Remunerasi Pejabat Struktural-Fungsional

Oleh :
Dr Hary Wahyudi, SH, MSi
Widyaiswara Badan Diklat Jatim

Presiden SBY mengemukakan bahwasannya tahun 2014 merupakan tahun politik karena bertepatan dilaksanakan pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Bagi kalangan eksekutif birokrasi, tahun ini merupakan tahun perubahan nasib, karena diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang memperpanjang usia pensiun menjadi 58 dan 60 tahun. Diharapkan tidak saja ada perpanjangan usia kerja, namun juga menjadi perubahan kesejahteraan karena diberlakukan nemurasi pegawai berdasarkan PP 46 Tahun 2011 dan Peraturan Kepala BKN Nomor 1 Tahun 2013 tentang Penilaian Kerja PNS sebagai dasar pemberian remunerasi.
Menurut Deny Suryana (2010), remunerasi pemerintahan adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kebijakan Reformasi Birokrasi. Remunerasi dilatarbelakangi oleh kesadaran sekaligus komitmen pemerintah untuk mewujudkan  clean and good governance. Namun pada tataran pelaksanaannya, perubahan dan pembaharuan yang dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa tersebut tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan baik (efektif) tanpa kesejahteraan yang layak dari pegawai.
Sekretaris Kementerian PANRB Tasdik Kinanto mengatakan, penilaian kinerja pegawai berdasarkan PP 46 tahun 2011 terdiri dari dua unsur, yaitu sasaran kerja pegawai (SKP) dengan bobot 60 persen, dan perilaku pegawai dengan bobot 40 persen. Hal itu tidak dikenal dalam PP 10 tahun 1979 yang mengatur tentang Daftar Penilaian Prestasi Pegawai (DP3). Dalam pelaksanaan penilaian, setiap pegawai wajib menyusun  SKP berdasarkan rencana kerja tahunan. SKP ditetapkan dan disetujui oleh pejabat penilai, dengan memuat kegiatan tugas jabatan dan target yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu. Jadi sangat riil dan terukur, dan dinilai berdasarkan tingkat kesulitan dan prioritas.
Adapun penilaian perilaku,  meliputi  sikap dan tindakan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan orientasi pada pelayanan, integritas, komitmen, disiplin, kerjasama dan kepemimpinan. Hal ini dipertegas pernyataan Wakil Menteri PANRB Eko Prasojo menegaskan, manajemen berbasis kinerja harus segera diciptakan. Karena tunjangan kinerja yang akan diberikan kepada kementerian/lembaga per Januari 2014 diubah menjadi perform individual menghasilkan lintasan baru menuju birokrasi yang perform base,  dilakukan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja.
Selanjutnya dalam Permenpan Nomor 34 Tahun 2011 tentang Pedoman Evaluasi Jabatan secara khusus disarankan untuk menggunakan metode Sistem Evaluasi Faktor atau Factor Evaluation System (FES) sebagai acuan bagi setiap kementerian/lembaga dan pemerintah provinsi/kabupaten/kota untuk melaksanakan evaluasi jabatan dalam rangka penentuan nilai dan kelas jabatan Pegawai Negeri di lingkungan masing-masing.
Metode dalam penentuan evaluasi dilakukan dengan validasi untuk setiap jabatan struktural, jabatan fungsional tertentu, maupun jabatan fungsional umum di lingkungan instansi berupa, yang meliputi Peta Jabatan, Informasi Faktor Jabatan Struktural dan Informasi Faktor Jabatan Fungsional Tertentu/Jabatan Fungsional Umum. Intinya suatu jabatan baik struktural maupun fungsional bisa berada/menduduki grade tertentu, perhitungan atau polanya sudah standar.
Penggunaan Metode FES dalam Evaluasi Jabatan struktural dan fungsional memiliki informasi faktor evaluasi yang berbeda. Masing-masing faktor evaluasi jabatan di atas diberikan nilai (skor) yang sudah ditentukan dan dijabarkan lagi dalam range yang mempunyai nilai berbeda pula
Adapun perolehan remunerasi jabatan Struktural sebagai berikut : Eselon I (Pimpinan Tinggi Utama) kelas jabatan 16-17, besaran remunerasi Rp.14.350.000 – 19.360.000. Eselon II (Pimpinan Tinggi Madya/ Pratama) kelas jabatan 14-15, besaran remunerasi Rp.7.900.000-10.315.000. Eselon III (Pejabat Administrator) kelas jabatan 11-13, besaran remunerasi Rp.3.850.000-6.300.000.  Eselon IV (Pejabat Pelaksana) kelas jabatan 8-10, besaran remunerasi Rp.2.50.000-3.350.000. Jabatan Fungsional Tertentu (Widyaiswara, Peneliti, Perencana, Dsb) kelas jabatan 7-8, besaran remunerasi Rp.2.300.00-2.500.000. Jabatan Fungsional Umum kelas jabatan 5-7, besaran remunerasi Rp.1900.000-.2.300.000. Lainnya : Staf, Pelaksanan Teknis, Pelaksana, kelas jabatan 1-4, besaran remunerasi Rp.1.560.000-1.850.000.
Dengan demikian untuk jabatan fungsional tertentu, seperti widyaiswara, perencana, peneliti dan jabatan fungsional keahlian lainnya, ternyata grade kelas jabatan dan besaran remenurasinya ditempatkan pada posisi 7-8 dibawah pejabat eselon IV. Padahal dalam jabatan fungional dikenal penjenjangan Pertama. Muda, Madya dan Utama, namun dalam penempatan kelas jabatan dan penentuan besaran  remunerasi disamaratakan.
Penentuan grade jabatan menimbulkan kesenjangan yang amat menyakitkan, jika penentuan grade didasarkan pada satuan kinerja pegawai (SKP) maka dapat dipastikan bahwa untuk jabatan fungsional sudah sangat rinci, lengkap dan detail per item kegiatan, karena item kegiatan tersebut dpergunakan untuk pengurusan angkat kredit.kenaikan jabatan fungsional  dan pangkat PNS. Hal ini sangat berbeda dengan tupoksi struktural. Lantaran itu, sudah semestinya ada kebijakan untuk melakukan penyesuaian atas grade dengan menempatkan kelas jabatan sesuai dengan SKP yang dihasilkan.
Kesenjangan Struktural dan Fungsional
Kesenjangan kelas jabatan antara jabatan struktural dan jabatan fungsional menimbulkan ketidak adilan, apalagai dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menghilangkan eselonisasi struktural dan mendudukan jabatan fungsional pada posisi yang simetris.
Karena pada dasarnya pengangkatan PNS dalam jabatan tertentu ditentukan berdasarkan perbandingan objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dimiliki oleh pegawai  yang dikelompokan dalam klasifikasi jabatan PNS yang menunjukkan kesamaan karakteristik, mekanisme, dan pola kerja. Dan PNS dapat berpindah antar dan antara, secara vertikal (promosi), horizintal (mutasi) dan diagonal (jabatan administrasi ke fungsional atau sebaliknya) pada  Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, dan Jabatan Fungsional  di Instansi Pusat dan Instansi Daerah berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan penilaian kinerja.
Lantaran itu, ageda setting penentuan remunerasi untuk jabatan fungsinal berdasarkan SKP bukan yang lain. Prinsip dalam remunerasi adalah pemberian tunjangan kinerja kepada pegawai didasarkan kepada jabatan dan kelas jabatan. Sistem remunerasi PNS harus berpegang pada merit system, yaitu penetapan besarnya tunjangan kinerja harus berbasis kinerja, bobot pekerjaan dan peringkat (grade) masing-masing jabatan.
Nilai dan kelas suatu jabatan digunakan untuk menentukan besaran gaji yang adil dan layak selaras dengan beban pekerjaan dan tanggung jawab jabatan tersebut.  Nilai dan kelas suatu jabatan diperoleh atau ditetapkan melalui proses yang disebut Evaluasi Jabatan yang akan digunakan dalam pemberian tunjangan.
Remunerasi hanya akan efektif jika dilaksanakan bersamaan dengan penerapan manajemen kepegawaian yang berorientasi pada kinerja, sehingga ada kejelasan tentang apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab masing-masing pegawai, serta ukuran/target kinerja yang bagaimana yang harus dicapai, dengan demikian setiap pegawai memahami bahwa untuk mendapatkan imbalan tertentu harus mencapai kinerja tertentu pula. Selain itu, untuk efektifitas remunerasi perlu dilakukan pembinaan mental terhadap PNS yang terbiasa berperilaku korup bila diberikan amanah, dan menyiapkan sanksi bagi PNS yang tidak amanah dalam melaksanakan tugasnya.
Pemberian remunerasi itu seharusnya bisa mendorong kualitas kinerja pegawai. Mengingat besarnya anggaran negara yang dikeluarkan untuk remunerasi pegawai sudah selayaknya pelayanan yang diberikan semakin baik dan kinerja aparat kian tinggi. Namun Harsanto meyakini remunerasi belum tentu langsung memperbaiki kinerja semua aparat penegak hukum. Misalnya Hakim, Masih ada yang tersangkut mafia hukum dan tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Padahal, remunerasi bagi hakim relatif tinggi. Olehnya itu, remunerasi ini harus didukung langkah internal lembaga agar mampu meningkatkan kinerja PNS berupa pembiasaan PNS melakukan aktivitas kerjanya sesuai dengan sasaran kerja yang menjadi target pekerjaannya dengan melihat prosesnya.

Tags: