Rencana Presiden Minta Maaf ke PKI Menuai Kecaman

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

DPRD Jatim, Bhirawa
Puluhan masyarakat Jatim yang mengatasnamakan gerakan bela negara ngeluruk kantor DPRD Jatim, Kamis (13/8). Mereka menolak rencana Presiden Jokowi yang akan meminta maaf kepada keluarga PKI dan  mencabut Tap MPRS No XXV/1966 tentang Larangan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia. Ironisnya wakil rakyat yang menemui hanya satu orang.
Akibatnya, suasana pertemuan memanas dikarenakan pihak dewan tidak tanggap dalam memenuhi tuntutan mereka yang meminta Dewan Jatim mengirim lewat fax surat pernyataan penolakan pidato ke Setneg atau Sekretaris Negara.
Wakil Ketua Gerakan Bela Negara, Arukat menegaskan sebelum mendatangi gedung negara ini, pihaknya sudah mengirimkan surat ke dewan. Ironisnya di saat rakyat datang untuk menyampaikan tuntutannya hanya ditemui satu orang wakil rakyat.
“Jika besok (hari ini, red) pidato Presiden Jokowi tetap menyampaikan permohonan maaf pada keluarga PKI, maka ratusan masyarakat akan ngeluruk gedung DPRD Jatim ini dan meminta 100 wakil rakyat yang duduk di kursi wakil rakyat ini ikut berjuang sampai ke pusat,”terangnya, Kamis (13/8).
Anggota DPRD Jatim Noer Soecipto menegaskan, pihaknya sempat kesulitan memenuhi tuntutan mereka dikarenakan tidak ada pimpinan dewan dan tidak ada anggota dewan dari Komisi A yang menangani pemerintahan. Namun demikian tuntutan mereka sudah dilaksanakan walaupun harus menunggu agak lama karena harus berkoordinasi.
“Tuntutan penolakan rencana pidato Presiden Jokowi yang akan meminta maaf ke keluarga PKI ini sangat wajar.  Dikarenakan banyak sekali korban penganiayaan yang dilakukan PKI. Saya salah satu keluarga korban penganiayaan PKI, sehingga sangat tidak benar kalau Presiden Jokowi atas nama negara meminta maaf ke keluarga PKI. Padahal aksi yang dilakukan PKI sangat sadis,” tegasnya.
Tak hanya di DPRD Jatim, aksi tolak pencabutan Tap MPRS No XXV/1966 tentang Larangan Partai Komunis Indonesia (PKI) juga digelar beberapa elemen massa se-Jatim di depan Gedung Negara Grahadi Surabaya. Sebagai simbol perlawanan, ratusan orang itu juga membakar Bendera Palu Arit warna merah.
Menurut para demonstran, permintaan maaf pada individu maupun lembaga PKI, sangat tidak prosedural, proporsional dan ahistoris. Lebih-lebih, dilakukan oleh pemerintah.
Karena permintaan maaf, berakibat pada semua produk hukum tentang larangan PKI dan ajarannya yang tertuang dalam Tap MPRS Nomor XXV/1966, Supersemar, Undang-Undang No 27 Tahun 1999 tentang perubahan KUHP yang berhubungan dengan keamanan negara Pasal 107 huruf (a), dengan sendirinya batal.
Yang kedua, permintaan maaf sepihak akan melukai hati umat Islam, TNI dan rakyat Indonesia, kemudian posisi PKI benar dan posisi yang menumpas (TNI dan umat Islam) salah sehingga harus bertanggung jawab di depan hukum.
Akibat lain, paham komunis akan menuntut lebih lanjut dari aspek historis, aspek kerugian moral dan material, serta kebangkitan politiknya. Yang ke lima, akibat dari permintaan maaf terhadap PKI itu, bisa memicu berkobarnya semangat konflik horizontal dan kemungkinan pemulangan sejarah pemberontakan PKI dan penumpasan lagi oleh masyarakat.
“Untuk itu, kita menolak meminta maaf kepada PKI, karena telah mengkhianati NKRI, maka kami menentang komunis di negeri ini. Mari kita rapatkan barisan. Ini semua propaganda komunis,” teriak korlap aksi, Santoso dalam orasinya, Kamis (13/8).
“Komunis kita tentang dan kita usir dari Indonesia, undang-undang tidak bisa diubah. Termasuk oleh kaum imperialisme sekalipun,” teriaknya lantang.
Massa yang menggelar aksi ini berasal dari Center of Indonesia Community Studies (CICS), Gerakan Nasional Patriot Indonesia (GNPI), Front Penegak Pancasila (FPP), Front Anti Komunis (FAK), Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan beberapa elemen lain.  Di akhir aksi, massa berkumpul dan secara simbolik membakar bendera kebesaran PKI, yaitu Palu Arit. “Ganyang PKI, Ganyang PKI, Ganyang PKI,” teriak massa serempak sambil membakar bendera Palu Arit. [cty,geh]

Tags: