Remunerasi, Efisiensi, dan Korupsi

Diah NoviantiOleh:
Diah Novianti
PNS, Peneliti, alumnus SUIM Programme UGM-IHS

Remunerasi, sebuah kata yang banyak diharapkan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk mendapatkan kenaikan penghasilan yang diukur dengan kinerja seorang PNS. Bagi PNS yang berdedikasi, remunerasi merupakan suatu tantangan untuk lebih meningkatkan karyanya melalui improvisasi dan inovasi. Sementara bagi PNS yang terbiasa mendapatkan tambahan penghasilan dari kesediaan membubuhkan tanda tangan dalam tanda petik, maka remunerasi merupakan suatu mimpi buruk. Dalam pemilihan rektor sebuah PTN, semua kandidat terakhir menjanjikan akan memberlakukan remunerasi jika dirinya terpilih sebagai rektor PTN tersebut. Sedemikian berartinya remunerasi bagi PNS.
Akan tetapi tidak demikian halnya dengan pemerintah daerah. Tidak semua Kepala Daerah segera memberlakukan remunerasi dengan berbagai alasan, meski tidak sedikit alasan tersebut secara kasat mata terbaca sebagai suatu alasan yang tidak masuk akal. Pemerintah Kota Surabaya, Pemerintah DKI Jakarta ataupun Pemerintah Provinsi Jawa Barat merupakan beberapa contoh daerah yang telah melaksanakan remunerasi. Di sisi lain, ada suatu daerah dengan PAD yang cukup tinggi hingga saat ini dengan dengan lugasnya menyatakan belum siap melakukan remunerasi bahkan masih akan melakukan uji coba di beberapa biro Setda untuk tahun depan, sementara untuk SKPD lain akan menyusul.
Remunerasi pada dasarnya merupakan alat untuk mewujudkan visi dan misi organisasi dengan tujuan untuk menarik pegawai yang cakap dan berpengalaman, mempertahankan pegawai yang berkualitas, memotivasi pegawai untuk bekerja dengan efektif, memotivasi terbentuknya perilaku yang positif, dan menjadi alat untuk mengendalikan pengeluaran.
Definisi Korupsi
Mengutip tulisan Prof. J.E Sahetapy, dalam situs Komisi Hukum Nasional (KHN) Republik Indonesia, Indonesia sudah mewabah dengan korupsi. Korupsi, dengan beberapa perkecualian, sudah merajalela di hampir seluruh instansi publik di seluruh eselon pemerintahan di pusat maupun di daerah. Hampir tanpa ada rasa malu lagi bila yang bersangkutan tersangkut korupsi. Bahkan pihak swasta, non pemerintah, turut bermain mata, kongkalikong, bila berurusan dengan instansi/pegawai pemerintah. Skandal korupsi yang merajalela hampir seperti di Rusia dan Tiongkok
Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo.UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan; kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, gratifikasi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi (KPK, 2006: 19-20).
Melansir kalimat yang disampaikan oleh seorang hakim pada Pengadilan Negeri yang juga memiliki sertifikat sebagai hakim Tipikor, bahwa bila ditinjau dari sisi administrasi, sedikit sekali pejabat ataupun pemegang jabatan tertentu yang terjerat korupsi. Artinya tidak sedikit kasus korupsi yang terungkap akibat kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan abal-abal atau istilah yang saat ini sedang menjadi tren yaitu kegiatan “siluman”, meskipun bila ditinjau tata kelola administrasinya sudah ter SPJ kan secara keseluruhan. Sebagai contoh, perjalanan dinas ke luar daerah dengan menggunakan pesawat. Bila diperiksa tiket dan boarding pass nya sudah lengkap dan benar, akan tetapi bila diperiksa dalam manifestasi penerbangan tidak muncul namanya, maka tindakan ini sudah termasuk korupsi yang merugikan keuangan negara.
Pekerjaan Siluman
Perhitungan dan aturan remunerasi sudah jelas dan terukur, sehingga bila ada kesulitan untuk memberlakukan tentu menimbulkan suatu pertanyaan besar. Bila dilakukan perhitungan rencana anggaran biaya dengan tepat dan sesuai kebutuhan tentu akan diperoleh penghematan dan kemudahan dalam peng-SPJ-annya. Bila saat belum diberlakukan remunerasi, suatu SKPD mampu memberikan insentif kepada staf sebesar Rp. 1.000.000,00 per bulan tentu akan muncul pertanyaan darimana sumber dananya, karena insentif tidak muncul dalam RKA. Seorang staf menerima sebesar nilai tersebut, tentu pejabat di atasnya tentu mendapatkan nilai yang lebih besar. Bisa dihitung dan dilacak bagian mana yang merupakan SPJ siluman. Disamping itu, pemberian uang lembur yang sesungguhnya dimaksudkan sebagai imbalan atas pekerjaan tambah yang harus dilakukan oleh PNS sering disalahartikan dengan dimaksudkan untuk memberikan penghasilan tambahan saja. Hal ini dapat dibuktikan dengan menghitung dengan tepat, sesungguhnya berapa besar beban tugas/pekerjaan PNS dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan beban tugas/pekerjaan tersebut. Hal ini terkecuali untuk keadaan darurat, misal terjadi bencana alam. Berdasarkan pengamatan, sebelum menggunakan mesin “finger print” untuk bukti kehadiran, setelah pukul 16.00 WIB beberapa ruangan sudah tertutup atau sedang dibersihkan yang menunjukkan bahwa dalam ruangan tersebut sudah tidak ada aktivitas lagi. Akan tetapi setelah adanya mesin “finger print”, pada malam hari masih nampak beberapa pegawai yang berkumpul dan di ruangan yang menunggu waktu untuk check out sesuai dengan jadual lembur optimal, yaitu 4 (empat) jam sehingga dapat uang lembur dan uang makan lembur. Bila diperiksa pada sisi administrasi tidak nampak penyimpangan karena SPJ yang dilampirkan sudah lengkap sesuai aturan, meliputi daftar hadir, laporan pekerjaan yang dilakukan. Akan tetapi bila diperiksa substansi pekerjaan apa betul pekerjaan tersebut membutuhkan waktu lebih sehingga perlu kerja lembur.
Bila kita kaji lebih dalam, memang benar dengan pelaksanaan lembur dapat memberikan penghasilan lebih. Akan tetapi bila pekerjaan lembur tersebut merupakan pekerjaan “siluman”, sesungguhnya telah terjadi inefisiensi, antara lain penambahan biaya listrik dan air kantor. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah pengurangan waktu sang PNS bagi keluarga terutama bagi karyawati. Hal ini kontraproduktif dengan wacana Wakil Presiden Jusuf Kalla yang pernah disampaikan beberapa waktu lalu mengenai pengurangan jam kerja bagi karyawati PNS sehingga lebih banyak waktu yang tersedia untuk keluarga terutama anak-anaknya. Wacana ini mendapat respon positif dari Menteri PAN-RB dengan menyusun beberapa rencana kebijakan terkait hal tersebut.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa remunerasi memiliki hubungan berbanding lurus dengan efisiensi. Artinya, semakin besar remunerasi yang dapat dibayarkan maka semakin tinggi efisiensi yang dapat dilakukan, antara lain karena dapat menarik pegawai yang cakap dan berpengalaman, mempertahankan pegawai yang berkualitas, memotivasi pegawai untuk bekerja dengan efektif, memotivasi terbentuknya perilaku yang positif, dan menjadi alat untuk mengendalikan pengeluarandapat memotivasi karyawan bekerja dengan efektif
Berbanding Terbalik
Remunerasi memang menguntungkan bagi staf, akan tetapi sangat tidak menguntungkan bagi pejabat atau PNS yang mendapat amanah yang “tidak amanah”. Bagaimana tidak, tarif remunerasi 100%, yang baru bisa berlaku di Kementrian Keuangan, tarif numerasi seorang pejabat Eselon II dengan Kelas 15 (tertinggi untuk Eselon II) “hanya” sebesar Rp. 30.125.000/bulan atau sebesar Rp. 361.500.000 selama setahun. Angka ini tentu sangat kecil bila dibanding dengan “penghasilan” yang dapat diraih dengan sistem saat ini sebesar 10% dari anggaran yang dikelola SKPD. Belum lagi “penghasilan tambahan” pejabat eselon di bawahnya. Apabila “penghasilan” tersebut dikumpulan dan ditambah dengan penggunaan anggaran sesuai kebutuhan, tentu dapat digunakan untuk membayar minimal 50% tarif remunerasi seluruh PNS pada SKPD tersebut bahkan seluruh PNS Pemda.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa remunerasi memiliki hubungan berbanding terbalik dengan korupsi. Semakin tinggi korupsi yang direncanakan akan semakin kecil peluang pembayaran remunerasi dan sebaliknya semakin kecil peluang korupsi maka akan semakin besar peluang pembayaran remunerasi. Hal ini  berarti pula semakin banyak kesesuaian antara beban tugas dan tanggung jawab dengan penghasilan sehingga kesejahteraan memiliki pola distribusi normal.
Sebagai PNS, selamat hingga memasuki usia pensiun adalah suatu cita-cita. Menikmati pensiun dengan tenang bersama keluarga di rumah, tidak di tempat lain yang menyesakkan. Loyal terhadap pekerjaan itu perlu, akan tetapi loyal demi mempertahankan sesuatu dengan mempertaruhkan masa depan adalah suatu langkah konyol. Apalagi dengan mengorbankan bawahan kita yang justru seharusnya dilindungi oleh atasan sebagai penerima amanah.

                                                                                           ——————— *** ——————–

Rate this article!
Tags: