Relasi Sosial Kekuasaan “Kiai-Blater” di Madura

Judul : Menabur Karisma Menuai Kuasa ; Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim Kembar di Madura
Penulis : Abdur Rozaki
Penerbit : IRCiSoD
Cetak : Pertama, Juni 2021
Tebal : 128 Halaman
ISBN : 978-623-6166-56-7
Peresensi : Muhammad Ghufron
Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pengurus Jurnal Moderasi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam.

Kiai dan blater merupakan ikon sosial bagi masyarakat Madura. Sosok keduanya sangat distingtif. Sosok kiai merujuk guru yang mendidik dan mengajarkan pengetahuan agama. Memberikan pedoman dan tuntunan hidup dalam menaja keterhubungan substantif dengan Sang Pencipta. Sedangkan blater selalu dikonotasikan sebagai sosok yang memiliki kepandaian dalam hal kanuragan yang disertai dengan ilmu kekebalan dan kemampuan magis yang menambah daya karismatiknya.

Abdur Rozaki menarik kedua sosok itu dalam diskursus dinamika kekuasaan masyarakat Madura. Masing-masing menabur karisma demi hasrat kuasa. Dalam atribut status sosial yang disandang, ada muruah atau harga diri yang mesti dijaga untuk mendapatkan legitimasi kuasa. Sumber kekuasaan seorang kiai dalam tilikan Rozaki berangkat dari faktor kualitas kewibawaan dan sumber ekonomi keluarga. Pun demikian yang berlaku bagi blater. Keduanya serupa dalam perolehan sumber kekuasaan, namun dalam konteks yang berbeda.

Kualitas kewibawaan seorang kiai diperoleh secara given, seperti suara yang keras dan mata tajam, adanya ikatan geneologis dengan kiai karismatik sebelumnya, serta diperoleh melalui proses perekayasaan. Dalam konteks ini, karisma secara sosial dikonstruksikan melalui proses penerimaan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sedangkan kualitas kewibawaan seorang blater terletak pada jejak prestasinya sebagai seorang jago. (Hal-113)

Begitu pula yang berlaku bagi sumber ekonomi keluarga mereka. Keduanya berbeda. Jika sumber ekonomi keluarga seorang kiai diukur bergantung pada besarnya pengaruh kiai di dalam masyarakatnya, maka kerja-kerja kriminalitas yang mendatangkan uang menjadi pekerjaan seorang blater. Pekerjaan ini tentu dianggap tidak biasa oleh masyarakat secara umum. Namun begitulah dunia kerja sebagian besar blater di Madura. Hasrat pemenuhan kebutuhan hidup dapat mengahalalkan segala pekerjaannya.

Terlepas dari hal tersebut, terdapat motif dan konteks sosial ekonomi-politik di antara keduanya dalam jalinan relasi kekuasaan. Motif ekonomi-politik keduanya biasanya dilakukan oleh kiai yang kesadaran dan visi keagamaannya sudah mengalami profanisasi. Dimensi yang bersifat ilahiah dan fundamen keimanan yang dapat memperkuat kualitas spiritualitasnya dikesampingkan. Sebaliknya kiai yang lebih mengutamakan dunia yang profan, akan membuka peluang dan kesempatan bagi bertemunya motif ekonomi politik antara kiai dengan blater.

Keduanya dapat melakukan pertukaran sosial (Social Exchange) melalui pelbagai medium sosialnya dalam membangun dan memelihara status kekuasaannya atas masyarakat. Setidaknya ini merupakan fakta umum bahwa seorang kiai kerap kali dapat melakukan politisasi agama, khususnya kiai politisi. Namun bagi kiai kultural, tentu akan sangat menjaga diri untuk tetap memelihara peran-peran tradisionalnya sebagai pemandu jalan kebenaran umat.

Dalam jalinan sosio-kulturalnya, kiai juga selalu mendatangi setiap undangan dari blater, sepertin ketika sedang mengadakan hajatan sosial. Selain itu, sesosok blater juga menyadari bahwa seorang kiai memiliki kekuatan pengetahuan magis karena kedekatannya dengan Sang Ilahi sehingga membuat diri blater menaruh hormat dalam membangun kontak sosial atau akses dengan kiai dengan tujuan memperoleh kemampuan magis untuk memperkuat akses, kekuasaan, dan status sosialnya di masyarakat. Di situlah momentum hubungan kemanusiaan benar-benar mengalamai sublimasi.

Kendati demikian, dengan melihat asal usul sosial antara kiai dan blater, maka bagi Rozaki, tidak berlebihan pula bila relasi kekuasaan di dalamnya selalu menyertakan beragam dimensi, seperti kompetisi, konflik serta arena untuk saling mengakomodasi. Ada yang unik di antara keduanya ; bahwa mereka sama-sama memproduksi ulang tafsir wacana guna saling memperkuat otoritas sosialnya di tengah masyarakat.

Dengan adanya masing-masing corak wacana yang dikembangkan, masing-masing di antara mereka saling melakukan upaya untuk membebaskan diri dari lingkaran tafsir hegemonik yang sama-sama direproduksi keduanya. Ironisnya, di tengah ungkapan tafsir wacana yang hegemonik keduanya, masyarakat seolah terperangkap dan kesulitan untuk keluar dalam membangun wacana tanding yang membebaskan (Hal-188).

Begitu lah jalinan relasi sosial antara kiai dan blater di Madura dalam menuai legitimasi kuasa, yang di satu sisi penuh gejolak berupa kompetisi dan konflik. Tetapi di sisi yang lain, saling mengakrabkan. Kedua sosok ini akan senantiasa menjadi ikon sosial masyarakat Madura dalam narasi kekuasaan yang kontestatif. Rozaki melalui bukunya ini hendak mendedahkan kesadaran masyarakat Madura akan pentingnya mengetahui seluk-beluk dinamika relasi sosial keduanya. Tujuannya, agar tidak serta merta mengkambinghitamkan kedua sosok tersebut dalam tiap percaturan kekuasaan.

Melalui pengalaman empiris dan kajian literatur yang merujuk kelindan keduanya, Rozaki mampu menangkap detail yang barangkali jarang diulik publik, utamanya bagi masyarakat Madura. Detail berupa historisitas asal-usul sosial kiai dan blater di Madura, tradisi keberagamaan kiai dan blater, dan ragam peristiwa kasuistik relasi kekuasaan kiai dan blater ke semuanya dibungkus dan dikuliti dengan fakta-fakta yang kaya. Akhirnya, buku ini sanggup memantik ketertarikan seorang politisi, tokoh masyarakat, pengamat isu-isu sosial-budaya, atau bahkan masyarakat secara umum untuk membacanya hingga tuntas. Tanpa satu pun halaman terabai.

———- *** ———–

Tags: