Rencana Prabowo Berikan Gelar Pahlawan ke Soeharto Kontraproduktif

stiker pak harto, piye kabare penak jamanku to,Jakarta, Bhirawa
Rencana Prabowo Subianto memberikan gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Soeharto tak akan mendongkrak suara calon presiden nomor urut 1 itu, kata pengamat politik dari Alvara Research Center, Hasanudin Ali di Jakarta, Rabu.
Prabowo dalam acara deklarasi dukungan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI dan Polri (FKPPI) terhadap pasangan Prabowo-Hatta yang diadakan di Jakarta Convention Center (JCC) Selasa (3/6) mengatakan akan memperjuangkan pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto.
“Tujuan meraup suara dari pernyataan tersebut justru akan berbalik. Walau bagaimanapun jumlah masyarakat yang tidak menyukai zaman pak Harto lebih banyak,” kata Hasanudin.
Menurut Hasanudin, langkah yang dilakukan Prabowo hampir mirip dengan apa yang dilakukan Golkar saat kampanye pemilihan legislatif. “Saat itu Golkar memunculkan lagi slogan Lebih Enak Zaman Soeharto. Tapi ternyata hal itu tidak berpengaruh besar terhadap elektabilitas Golkar pada pileg,” katanya.
Mahkamah Konstitusi sendiri tahun 2012 memutuskan menolak pengujian Pasal 1 angka 4 UU nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.
“Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Menyatakan menolak permohonan para Pemohon,” kata Ketua Majelis Hakim MK saat itu, Mahfud MD, saat membacakan putusannya.
Permohonan pengujian UU Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan ini diajukan Ray Rangkuti, Muhammad Chozin Amirullah. Asep Wahyuwijaya, AH. Wakil Kamal, Edwin Partogi, Abdullah, Arif Susanto, Dani Setiawan, Embay Supriyanto, Abdul Rohman dan Herman Saputra.
Pasal 1 angka 4 UU 20/2009 yang berbunyi: “Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia”.
Menurut para Pemohon, Pasal 1 angka 4 UU 20/2009 ini harus diperluas tafsirnya, yaitu warga negara yang mendapat gelar pahlawan nasional bukan hanya yang gugur karena membela bangsa dan negara tetapi juga membela kebenaran selama berjuang melawan ketidakadilan.
Para Pemohon menolak mantan Presiden Soeharto yang lolos seleksi dan dicalonkan sebagai pahlawan dari daerah Jawa Tengah, secara induktif berpendapat bahwa nilai keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kekesatriaan, tidak menjadi bagian dari tafsir Pahlawan Nasional yang dimaksud oleh UU 20/2009.
Pemohon juga mengkhawatirkan keberadaan Pasal 25 huruf d UU 20/2009 dan Pasal 26 huruf d UU 20/2009. Pada Pasal 25 huruf d UU 20/2009 yang menyatakan: “Syarat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a terdiri atas: d. berkelakuan baik”.
Sedangkan dalam Pasal 26 huruf d UU 20/2009 yang menyatakan: “Syarat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b untuk Gelar diberikan kepada seseorang yang telah meninggal dunia dan yang semasa hidupnya: d. pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara membuka celah bagi warga negara yang rekam jejaknya buruk untuk menjadi pahlawan nasional.
Dimaknai sepihak Para Pemohon mengkhawatirkan bahwa frasa “berkelakuan baik” yang menjadi syarat pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, akan dimaknai secara sepihak oleh pendukung calon pahlawan tertentu untuk meloloskan calon pahlawan bagi Soeharto.
Terhadap dalil tersebut Majeli hakim MK berpendapat, sebagai ketentuan umum, Pasal 1 angka 4 UU 20/2009 bukan merupakan definisi utuh tentang nilai kepahlawanan, melainkan definisi dari gelar “Pahlawan Nasional”.
“UU 20/2009 pada bagian ketentuan umum maupun pada bagian lainnya tidak memberikan definisi khusus mengenai pahlawan maupun kepahlawanan, sehingga secara sistematis definisi tersebut harus ditemukan dalam keseluruhan bagian Undang-Undang a quo,” kata Ahmad Fadlil Sumadi, saat membacakan pertimbangannya.
Fadlil juga mengatakan bahwa istilah “baik” pada frasa “berkelakuan baik” harus ditafsirkan sebagai nilai “baik” yang diterima oleh seluruh komponen bangsa Indonesia, dan bukan nilai “baik” yang diyakini secara terbatas oleh sekelompok orang tertentu.
“Istilah `baik` pada frasa `berkelakuan baik` yang diatur dalam Pasal 25 huruf d UU 20/2009 telah jelas merujuk pada nilai baik yang diterima dan dipercaya oleh masyarakat atau bangsa Indonesia pada umumnya, dan karenanya tidak bertentangan dengan UUD 1945,” kata Fadlil. [ant.ira]

Tags: