Reintelektualisasi Islam ala Soekarno

Hasnan BachtiarOleh :
Hasnan Bachtiar
Peneliti Filsafat dan Teologi Sosial di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM

“Janganlah kita kira diri kita sudah Mukmin tetapi hendaknya kita insyaf, bahwa banyak di kalangan kita yang Islamnya masih Islam sontoloyo!” – Soekarno, Panji Islam 1940
Pertama-tama, izinkan saya mengucapkan selamat bulan Soekarno. Pada 6 Juni 1901, ia telah lahir. Lalu pada 1 Juni 1945, ia berpidato tentang Pancasila. Akhirnya, pada 21 Juni 1970, ia wafat dan menitipkan Republik Indonesia kepada kita semua. Demikianlah, hari ini, sungguh waktu yang afdhal untuk membicarakan orang besar dengan gagasan yang besar pula.
Ada wacana mengenai “Soekarno” yang kiranya jarang dibicarakan. Hal tersebut menyangkut intelektualisme, Islam dan kemanusiaan. Padahal pada 1940-an, ia aktif menulis di Majalah Panji Islam dengan pelbagai tema yang sangat kritis. Seperti misalnya, artikel bernasnya yang bertajuk “Islam Sontoloyo” menjadi bab yang harus dipikir-ulang pada saat ini.
Melalui tulisan itu, Bung Karno mencoba melakukan reintelektualisasi Islam. Islam yang pada saat itu terkesan berjalan di tempat, ditimbang-ulang secara serius, dengan pikiran-pikiran yang kritis. Walau tampak sarkastik, tentu saja Presiden Pertama Indonesia ini tidak bermaksud menghujat, menghina dan melecehkan Islam. Justru karena ia mencintai Islam, maka ia melontarkan kritik-kritik pedas terhadap sebagian umat Islam, yang telah keliru menafsirkan agamanya.
Seperti misalnya, ia begitu geram dengan prilaku seorang Kyai yang mencabuli santri-santrinya. Sang Kyai dengan lihainya memainkan dalil-dalil fiqih, sehingga hal yang haram menjadi halal. Ia melaknat para santri yang menolak untuk dikawin sirri, yang dibumbui oleh legitimasi hukum agama. Padahal, menurut hati nurani orang yang tidak pernah belajar agama pun dapat dirasakan bahwa, tindak laku agamawan itu begitu keji. Tidak sedikit yang telah menjadi korbannya.
Itu hanyalah salah satu kasus yang terjadi di negeri ini. Intinya adalah tentang manipulasi tafsir hukum agama (fiqih), demi melampiaskan nafsu kebinatangan mereka yang mengaku beragama. Manipulasi ini tidak berbeda dengan korupsi. Yakni, korupsi sejak dalam pikiran dan hati nurani. Mereka yang “merasa mengerti” agama, merasa mampu membohongi Allah SWT. Yang Maha Mengetahui.
Reintelektualisasi Islam
Pemikiran dan perilaku sebagian Muslim yang ngawur itu, oleh Soekarno disebut sebagai “Sontoloyo”. Sontoloyo adalah olok-olok kasar, untuk menyebut orang yang sangat kurang ajar, jahat, bodoh dan sombong. Sayangnya di kalangan masyarakat awam, tidak banyak orang yang bersuara tentang kejahatan sebagian elit Muslim tersebut. Mungkin masyarakat sudah lama terbiasa dengan budaya bisu. Lenyapnya suara protes adalah tanda-tanda di mana kekuasaan korup, terlalu kuat, dominan dan hegemonik. Maka, seperti tutur sosiolog Syed Hussein Alatas, dalam kondisi yang demikian, wacana perlawanan harus diajukan, setidaknya oleh intelektual yang memiliki kemampuan itu (1977).
Kemampuan berpikir kritis, keberanian perlawanan dan bersuara lantang, adalah hal-hal yang tidak dimiliki oleh masyarakat saat itu. Soekarno menegaskan bahwa, hal itu merupakan prinsip-prinsip terpenting untuk membela dan menjunjung tinggi iman Islam. Intelektualisasi adalah kata kunci, di mana mata tajam intelektual manusia, mampu memberikan jalan yang benar dalam rangka melawan segala bentuk kemunkaran.
Agama, harus dibaca oleh intelektualitas yang utuh nan sempurna. Intelektualitas jenis itu, akan menghantarkan bagaimana membaca, mencandera, memahami dan mengerti hakikat Islam yang benar. Atau sekurang-kurangnya, hal itu merupakan alat untuk menafsirkan agama, sehingga lebih menghargai harkat dan martabat kemanusiaan setiap manusia. Dengan intelektualitas ini pula, agama tidak berfungsi untuk mengekang, tetapi memerdekakan. Tidak menindas, tetapi memuliakan. Dan, tidak memanipulasi serta korupsi, tetapi jujur, tulus dan ikhlas.
Ide keislaman Soekarno ini, selaras dengan apa yang disampaikan oleh cendekiawan Moeslim Abdurrahman. Ia berpendapat bahwa, “…semua kitab suci…menjadi ruh teologis bagi gerakan yang memihak keadilan sosial, sehingga muncul kekuatan kolektif yang berangkat dari kesadaran bahwa setiap bentuk hegemoni kekuasaan yang ingin melestarikan kekerasan dan ketidakadilan merupakan kemungkaran yang selalu mengancam keutuhan sendi-sendi kemanusiaan.” (2009: 43-44).
Pada saat itu, memang wacana intelektualisasi Islam sudah berkembang pesat. Istilah Reformisme Islam misalnya, adalah buah dari pohon ikhtiar intelektual yang begitu hebat. Orang-orang seperti HOS Tjokroaminoto, KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, A Hassan dan seterusnya, telah memulainya. Namun, penyebaran wacana tersebut, hanya terbatas pada komunitas mereka sendiri. Karena itu, Soekarno menyeru pentingnya “Reintelektualisasi Islam”. Maksudnya, wacana ini harus didengar, diketahui, direnungkan dan dianggap penting oleh publik di seantero Republik Indonesia. Gairah intelektualisasi Islam yang pernah ada, bagi Soekarno harus diteriakkan keras-keras, sehingga telinga “masyarakat bisu” mampu mendengarnya secara jelas.
Relevansinya
Nah, di masa kini, korupsi makna agama, pikiran dan hati nurani, semakin marak terjadi. Kini, agama tidak hanya melayani nafsur para Kyai bejat, tetapi juga para politisi, aparat penegak hukum, pegawai pemerintahan, para pejabat, pebisnis dan seterusnya. Di hadapan fenomena dehumanisasi massal itu, Islam seolah-olah tidak memiliki kekuatan lagi untuk melawan.
Soekarno, memang tidak memperkenalkan wacana Islam ala pesantren. Terlebih, seperti model studi Islam di universitas. Soekarno hanya membongkar kesadaran keislaman kita, sehingga agama Islam mampu menjadi agama yang bertaji, tidak keok, apalagi disfungsi.
Ide keislaman Soekarno ini, sangat relevan untuk menerjemahkan kembali Islam, sehingga bisa menjadi jalan alternatif untuk mengupayakan humanisasi di masa kini. Dalam konteks ini, Soekarno adalah mujtahid yang mencoba mengokohkan paradigma keislaman umat, sehingga terjauhkan dari segala bentuk manipulasi, kebohongan, akal-akalan, komodifikasi, dan politisasi ajaran agama yang keji.
Secara lebih humanis, ajaran “Islam Sontoloyo” telah mengetuk pintu hati nurani kita. Yang terpenting bagi Soekarno sebelum fiqih Islam, adalah humanisme Islam. Sekali lagi, yang pertama bagi Soekarno dalam berislam adalah kemanusiaan. Selebihnya adalah pemahaman, tafsir dan fiqih.  Demikianlah, di bulan Soekarno ini, marilah kaum Mukmin benar-benar memurnikan imannya, sehingga menjauhkan diri dari segala tindak laku yang sontoloyo.

                                                                                                             —————– *** —————-

Rate this article!
Tags: