Relasi Media dan Pencitraan sebagai Political Panacea

Demeiati Nur Kusumaningrum

Demeiati Nur Kusumaningrum

Oleh :
Demeiati Nur Kusumaningrum, MA
Dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
Pelaksanaan kampanye menjelang Pemilu Legislatif (Pileg) baru saja selesai Sabtu (5/4) kemarin. Dalam masa kampanye kemarin, kita menyaksikan berbagai berita yang menayangkan aktifitas politik para calon legislatif dan Partai Politik (parpol) dalam menarik simpati warga. Tidak tanggung-tanggung, orasi politik disampaikan langsung oleh Ketua Umum Partai maupun pejabat publik yang sengaja cuti untuk mendongkrak jumlah calon pemilih. Para calon legislatif juga melakukan bermacam-macam aksi yang dapat memberi kepercayaan pada publik terhadap kesungguhan Parpol maupun representasinya dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Adapun yang sering kita lihat adalah bagaimana calon-calon legislatif tersebut membagi-bagikan bantuan sosial, memasang iklan pada poster maupun televisi, dan mendukung kegiatan-kegiatan kepemudaan, serta melakukan kampanye terbuka di berbagai pelosok daerah. Bagaimana masyarakat dapat mengetahui segala aktifitas politik menjelang pemilu, tentu saja melalui peran media massa, baik televisi, radio, maupun surat kabar. Sehingga, relasi media dan pencitraan dapat dianggap sebagai ‘Political Panacea’.
Pencitraan sebagai Fenomena Universal
Sesungguhnya, pencitraan adalah fenomena universal dalam perjuangan politik. Mengapa calon legislatif (caleg) perlu pencitraan? Beberapa waktu lalu, kita mendengar laporan dari CSIS dimana 80% masyarakat rata-rata tidak mengenal calegnya. Hal ini dapat terjadi karena pada umumnya caleg yang akan maju dalam pemilu boleh jadi bukan orang-orang yang sebelumnya aktif dalam kegiatan politik praktis. Misalnya, seseorang tersebut adalah tokoh-tokoh yang sengaja direkrut untuk merepresentasikan visi dan misi parpol.
Sering kita menyaksikan para caleg Parpol peserta Pemilu berprofesi sebagai artis, pejabat publik, akademisi maupun tokoh masyarakat yang dipandang memiliki kapabilitas dalam kontestasi pesta demokrasi Indonesia. Oleh sebab itu, konteks ‘dikenal masyarakat’ cenderung merujuk pada popularitas bukan semata-mata kapabilitas. Sehingga, parpol dan calon legislatif perlu melakukan sosialisasi program kerja dan prestasi individu representasi parpol demi membangun dukungan publik.
Parpol menyadari bahwa elektabilitas dan tingkat popularitas sebagian besar merefleksikan sejauh mana media mempopulerkan caleg peserta Pemilu. Dengan semakin banyak menyaksikan aktifitas politik para caleg di televisi maupun peliputan di surat kabar, diharapkan masyarakat semakin mengenal representasinya. Mengingat kepentingan tersebut, media menjadi rekan yang strategis dalam mendukung perjuangan politik.
Relasi media dengan pencitraan merupakan ‘Political Panacea’. ‘Political Panacea’ adalah upaya yang harus dilakukan oleh para pelaku politik sebagai alternatif dalam mengatasi berbagai tantangan/ kesulitan, terutama dalam tujuannya mencapai target perolehan suara pemilu. Relasi media dan pencitraan erat kaitannya dalam membentuk opini publik. Hal ini mempertimbangkan peran media sebagai penyampai informasi dan pengetahuan kepada masyarakat luas.
Saat ini, hampir semua individu dapat menonton siaran televisi dan mendengarkan radio. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia telah memiliki siaran televisi lokal sesuai dengan kekhasan dan karakteristik budaya masyarakatnya. Selain itu, harga berbagai surat kabar nasional dan koran daerah juga cukup terjangkau. Dengan perkembangan teknologi internet, semua informasi secara cepat dapat dinikmati masyarakat melalui alat komunikasi pribadi (gadget) kapan saja dan dimana saja. Dengan demikian, pencitraan politik melalui media merupakan pertimbangan yang sangat rasional karena informasi menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat modern saat ini.
Polemik Legalitas Komunikasi Politik
Di satu sisi, lembaga independen Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) beberapa waktu yang lalu melaporkan pelanggaran beberapa Parpol terkait iklan kampanye di televisi. KPI menilai, iklan-iklan kampanye melanggar ketentuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 dan 15 Tahun 2013 dimana maksimal penampilan iklan Partai dalam 1 hari di televisi maksimal 10 spot dan maksimal 30 detik per spot. Sementara, beberapa Parpol menayangkan iklan kampanye selama 60 detik dan lebih dari 10 spot dalam sehari (KPI 2014).
Mengapa penayangan yang dianggap berlebihan oleh KPI tentang iklan kampanye Parpol menjadi sebuah masalah? Perlu kita cermati, jaringan penyiaran merupakan fasilitas publik yang perlu dikelola berdasarkan kemanfaatan masyarakat luas. Sehingga dalam hal ini lembaga penyiaran dipandang telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) Pasal 11 ayat 22 dalam P3. Lembaga penyiaran dinilai cenderung memihak pada kepentingan kelompok dan golongan (KPI 2014). Akan tetapi, di balik penilaian KPI akan upaya Parpol memanfaatkan fasilitas penyiaran publik, tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa petinggi Parpol memiliki perusaahaan media penyiaran. Sehingga, protes yang diajukan KPI seolah hanya menjadi “penanda” daripada dimaknai sebagai sebuah “peringatan”.
Dalam memahami relasi media dan pencitraan sebagai “Political Panacea”, masyarakat pada akhirnya menjadi juri terakhir yang dapat mengeksekusi hasil dari perjuangan politik menjelang Pemilu Legislatif 2014. Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, masyarakat telah mumpuni dalam memaknai aktifitas politik para caleg dan upaya Parpol mempromosikan perwakilannya. Mungkin yang luput dari perhatian para Parpol bahwa pencitraan sesungguhnya tidak bisa melalui pendekatan eksternal yang singkat, yaitu pencitraan yang gencar menjelang Pemilu saja.
Sesungguhnya, pencitraan yang paling efektif adalah melalui interaksi dan partisipasi aktif para caleg dalam lingkup masyarakatnya sendiri. Mengapa? Pembentukan opini publik terkait dengan elektabilitas dan tingkat kepercayaan masyarakat sebagian besar berasal dari sejauh mana individu mampu berperan dalam membangun daerahnya. Semua itu adalah proses yang berkesinambungan dalam mengatasi berbagai permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, kaderisasi dan kehadiran Parpol dalam setiap proses pembangunan dan upaya pemberdayaan masyarakat diyakini sebagai catatan sejarah yang dapat memperkuat keberpihakan publik pada para caleg maupun Parpolnya. Perlu kita tekankan bahwa para caleg dan Parpol adalah representasi masyarakat. Keduanya merupakan pilar perjuangan politik di Indonesia yang harusnya betul-betul mengawal demokrasi dan berorientasi pada pencapaian kesejahteraan masyarakat. Perjuangan politik bukan hanya eforia menjelang Pemilu.
Masyarakat perlu mendapat pendidikan politik agar ke depannya seluruh warga negara dapat memilih wakil rakyat dengan seluruh kesadaran, tanggung jawab dan sesuai hati nurani. Hingga kini, media massa berperan cukup strategis dalam membentuk opini publik dan mendongkrak elektabilitas para caleg. Tentunya, karakter media penyiaran yang bermartabat, cerdas, dan tidak berpihak senantiasa diidam-idamkan masyarakat untuk menjadi bagian dari pendidikan dan komunikasi politik. Dengan demikian, diharapkan antusiasme masyarakat menyambut Pemilu merupakan refleksi dari keinginan terdalam untuk Indonesia yang lebih baik, bukan semata-mata bias opini dan kepentingan media massa.

Tags: