Relevansi De-sekolah-isasi di Tengah Covid-19

Oleh:
Ahmad Fatoni
Pengajar Pendidikan Bahasa Arab UMM

SEJARAH mencatat, pasangan Haji Agus Salim dan istrinya Zaitun Nahar memiliki delapan anak, yakni Theodora Atia, Yusuf Taufik, Violet Hanisah, Maria Zenibiyang, Ahmad Syauket (meninggal dunia pada masa Revolusi), Islam Basari, Siti Asiah, dan Mansur Abdurrahman Sidik. Kedelapan ptra-putrinya itu tak ada satu pun yang dimasukkan ke sekolah formal, semua dididik oleh sang bapak dan ibunya, di rumah.

Haji Agus Salim rupanya tak terlalu percaya dengan pendidikan sekolahan. Beliau lebih memercayai konsep homeschooling yang belakangan menjadi trend baru. Salah satu orang kepercayaan HOS Tjokroaminoto, itu tak menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah formal adalah wujud perhatian terhadap keluarganya. Beliau tidak ingin keluarga, termasuk istri dan anak-anaknya, terpengaruh oleh pikiran dan kebudayaan penjajah.

Membaca apa yang sudah dilakukan oleh Haji Agus Salim terhadap keluarganya, terutama anak-anaknya, mengenai pendidikan puluhan tahun yang lalu, ada baiknya kita merenungi, apakah ‘sekolah’ masih relevan untuk hari ini dan masa depan, terlebih di tengah mewabahnya COVID -19?

Sekitar 30 puluhan tahun lalu, Ivan Illich (1926-2002), pemikir kelahiran Vienna, Austria itu, sudah mengingatkan perlunya kita melakukan—meminjam istilah budayawan-sastrawan Romo Sindhunata mengenai konsep pendidikan Illich—‘de-sekolah-isasi masyarakat’ atau deschooling society. Ada nada skeptis Illich di sini. Illich tak melihat kegunaan sekolah bagi kehidupan sosial yang sesungguhnya.

Kini, pukulan telak COVID-19 memertegas bahwa belajar di rumah sebagai pilihan teraman dan mungkin terbaik. Sekolah tiba-tiba menjadi tempat yang kurang menjamin keamanan. Boleh jadi, gempuran dahsyat pandemik tersebut yang menjadikan masyarakat mengalami de-sekolah-isasi (deschooling society). Di sinilah terlihat dimensi substantif pendidikan itu adalah belajar, bukan sekolah.

Kritik Illich terhadap sekolah tercermin pada apa yang disebutnya sebagai “proses institusionalisasi pendidikan”, di mana pendidikan disekat dalam kapling kelembagaan-formal. Dalam hal ini, pendidikan selalu diidentikkan dengan sekolah. Seseorang dikatakan berpendidikan jika ia pernah menduduki “bangku sekolahan”. Demikian juga seorang murid dicap pintar, jika nilai rapornya tidak ada yang merah. Petakanya, pengetahuan disebut sebagai ilmu atau ilmiah jika lulus dari standard uji metodologi formal yang amat empiris-positivistik.
Sedang pada tataran praksis, kritik yang muncul bahkan mewujud dalam kecenderungan hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sekolah. Dr. Alan Thomas (2002) dalam artikelnya, Informal Learning, Home Education and Homeschooling (www.infed.org/biblio/home_education.htm) menunjukkan bahwa fenomena di Amerika Utara, Australia, dan sebagian besar negara-negara di Eropa terus meningkat selama dua dekade terakhir ini. Salah satu alasan utama para orang tua yang melaksanakan homeschooling adalah karena problem pengalaman anak-anak mereka di sekolah baik secara akademik maupun sosial.

Bila menilik sejarah pendidikan Islam, sistem pembelajaran formal yang kemudian dikenal dengan istilah sekolah adalah fenomena yang muncul belakangan. Jauh sebelum pendidikan formal ini ada, telah berkembang sistem pembelajaran yang bersifat informal dan nonformal. Antara lain, misalnya, Kuttab, Masjid, Halaqah, Dar al-Qur`an, Dar al-Hadits, Perpustakaan, dan sebagainya.

Sementara dalam sejarah pendidikan Islam Indonesia, kita juga mengenal ada beberapa jenis Lembaga pendidikan Islam nonformal yang sangat populer, di antaranya Pesantren, Surau, Majelis Ta`lim, Taman Pendidikan al-Qur`an (TPA), Halaqah, Majelis Tabligh, Jama’ah Tahlil, dan sebagainya. Dengan demikian, fenomena homescholing bagi pendidikan Islam adalah sesuatu yang tidak asing.

Sejak lama pendidikan Islam di Indonesia mengalami dialektika yang terus akan bergulir antara tesis, anti tesis, dan sintesis. Ambil misal, ketika sistem pesantren dengan sorogan dan bandongannya dianggap konvensional, tradisional, dan tidak efektif karena tidak memiliki sistem evaluasi yang jelas terhadap hasil belajar santri, maka kemudian sistem “sekolah” diadopsi sebagai antitesis. Lalu berdirilah madrasah-madrasah yang difasilitasi oleh pemerintah dan organisasi swasta, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga pendidikan tinggi.

Adanya homeschooling atau unschooling seakan semakin menguatkan, kendati proses pendidikan Islam berpusat pada tiga miliu: keluarga, komunitas, dan masyarakat, namun pertanggungjawaban yang paling utama dan pertama tetap terletak pada keluarga (tarbiyah usariyah). Berkaitan dengan ini, dalam tradisi pendidikan Islam dikenal ada ungkapan “al-umm madrasat al-ula, idza a’dadtaha a’dadta syaabban thayyib al-a’raq” [artinya orangtua (terutama ibu) merupakan madrasah (guru) pertama bagi anak-anaknya, jika engkau memersiapkannya (keluarga) dengan baik, maka engkau menyiapkan satu generasi tangguh di masa depan].

Pada masa darurat COVID-19 yang kian mewabah, keperkasaan sekolah terdisrupsi hingga ambruk tak berdaya. Sementara di sisi lain, rumah masih gagap menjadi habitus pembelajaran. Program de-sekolah-isasi akhir-akhir ini menemukan relevansinya dan perlu disadari oleh para orang tua dan guru. Saatnya sekarang menyulap rumah agar mampu menjadi sekolah pertama.

Dalam konteks itulah, unschooling pantas diapresiasi dan diuji-praktikkan isinya, tentunya setelah dilakukan proses adaptasi dengan nilai-nilai religio-kultural khas nusantara. Karena di tengah ancaman kemiskinan dan angka putus sekolah sebagai dampak pandemik COVID-19, sistem unschooling barangkali terasa relevan menjadi model pembelajaran alternatif yang dapat dikembangkan menuju pendidikan partisipatoris bagi pemberdayaan generaso bangsa ini.

—————– *** —————–

Tags: