Rencana Penutupan Pabrik Gula Perlu Kajian Mendalam

(Pemprov akan Kirim Surat ke Men BUMN)
Pemprov Jatim, Bhirawa
Rencana PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI melakukan program regrouping terhadap enam (6) Pabrik Gula (PG), untuk dialih fungsikan menjadi workshop atau house of maintenance dan wisata heritage belum mendapat ‘restu’ dari Pemprov Jatim. Rencana ini dikhawatirkan akan membawa gejolak bagi perekomian dan sosial.
Kepala Dinas Perkebunan Jatim, Ir Samsul Arifien MMA mengatakan, Pemprov Jatim mengharapkan ada pembicaraan kembali antara Menteri BUMN dengan jajaran Pemprov Jatim, Pemda setempat, Pusat Penelitian, dan perwakilan masyarakat dan petani tebu, untuk mengkaji bersama dengan membentuk tim independen.
“Tim independen yang dibentuk nantinya akan melakukan kajian yang berkaitan untung ruginya dan terhadap dampak ekonomi masyarakat di Jatim, dan bukannya mengkaji untung atau rugi pabrik gula,” kata Samsul, Senin (2/1).
Permintaan kajian kembali ini disampaikan Pemprov Jatim dengan berkirim kepada Menteri BUMN dalam waktu dekat.”Kita akan mengirimkan surat permintaan kajian ulang ini pada Menteri BUMN dalam waktu dekat,” ujar Samsul dikonfirmasi.
Dijelaskannya, jika dianalisas, sebenarnya penutupan ke sembilan PG yang akan dilakukan PTPN XI (enam PG) dan PTPN 10 (tiga PG) akan membawa gejolak ekonomi. “Jika dihitung, perhektar dan rendemannya, maka bisa kehilangan gula sampai dengan 120 ribu ton atau 10 persen dari produksi selama ini di Jatim sebanyak 1,2 juta ton,” paparnya.
Begitupula dengan alasan dialihkannya produksi tebu ke PG yang tidak ditutup, lanjutnya, kenyataannya jika PG ditutup maka tanaman tebu dan produksi gula banyak berkurang dan hilang.
Hal ini pernah dialami pada tahun 1996, seperti penutupan dua PG, yaitu PG di Krian dan PG Demas di Besuki. Waktu itu, rencananya tebu dari PG Krian yang sudah ditutup maka dialihkan untuk digiling di PG Krembung, dan begitupula di PG Demas dialihkan ke PG Wringinanom.
“Kenyataan ketika PG ditutup maka di Krian tidak ada petani yang sudah menanam tanaman tebu, karena petani enggan. Hal itu juga terjadi di areal lahan di Besuki,” jelasnya.
Ketika 1996 dua PG tutup, maka yang terjadi pada tahun 1996 yang produksinya mencapai 1.035 juta ton. Selanjutnya pada tahun 1997 turun menjadi 981 ribu ton. Kemudian tahun 1998 juga turun produksinya menjadi 685 ribu ton, dan tahun 1999 turun lagi menjadi 657 ribu ton.
“Inilah dampak psikologi penutupan pabrik gula. PG ditutup tebu dan gula hilang ,” katanya.
Belum lagi, lanjutnya, kerugian bagi masyarakat Jatim yang kehilangan 120 ribu ton gula kali Rp 10 ribu maka Rp 1,2 triliun. “Belum lagi mengenai tenaga kerja, kalau pabrik gula ada 700 orang lalu dikalikan 9 PG jadi 6.300 orang sampai 7000 orang akan kehilangan pekerjaan itu dipabrik. Kemudian, petani tebu sendiri bisa mencapai 24 ribu orang yang menggantungkan pada tanaman tebu. Inilah efek sosial, tenaga kerja, dan ekonomi di Jatim,” katanya.
Ia juga menyetujui jika PG dijadikan untuk heritage namun PG tidak harus ditutup, sebab PG tersebut bisa menjadi wisata menarik untuk mengetahui sebuah pabrik untuk menggiling tebu. “Jadi keputusannya jangan sampai sepihak menutup PG,” katanya.
Berkaitan dengan penurunan jumlah pasokan untuk giling, Samsul juga mengatakan, kalau salah satunya dikarenakan munculnya pabrik gula baru. Namun, hal itu tidak semestinya dibuat alasan untuk menutup PG yang ada. “Justru harus ada peningkatan revitalisasi baik off farm dan on farm serta peningkatan produktivitasnya yang harus dilakukan,” katanya.
Untuk revitalisasi on farm dengan jaminan peningkatan pasokan bahan baku melalui perluasan dan peningkatan produktivitas seperti kemitraan antara PG dan petani tidak sebatas kerjasama pengolahan namun PG wajib memberikan bimbingan teknologi, adanya penyediaan beni varietas unggul, dan menjaga ketersediaan pupuk dan akses permodalan. Sedangkan revitalisasi off farm seperti peningkatan efesiensi PG dan perbaikan manajemen PG. [rac]

Tags: