Reformasi Agraria Bukan Sekadar Sertifikat Hak Milik

Di negara-negara maju, seluruh tanah sudah terdaftar sejak puluhan hingga ratusan tahun yang lalu. Sertifikasi lahan berfungsi sebagai kepastian hukum agar tidak ada lagi sengketa tanah. Belakangan ini pemerintahan Jokowi telah meluncurkan program bagi-bagi sertifikat gratis untuk warga. Dalam debat capres (17/02) kemarin Jokowi telah mengungkapkan keberhasilan program tersebut. Padahal, reformasi agraria bukan hanya berupa sertifikat hak milik.
Sertifikasi tanah hanya berkaitan dengan tanggungjawab administratif pemerintah. Sedangkan reformasi agraria yang dimaksud oleh Undang-Undang Pokok Agraria yaitu fungsi sosial tanah dan produktivitas bukan hanya tentang komoditas untuk bisnis, melainkan untuk kepentingan rakyat. Sebagian besar tanah berada dalam kekuasaan segelintir orang pemilik bisnis yang menimbulkan kapitalisme. Sebaliknya, kepemilikan tanah oleh petani justru semakin mengecil. Kondisi ini tentu saja tidak sesuai dengan makna dari Undang-Undang Pokok Agraria dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengatakaan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Oleh karena itu diperlukan pembatasan kepemilikan lahan individu dan penguasaan tanah, pertanian, hutan, maupun lahan pertambangan.
Dalam mewujudkan reformasi agraria, perlu adanya landasan hukum yang kuat untuk membatasi praktek kapitalisme dan liberalisme, karena rakyat Indonesia tidak ingin menjadi buruh di atas tanahnya sendiri. Selain itu diperlukan juga prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa lahan yang jelas. Apabila reformasi agraria dilakukan dengan konsep yang tepat, maka ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah akan berkurang, kualitas lingkungan hidup akan terjaga, serta menyelesaikan konflik agraria yang saat ini masih banyak dijumpai.

Monicha Puspitasari
Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Tags: