Reformasi Pajak Sebuah Keniscayaan

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Program pengampunan pajak (tax amnesty) yang berlangsung  sejak Juli 2016 hingga Maret 2017, tercatat ada tambahan 52.757 wajib pajak (WP) baru dari total peserta 972.530 WP. Mereka yang selama ini tidak membayar pajak dengan benar akan menjadi lebih patuh dan membayar secara benar. Harapan berikutnya tentu adalah dapat menaikkan rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) yang saat ini masih sekitar 11 persen.
Manfaat yang bisa didapatkan oleh Wajib Pajak yang mengikuti tax amnesty dengan cara mengungkapkan harta yang berada di luar negeri dan membawa kembali hartanya tersebut ke Indonesia (repatriasi), akan mendapatkan fasilitas dengan pengenaan tarif uang tebusan yang lebih rendah dibandingkan dengan deklarasi luar negeri. Selain dana segar yang diterima pemerintah lewat penalti dan repatriasi, pengampunan pajak juga dapat memperbaharui bank data perpajakan Indonesia sehingga diharapkan Ditjen Pajak dapat menarik pajak dalam jumlah lebih besar di masa depan. Dengan menurunnya pendapatan negara dari minyak dan gas, pemerintah akan semakin mengandalkan pendapatan pajak yang akan digunakan untuk pembangunan. Dengan demikian, pemberlakuan tax amnesty sesungguhnya juga merupakan momentum yang bagus untuk menciptakan data basis pajak yang lebih baik.
Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan pemerintah menerapkan program amnesti pajak, antara lain, ketidakpastian ekonomi dan geopolitik, rasio pajak yang rendah, basis pemajakan yang relatif kecil bila dibandingkan dengan ukuran ekonomi. Uang yang diterima dari program amnesti pajak dibutuhkan oleh pemerintah untuk membangun serangkaian program infrastruktur dasar, mulai air bersih, sanitasi jalan, hingga listrik yang dibutuhkan masyarakat di seluruh pelosok Indonesia. Dengan kata lain menjadi modal pembangunan. Hal ini diperlukan karena akan membangun kepercayaan baru di hadapan para investor.
Mendongkrak Rasio Pajak
Rasio pajak di Indonesia masih rendah. Masih banyak masyarakat yang belum mempunyai NPWP dan menyerahkan laporan SPT. Hanya berkisar 27 juta jiwa yang memiliki NPWP dan baru 9,9 juta jiwa yang menyerahkan SPT. Tentunya, jumlah wajib pajak yang rendah menghambat kemampuan pemerintah dalam meluncurkan program-program yang bertujuan mendongkrak perekonomian.
Berdasarkan data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas per 12 April 2017, rasio perpajakan terhadap produk domestik bruto tahun depan berada di angka 11 persen. Saat ini, rasio perpajakan nasional masih berada di kisaran 11 persen. Meskipun jumlah deklarasi harta amnesti pajak mencapai ribuan triliun, namun tantangan yang sebenarnya justru pada tahun ini. Bagaimana pemerintah bisa meningkatkan rasio perpajakan, tanpa adanya program amnesti pajak.
Rendahnya rasio pajak Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) sungguh sulit untuk diterima. Indonesia yang masuk dalam 20 negara dengan perekonomian terbesar, seharusnya memiliki rasio pajak yang besar pula. Bahkan ironisnya, penerimaan negara dari perpajakan juga selalu lebih rendah dari target yang tercantum dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Sekedar ilustrasi, pada APBN tahun 2014, disepakati penerimaan pajak sebesar  Rp 1.246 triliun, tetapi realisasinya hanya Rp 1.146,9 triliun atau kurang dari Rp 100 triliun. Begitu pula pada 2015, yang disetujui Rp 1.489,3 triliun, tetapi realisasinya hanya Rp 1.055 triliun. Kondisi ini membuat tidak ada pilihan lain selain rasio pajak itu harus segera diperbaiki.
Rasio perpajakan di tanah air lebih kecil dibandingkan dengan rasio pajak di Negara-negara lain. Rasio pajak yang berada di kisaran 11 persen ini lebih rendah dengan rasio pajak PDB Negara lain yang rata-rara mencapai level 15. Meningkatkan rasio pajak bukanlah perkara mudah. Pemerintah harus memakai prinsip kehati-hatian saat ingin meningkatkan penerimaan pajak, karena tetap melihat kemampuan. Sehingga, peningkatan rasio pajak tidak bisa terasa dalam jangka pendek.
Mengawal Reformasi Pajak
Pembentukan tim reformasi perpajakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu sungguh membuka ruang lebih lebar untuk mengejar target rasio pajak sebesar 15 persen pada 2020 mendatang. Salah satu tugas yang akan digarap oleh tim reformasi perpajakan adalah melakukan koordinasi dengan Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu untuk menyusun langkah-langkah demi mendongkrak rasio pajak. Dengan rasio pajak saat ini yang masih 11 persen, artinya pemerintah harus mencapai kenaikan 1 persen setiap tahunnya hingga 2020 mendatang. Dengan demikian butuh peta jalan reformasi pajak yang muaranya adalah mampu menggenjot penerimaan pajak.
Pada wilayah lain, kita berharap  rencana revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) diharapkan akan ikut mempercepat proses reformasi perpajakan di tanah air. Dengan demikian, revisi yang akan dilakukan dalam UU KUP mesti sejalan dengan tugas tim reformasi perpajakan khususnya dalam menggenjot penerimaan pajak dan mengejar kenaikan rasio pajak. Dari sisi organisasi, IT, SDM, dari sisi kemampuan kita untuk meningkatkan penerimaan negara.
Pemerintah harus benar-benar serius mengatasi persoalan penerimaan pajak, karena lebih dari 80 persen penerimaan negara bersumber dari pajak. Masih banyak potensi pajak yang dapat digali, terutama dari WP perorangan. Underground economy termasuk potensi yang selama ini belum tersentuh pajak. Selain itu, kini semakin banyak perusahaan berbasis digital asing yang beroperasi di Indonesia tapi tidak membayar pajak.
Rendahnya rasio pajak menunjukkan masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, serta kemampuan pemerintah menggali sumber penerimaan pajak dari sektor-sektor ekonomi yang belum optimal. Rendahnya rasio pajak tersebut, tecermin dari total perbandingan antara besarnya pajak yang dipungut dan besarnya potensi pajak terpetakan yang hanya 55%. Salah satu penyebab rendahnya rasio pajak adalah masih minimnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Rencana reformasi pajak seharusnya tidak hanya fokus membenahi administrasi pajak. Reformasi perpajakan semacam ini hanya seperti melakukan tambal sulam, tanpa menyelesaikan persoalan krusial yang ada. Bahwa reformasi pajak harus segera dilakukan untuk memperjelas visi kebijakan perpajakan Indonesia ke depan. Selain itu, reformasi pajak penting dilakukan supaya terbangun rasa saling percaya antara otoritas pajak dan WP.
Reformasi pajak yang dilakukan diharapkan juga bisa menyentuh upaya menyederhanakan sistem pembayaran pajak online atau yang berbasis informasi teknologi (IT). Ditambah lagi untuk makin meningkatkan kepercayaan wajib pajak (WP) dapat dilakukan dengan keberadaan petugas pajak yang terlatih serta sistem jaringan yang semakin transparan. Memang butuh perubahan budaya, sistem, ahli, dan ilmu untuk semua ini. Ini tidak bisa diubah dalam sehari.
Di sisi lain, bergabungnya Indonesia dalam implementasi pertukaran informasi di bidang jasa keuangan dan perpajakan (Automatic Exchange of Financial Information/AEOI) September 2018 sesungguhnya dapat menjadi momentum untuk mereformasi sistem informasi keuangan dan perpajakan nasional. Dengan bergabungnya Indonesia dengan AEOI akan membuka peluang Indonesia membangun database yang dapat digunakan untuk mengembangkan sistem administrasi perpajakan lebih komprehensif, integratif, dan kuat. Ketersediaan database yang komprehensif, memberikan manfaat nyata bagi upaya pemerintah meningkatkan rasio pajak (tax rasio) serta mendorong kepatuhan para pembayar pajak secara sukarela, mencegah penghindaran dan penggelapan pajak.
Kita harus berupaya meningkatkan tax ratio kita agar bisa membiayai program-program prioritas, terutama pengentasan kemiskinan, pemerataan ekonomi, dan pembukaan lapangan pekerjaan. Reformasi pajak diharapkan bisa merealisasikan pajak yang cukup efektif serta efisien ke depannya. Reformasi pajak membutuhkan upaya yang sangat besar.
Bahwa APBN sejatinya harus bisa dan mampu menjadi alat untuk redistribusi. Kalau kita melihat dari sisi sektoral perpajakan, kita jumlah dari tax ratio kita masih belum cukup memadai. Sektor-sektor yang sudah mengontribusikan kepada perpajakan kita adalah industri dan perdagangan. Namun, sektor pertanian sangat kecil, konstruksi sekitar 5% dan kemudian pertambangan dan penggalian sekitar 13%. Kalau dilihat dari sisi ini, sektor jasa pertumbuhannya tinggi. Namun, kemampuan untuk bisa berkontribusi pada pajak masih kecil. Kemudian uang pajaknya dipakai untuk pembangunan perlu ditingkatkan. Industri pengolahan sangat besar mudah untuk dipajaki. Yang memiliki pertumbuhan tinggi justru sulit dikenai pajak.
Dalam konteks inilah maka kemudian reformasi pajak menemukan relevansinya. Program tax amnesty yang sudah dilakukan bisa menjadi awal yang baik untuk melakukan reformasi pajak. Wajib pajak yang ikut tax amnesty 627 ribu dengan pajak yang dikumpulkan Rp109,8 triliun, aset yang dideklarasikan Rp4.314 triliun. Bayangkan ini adalah aset yang selama ini tak pernah dideklarasikan kemudian kita pajaki. Mereka kemudian mendeklarasikan harta untuk kemudian menebus. Singkatnya, amnesti pajak sesungguhnya bisa menjadi satu landasan bagi reformasi di dunia perpajakan di Indonesia.

                                                                                                      ———– *** ————-

Rate this article!
Tags: