Rencana Pemerintah Hapus Dokumen Amdal Tuai Kritik

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Upaya pemerintah melakukan percepatan pembangunan dengan mempermudah perizinan investasi, yang salah satu rencananya akan menghapus sebagian domumen Amdal menuai kritik banyak kalangan, khususnya pegiat lingkungan.
Thamrin School of Climate Change and Sustainability menilai penghapusan Amdal sebagai izin atau dokumentasi saja adalah suatu kesalahan mendasar yang harus diperbaiki.
Kepala Sekolah Thamrin School Farhan Helmy mengatakan, Amdal adalah proses komprehensif untuk menilai kelayakan kegiatan usaha atau proyek dengan mengintegralkan aspek teknis, ekonomi dan lingkungan, termasuk mengakomodasikan kemungkinan dampak lingkungan dan sosial baik positif maupun negatif. Keberadaan Amdal juga bertujuan untuk melindungi lingkungan dan masyarakat dengan cara memastikan dampak bersih positif proyek tersebut melalui pengelolaan dan pemantauan dampak.
Di Indonesia, kata Farhan, seluruh proyek dinyatakan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi Amdal. “Proyek yang skala serta dampaknya dianggap kecil tidak wajib membuat Amdal, namun tetap wajib membuat Upaya Pengelolaan Lingkungan/Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL),” katanya, Senin (28/3).
Hanya apabila proses penyusunan Amdal atau UKL/UPL dan penilaian Amdal atau pemeriksaan UKL/UPL telah selesai, maka pemrakarsa proyek baru dapat mengajukan izin lingkungan, yang merupakan izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL atau UKL/UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kebijakan tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.
Menurut Farhan harus diakui bahwa kebanyakan Amdal yang dibuat di Indonesia tidaklah bermutu baik. Lantaran hampir seluruh pemangku kepentingan berpikiran salah kaprah bahwa Amdal adalah sekadar izin sebagaimana yang juga ditunjukkan oleh para pengusul penghapusan Amdal, maka proses pembuatannya tidaklah sesuai dengan semangat perlindungan lingkungan dan sosial. “Alih-alih menghapuskan karena mutu banyak Amdal itu belum baik, yang seharusnya dilakukan adalah menegakkan Amdal, mengembalikan kepada tujuan semula, dan memperbaiki mutunya,” katanya.
Menurutnya, hal yang sangat penting untuk diketahui publik bahwa ketentuan mengenai Amdal yang berlaku di Indonesia sesungguhnya belum mencerminkan perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan. Analisis dampak lingkungan maupun dampak sosial sudah sangat maju dan oleh berbagai negara sudah dimasukkan ke dalam regulasi mereka.
Kaitan antara Strategic Environmental Assessment (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) yang dimaksudkan untuk menilai kebijakan, rencana dan program pembangunan dengan Amdal yang diberlakukan untuk proyek sudah sangat jelas dan saling mendukung, bukan saling meniadakan. Karenanya, demi tujuan pembangunan berkelanjutan, yang juga perlu didorong adalah penyempurnaan regulasi Amdal yang ada sekarang serta penegakannya.
Dijelaskan Farhan, pembuatan Amdal dalam waktu yang efisien sesungguhnya bisa sangat terbantu apabila pemerintah pusat dan pemerintah daerah benar-benar menjalankan kewajibannya membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Permen LH No 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Kajian Lingkungan Hidup Strategis.
Berbagai provinsi dan kabupaten yang belum memiliki KLHS sebagai dasar tata ruangnya harus segera dibantu untuk menyelesaikannya, sementara mereka yang sudah memilikinya namun bermutu kurang baik perlu dibantu untuk meningkatkan mutunya. Hanya dengan demikian saja maka Amdal bisa dibuat dalam kurun waktu yang efisien tanpa mengorbankan tujuan pembuatannya. [geh]

Tags: