penting. Sebab itu tidak cukup bila elit politik bermodal niat baik saja. Lebih dari itu harus disertai political will yang benar-benar adiluhung disertai tindakan nyata dan strategis.
Dengan demikian, sosok elit politik dan para pemimpin negeri ini harus bisa menjadi pewaris kemerdekaan sejati, jauh dari kemungkinan terjerat jaring kemunkaran struktural-institusional yang sudah seperti lingkaran setan. Selain itu, pendidikan politik kepada masyarakat harus lebih menitikberatkan pada politik kebangsaan, bukan politik partai atau politik kekuasaan, apalagi politik uang.
Pendidikan politik yang lebih berdampak strategis lagi adalah adanya political will yang berorientasi pada penanaman nilai-nilai kewarganegaraan (civic values). Cara seperti ini bisa dianggap yang paling ideal, karena pola internalisasinya dimulai dari keteladanan pemimpin atau elit politik. Sebab itu, seorang pemimpin harus benar-benar menjadi “manusia model” bagi rakyatnya. Persoalannya adalah sudahkah para pemimpin atau para pengemban amanah yang mengurusi negeri ini layak menjadi teladan?
Tentu jawabannya susah. Betapa tidak, dilihat dari proses mencalonkan diri menjadi pemimpin, jaminan terbebas dari adanya politik uang (money politic) masih belum ada sinyal kuat. Dengan begitu maka potensi korup selama masa menjabat tentu sangat besar, karena untuk menutup modal biaya yang dikeluarkan selama proses pencalonan hingga menjadi pemimpin. Bahkan tidak sedikit pejabat kita, baik yang sudah paripurna (mantan) atau masih aktif terjerat tindak pidana korupsi.
Atas fenomena tersebut, bukan berarti penanaman civic values mesti dikebiri. Justeru sebaliknya, yaitu pentingnya ketersediaan pranata sosial budaya yang lebih luas lagi sehingga berbagai elemen masyarakat bisa memainkan peran di dalamnya. Termasuk dalam hal ini eksistensi LSM dan berbagai institusi non pemerintah lainnya sebagai fungsi kontrol pemerintah harus benar-benar diapresiasi dan diperlakukan sebagaimana mestinya. Sebab itu elit politik harus lebih intens merumuskan peta silaturrahim (dalam pengertian yang sesungguhnya, alias bukan motif politis) dengan rakyatnya agar segala keluh kesah mereka termonitor dan dengan segera bisa dicarikan jalan keluarnya.
Keinsafan politik atas berbagai permasalahan yang menghimpit kehidupan rakyat di atas, tidak hanya menunjukkan bahwa elit politik mempunyai rasa keprihatinan (sense of crisis) terhadap nasib warga bangsa. Lebih dari itu adalah termasuk bagian penting membangun jiwa bangsa.
Pewaris kemerdekaan
Dengan demikian, orang yang layak dianggap pewaris kemerdekaan adalah; pribadi-pribadi yang mengindahkan nilai-nilai kewarganegaraan dengan spirit ideologis (Pancasilais) dan pada saat yang sama selalu menyempatkan diri dalam ruang dan waktu yang dilalui dengan membangun jiwanya agar menjadi pribadi yang jujur, adil, amanah, toleran, empati, santun, disiplin, bekerja keras, kompetitif, dan semacamnya. Siapapun pribadi itu. Apakah seorang presiden atau para pejabat negara, guru, dosen, dokter, petani, nelayan, mahasiswa, pejabat, atlet, pedagang, wartawan, dan lain sebagainya.
Selain itu, pewaris kemerdekaan adalah mereka yang selama ini memperjuangkan keadilan hukum, ekonomi, politik, sosial, dan lainnya dari penguasa yang lalim. Sebab, apa yang mereka perjuangkan tidak lain adalah untuk meraih kemerdekaan itu sendiri, yaitu hadirnya tatanan kehidupan yang berprikemanusiaan.
Lantas, siapa yang menjajah republik kita? Mereka adalah orang Indonesia sendiri; koruptor, para mafia hukum, begundal, perampok, pemimpin/ pejabat yang tidak amanah, dan mereka yang menikmati perangai buruknya alias tidak mau membangun jiwanya.

                                                                                                ——————— *** ———————

Rate this article!
Tags: