Reformasi Pendidikan Pustakawan di Era Disrupsi

Oleh :
Drs Sudjono MM
Pustakawan Ahli Utama

Perpustakan saat ini menghadapi sebuah era yang penuh ketidakpastian atau yang disebut sebagai era disrupsi 4.0. Era disrupsi 4.0 digambarkan secara harfiah sebagai suatu sistem yang sudah berjalan aman, nyaman, dan menyenangkan namun kemudian tercerabut dari akarnya.
Istilah disruption pertama kali dipopulerkan oleh Clayton Christensen dengan teori “Disruptive Innovation” (1990) dan Michael Porter dalam teori “Competitive Strategy” (1980), keduanya profesor Harvard Business School. Intinya dunia bisnis penuh dengan aura persaingan sangat ketat.
Kondisi ini mengharuskan perpustakaan berani berinovasi. Inovasi yang menuntut perubahan yang terjadi harus luar biasa. Perubahan yang bukan hanya dalam interaksi manusia dengan sesama tapi juga interaksi manusia dengan teknologi dan lembaga-lembaga lainnya. Salah satu interaksi yang banyak mengalami perubahan adalah hubungan pemustaka dengan perpustakaan dan pustakawan yang mengalami transformasi menjadi ruang publik yang bersifat kompleks. Artinya, baik perpustakaan maupun pustakawan harus bersifat adaptif terhadap perubahan.
Pendidikan Pustakawan
Upaya pendidikan pustakawan dan pengembangan perpustakaan di Indonesia telah berlangsung selama lebih dari 67 tahun. Diawali pada tahun 1952, ketika Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan telah menyelenggaraan Kursus Pendidikan Pegawai Perpustakan. Kursus tersebut terus berkembang dalam beberapa tahapan hingga menjadi Jurusan llmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan kini menjadi Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Kursus tersebut merupakan cikal bakal pendidikan formal bidang perpustakaan di Indonesia (Zulfikar, 1992).
Dewasa ini pendidikan bidang perpustakaan di Indonesia telah berkembang sedemikian rupa sehingga banyak perguruan tinggi di Indonesia telah menyelenggarakan program pendidikan bidang perpustakaan. Data tahun 2014, menunjukkan setidaknya terdapat 32 perguruan tinggi menyelenggarakan program studi bidang perpustakaan dengan program studi yang bervariasi mulai dari diploma sampai S2. Selain perguruan tinggi, sejumlah lembaga pemerintahan seperti Perpustakaan Nasional RI dan Dinas dan Perpustakaan di Provinsi, Kementerian Pendidikan, Dinas Pendidikan daerah, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Agama, termasuk lembaga pemerintahan sering menyelenggarakan pelatihan pustakawan. Singkatnya, pendidikan bidang perpustakaan sudah berlangsung lama dan menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang perpustakaan yang tersebar dimana-mana. Namun demikian, umumnya dinyatakan bahwa kemampuan tenaga pustakawan di Indonesia secara kualitatif maupun kuantitatif masih dianggap belum menggembirakan.
Kondisi tersebut di atas perlu mendapat perhatian serius mengingat tantangan pustakawan (dan perpustakaan) dewasa ini semakin berat, lebih lebih di era disrupsi dewasa ini yang menuntut pustakawan harus mampu mengembangkan kompetensi yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan dengan melakukan terobosan. Permasalahan dalam kepustakawanan Indonesia sebenarnya timbul dari atau bersumber pada penerapan konsep pendidikan perpustakaan dan ilmu perpustakaa/ yang terlalu berorientasi layanan dan melihat perpustakaan (termasuk tradisi perpustakaan dan tulis baca) yang sudah jadi, yang tidak sesuai dan tidak relevan dengan realitas sosial dan kebutuhan masyarakat di Indonesia.
Masyarakat Indonesia membutuhkan pustakawan lulusan pendidikan perpustakaan yang memiliki pengetahuan dan kemampuan yang terkait dengan proses penciptaan, pengembangan, dan pentradisian perpustakaan dan tulis baca untuk memecahkan masalah.
Menerapkan konsep kepustakawanan barat yang berorientasi layanan jelas tidak memecahkan masalah dan bahkan menimbulkan masalah bagi kepustakawanan dan pembangunan masyarakat Indonesia. Kondisi perpustakaan yang memprihatinkan, yang pasif dan sepi pengunjung, tidak berkembang atau kondisinya bak pepatah hidup segan mati tak mau.
Peran sosial kepustakawanan Indonesia juga dinilai minim. Kepustakawanan Indonesia kurang peduli pada masalah sosial budaya Indonesia dan kurang dapat membantu memecahkan masalah sosial budaya Indonesia. Umumnya pustakawan Indonesia hanya tahu bagaimana mengelola dan memberikan layanan perpustakaan tetapi tidak tahu bagaimana menumbuhkan tradisi perpustakaan dan tulisbaca, tidak tahu bagaimana menghidupkan nilainilai budaya bangsa yang terdesak atau terpendam di perpustakaan. Kurang peduli pada nilai-nilai budaya bangsa yang mungkin hilang atau kurang berkembang lantaran tidak ditulis dan disimpan di perpustakaan, kurang peduli pada bakal-bakat intclektual -seperti bakat dan kemampuan menulisyang tertekan atau tidak berkembang, dan kurang peduli apakah perpustakaan lebih merupakan tempat persemaian yang baik bagi budaya asing atau budaya bangsanya sendiri.
Pendidikan pustakawan dan ilmu perpustakaan/ kpustakawanan yang berkembang dewasa ini, termasuk yang berkembang dan diterapkan di Indonesia, adalah ilmu perpustakaan yang sejak semula berorientasi layanan, berasal dari masyarakat barat, dan mengandung konsep, nilai dan kepentingan yang berasal dari dan selaras dengan realitas sosial masyarakat barat. Ilmu perpustakaan dengan demikian tidak bebas nilai, dan perkembangannya mengarah pada aspek pemberian layanan/jasa perpustakaan.
Kepustakawanan Dinamis
Melihat kondisi kepustakawanan yang seperti diatas, penulis mengusulkan, agar kepustakawanan Indonesia, khususnya institusi yang kompeten dalam pendidikan dan pengembangan kepustakawanan Indonesia mengembangkan konsep pendidikan pustakawan dan ilmu perpustakaan/kepustakawanan yang lebih utuh dan dinamis. Ini yang mencakup pengetahuan dan kemampuan yang berkaitan dengan proses penciptaan, pengembangan, dan pentradisian perpustakaan dan tulis baca, serta menyentuh aspek substantif yang dinamis dari suatu bahan perpustakaan, sebagai solusi untuk memecahkan permasalahan dalam kepustakawanan dan memajukan ilmu perpustakaan dan kepustakawanan, khususnya di Indonesia.
Kepustakawanan dinamis tersebut akan menempatkan pustakawan sebagai subjek atau pelaku kebudayaan yang berperan dan beraktifitas secara dinamis dalam dinamika kebudayaan dan pembangunan masyarakat.
Kepustakawanan dinamis dengan demikian memandang perpustakaan secara utuh, dari proses pelahiran, pengelolaan, serta pemberdayaannya, yang mencakup aspek fisik dan non fisik (roh atau substansi) perpustakaan dan bahan perpustakaan. Konsep kepustakawanan dinamis perlu dikaji dan dijabarkan dalam pendidikan, dalam kegiatan kepustakawanan, serta dalam program-program pembangunan perpustakaan. Hal ini agaknya menuntut adanya semacam reformasi dalam pendidikan Indonesia.
Konsep kepustakawan dinamis akan melahirkan pustakawan yang memiliki kesadaran sosial yang baik, memiliki kompetensi profesional dalam pelayanan perpustakaan/informasi dan dalam pengembangan tradisi perpustakan dan tulis baca, serta kompetensi sosial untuk berperan secara proporsional dalam pembangunan bersamasama dengen elemen dan potensi masyarakat lainnya.
Pengembangan kepustakawanan dinamis memungkinkan kepustakawanan Indonesia berkembang secara emansipatif dalam dinamika sosial masyarakat dan pembangunan nasional yang berkelanjutan, serta menyumbang perkembangan dalam ilmu perpustakaan dan kepustakawanan secara signifikan. Pustakawan dinamis yang dihasilkan dari konsep inilah yang dengan mudah dapat mewujudkan konsep pustakawan bergerak, yang mampu mengembangkan kompetensi dan survive di tengah perubahan-perubahan sosial termasuk perubahan-perubahan di era disrupsi dewasa ini.
——— *** ———–

Tags: