Regulasi Tak Memihak, Infrastruktur Tak Mendukung

wahyu kuncoroOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa ;
Alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya

Industri penerbangan merupakan industri strategis, terutama bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Lantaran itu, perlu kebijakan strategis yang dikonsepsikan untuk memacu pertumbuhan industri penerbangan nasional. Namun sayangnya, pelaku industri penerbangan justru merasa kebijakan yang diambil pemerintah lebih sering membebani mereka. Terbukti, akibat terlalu beratnya beban ekonomi yang harus ditanggungnya, satu per satu maskapai penerbangan di tanah air bertumbangan dan memutuskan untuk berhenti beroperasi.
Publik tentu masih ingat, bahwa per 1 Juli 2014 lalu, maskapai penerbangan Tigerair Mandala memutuskan berhenti terbang. Penutupan operasi Tigerair Mandala menambah daftar kelam industri penerbangan nasional. Sebab, sebelum Tigerair Mandala mengakhiri hidupnya, sudah ada dua maskapai yang tutup, yakni Batavia Air yang menghentikan kegiatan operasi pada Januari 2013 dan disusul Merpati Nusantara Airlines (MNA) pada 31 Januari 2014.
Kondisi tersebut sesungguhnya sangat ironis di tengah jumlah penumpang angkutan udara dalam negeri yang terus tumbuh. Angka statistik penerbangan domestik menunjukkan, pertumbuhan penumpang pesawat pada 2012 mencapai 18,65 persen dengan jumlah 71,42 juta penumpang. Tahun lalu, pertumbuhannya melambat ke level 6,07 persen dengan jumlah 75,76 juta penumpang. Sedangkan jumlah penumpang angkutan udara domestik selama Januari-Juni 2014 mencapai 28,30 juta penumpang atau naik 4,02 persen dibanding periode sama tahun lalu sebanyak 27,20 juta penumpang. Merujuk pada angka ini, sungguh sangat disayangkan disaat jumlah penumpang meningkat, namun justru maskapai penerbangan malah bertumbangan. Pasti ada yang keliru dalam industri penerbangan kita.
Regulasi Tak Memihak
Banyak faktor memang, yang menyebabkan beban maskapai  penerbangan nasional hari ini kian berat. Kondisi ekonomi makro yang tidak menentu, lemahnya regulasi, buruknya infrastruktur, dan banyaknya pungutan ikut memperparah kondisi keuangan maskapai. Sementara pada wilayah lain, maskapai penerbangan nasional juga harus menghadapi beban biaya operasional yang terus melambung akibat harga bahan bakar avtur yang tinggi dan biaya perawatan yang makin mahal seiring depresiasi nilai rupiah.
Dalam kaca mata pelaku industri penerbangan, beberapa kebijakan seperti ketentuan tentang tarif batas atas (ceiling price) kelas ekonomi yang sangat rendah, diberlakukannya bea masuk suku cadang (sparepart) pesawat,  harga bahan bakar (avtur) pesawat yang mahal sungguh sangat membebani mereka. Terkait soal tarif penerbangan, pelaku industri penerbangan sebenarnya sejak tahun lalu sudah mengusulkan revisi atas Keputusan Menteri (KM) Perhubungan No 26/2010 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
Pelaku industri penerbangan meminta tarif batas atas kelas ekonomi dinaikkan dari posisi saat ini. Permintaan tersebut cukup beralasan. Sebab, dalam KM No 26/2010 disebutkan, jika nilai rupiah sudah di atas Rp10 ribu per dolar AS maka tarif harus dinaikkan. Namun praktiknya, ketika nilai rupiah sudah di atas Rp10 ribu, tarif sulit dinaikkan. Tidak hanya itu, industri penerbangan nasional juga meminta pemerintah membebaskan penetapan besaran tarif untuk rute yang sudah banyak diterbangi maskapai. Sedangkan tarif batas atas untuk rute yang monopolistik, boleh saja diatur pemerintah. Untuk rute-rute gemuk sebaiknya tidak dibatasi, karena hal itu akan menjadi stimulus persaingan bagi pelaku usaha.
Kalangan pelaku industri penerbangan tentu berharap tarif batas atas kelas ekonomi dapat memacu pendapatan maskapai nasional agar mereka bisa terhindar dari kebangkrutan. Tapi, sesungguhnya di sisi lain revisi tarif ini juga dilematis. Jika tarif tidak naik, operator penerbangan akan merugi akibat membengkaknya biaya operasional, seperti biaya perawatan pesawat, harga avtur, dan tarif bandara. Sebaliknya, jika tarif dinaikkan, jumlah penumpang pesawat berpotensi turun signifikan. Sebanyak 70% penumpang angkutan udara merupakan pengguna jasa penerbangan murah (low cost carrier) yang sensitif terhadap besaran tarif. Selain revisi tarif, kalangan pelaku industri penerbangan juga meminta insentif pembebasan bea masuk suku cadang (sparepart) pesawat dan penurunan harga avtur.
Sebagai perbandingan, di negara lain bea masuk suku cadang pesawat tidak ada atau nol persen, sementara di Indonesia mencapai 7-8%. Padahal, bea masuk suku cadang pesawat memberi kontribusi 20% terhadap biaya operasional maskapai. Sedangkan untuk harga avtur, di Indonesia masih lebih tinggi sekitar 13% dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia. Pemberlakuan bea masuk suku cadang pesawat juga memberatkan industri perawatan pesawat di Tanah Air. Bisnis perawatan pesawat nasional kesulitan mendapatkan pasar di dalam maupun luar negeri akibat calon pelanggan (customer) mereka dibebankan bea masuk. Padahal, suku cadang memberi kontribusi 60 persen terhadap biaya perawatan pesawat.
Akibatnya, maskapai nasional lebih memilih perawatan pesawat di luar negeri karena keterbatasan komponen pesawat yang diproduksi di Indonesia. Total maskapai nasional mengeluarkan biaya perawatan pesawat sebesar US$ 900 juta per tahun. Namun, perusahaan perawatan pesawat di dalam negeri hanya mampu menyerap 30 persen dari nilai tersebut.
Infrastruktur Belum Mendukung
Selain persoalan regulasi, kendala lain yang membebani pengembangan industri penerbangan adalah masih minimnya infrastruktur bandara. Pengembangan bandara yang lamban mengakibatkan maskapai tidak bisa melakukan efisiensi biaya operasional. Ambil contoh di Bandara Soekarno-Hatta. Akibat pembangunan taxi way yang belum rampung di bandara terbesar di Indonesia ini, pesawat membutuhkan waktu yang cukup lama untuk lepas landas (take off) sehingga menghabiskan banyak bahan bakar. Kapasitas bandara yang tidak segera ditingkatkan juga mengakibatkan pemerintah membatasi slot penerbangan untuk maskapai.
Semua persoalan tersebut jelas merugikan maskapai penerbangan. Bahkan beberapa maskapai nasional terpaksa menunda ekspansi dan berhenti beroperasi karena menderita kerugian besar. Melihat kondisi ini, kita mendorong pemerintah secepatnya memenuhi permintaan pelaku industri penerbangan nasional. Apalagi tantangan industri penerbangan nasional makin berat pada tahun depan seiring dimulainya penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Daya saing maskapai nasional harus ditingkatkan jika tidak ingin berguguran di era persaingan bebas pasar penerbangan (open sky) di kawasan ASEAN mulai tahun depan.
Bahwa kehadiran maskapai penerbangan tentu tidak bisa kalau hanya dipandang dari aspek bisnis semata. Namun tetap harus dilihat kontribusinya dalam kontek pembangunan nasional. Artinya, pemerintah tidak bisa lepas tangan dan membiarkan pelaku maskapai penerbangan sendirian dalam melawan beratnya tekanan ekonomi yang menghimpit sektor penerbangan.
Apa yang dilakukan beberapa maskapai penerbangan seperti Citilink dan lainnya yang aktif membuka jalur- jalur penerbangan baru harus diapresiasi secara positif baik pemerintah baik pusat atau daerah. Sungguh tidak mudah bagi maskapai untuk merintis penerbangan-penerbangan baru. Bukan itu saja, pemerintah juga harus mendorong agar maskapai penerbangan berlomba-lomba dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, misalnya dengan memberi insentif bagi maskapai penerbangan yang bisa memberi pelayanan terbaik kepada konsumen. Artinya, ketika maskapai Citilink mampu meraih penghargaan sebagai maskapai terbaik tahun 2013 dari Bandara Juanda, Surabaya tidaklah cukup hanya diberi penghargaan semata tetapi juga harus diberi insentif agar bisa mempertahankan prestasinya dan bahkan lebih baik lagi pelayanan yang diberikan. Penghargaan yang diberikan manajemen Angkasa Pura I bandara Juanda setelah melakukan penilaian atas rata-rata ketepatan waktu penerbangan (On Time Performance/OTP), tingkat keselamatan, dan pelayanan yang diberikan maskapai penerbangan Citilink.
Di atas itu semua, momentum pergantian pemerintahan dari SBY-Boediono ke era Jokowi-JK sungguh memberikan harapan akan muncul regulasi yang bisa memberi angin segar bagi industri penerbangan nasional. Hadirnya kebijakan yang lebih berpihak bagi bisnis airlines maka akan meningkatkan daya saing penerbangan nasional utamanya dalam menghadapi ASEAN Community 2015 sekaligus mendorong tumbuhnya industri strategis di sektor penerbangan.
Industri penerbangan merupakan jembatan udara yang membantu kelancaran distribusi logisik dan juga membangun konektivitas intra wilayah. Bukan itu saja, maskapai penerbangan juga berperan sebagai pembuka isolasi daerah, yang dapat membuka daerah terisolir karena kondisi geografis dan/atau karena sulitnya moda transportasi lain. Selain itu, keberadaan maskapai penerbangan juga sangat diperlukan dalam penanganan bencana. Lantas, masih akan menutup dirikah pemerintah terhadap beban ekonomi yang kini begitu menghimpit industri penerbangan nasional kita?
Wallahu’alam Bhis-shawwab

                                                                                              ————— *** —————

Tags: