Rendemen Rendah, Rasa Tebu Tak Semanis Gula

Puluhan truk pengangkut Tebu nampak harus mengantri untuk mendapatkan SPTA diareal  PG Tjoekir Diwek Jombang.

Puluhan truk pengangkut Tebu nampak harus mengantri untuk mendapatkan SPTA diareal PG Tjoekir Diwek Jombang.

Jombang, Bhirawa
Bayang-bayang untuk meraih keuntungan dari manisnya tebu di wajah Ahmad Ishaq kemungkinan tidak bisa didapat. Karena disaat musim panen raya di Kabupaten Jombang, dan tidak ada hujan, namun rendemen tebu berada dititik terendah yakni hanya mencapai 6 persen. Disamping itu, petani juga juga kesulitan untuk mendapatan Surat Perintah Tebang Angkut (SPTA).
Ahmad Ishaq, petani tebu asal Desa Krembangan, Gudo, Jombang, mengaku sangat rugi dengan kondisi tebang tebu sekarang. selain rendemen gulanya rendah, petani saat ini juga kesulitan untuk mendapatan SPTA dari PG Tjoekir. “ Dengan sulitnya kami mendapatkan SPTA, tentunya juga akan membuat molor tebang. Kalau sudah begitu, tebu menjadi mati dan kering. Demikian ini yang akan memperparah kerugian kami, “ keluhnya.
Dikatakannya, idealnya untuk mendapat keuntungan dari tanaman tebu miliknya, seharusnya rendemen minimal mencapai 8 persen. Namun kenyataannya PG Tjoekir menetapkan rendemen hanya 6 hingga 7 persen.
Petani tebu PG Tjoekir juga direpotkan dengan keluarnya DO penjualan gula. Kalau sebelumnya DO keluar sekitar 14 hari setelah tebu digiling, saat ini sekitar sebulan DO baru keluar. “ Lambatnya pengeluaran DO ini juga sangat merepotkan petani. Sebab, dari DO itulah uangnya kami putar untuk biaya tebang angkut berikutnya,” kata Ishaq lagi.
Petani tebu yang sudah belasan tahun ini menambahkan, susahnya petani tebu saat ini juga dipicu dengan rendahnya harga penjualan gula. Saat ini, harga penjualan gula di tingkat petani hanya mencapai Rp 8.250. “ Padahal, petani bisa mencapai keuntungan, jika harga gula minimal sebesar Rp 9.500 per kilo gram, “ ujar Ishaq yang dibenarkan Zuli tetangganya yang petani tebu yang kirim ke PG Tjoekir.
Dengan kecilnya rendemen, susahnya mencari SPTA serta lambannya pengeluaran DO tersebut, baik Ishaq ataupun Zuli berharap kepada pihak managemen PG Tjoekir untuk segera memperbaiki sistemnya. Sebab, jika hal ini berlarut- larut, petani akan terus menderita kerugian.
Keluhan senada juga dilontarkan Nanang asal Desa Tinggar, Kecamatan Bandar Kedungmulyo, dirinya sudah mengeluarkan uang sedikitnya Rp 150 juta untuk sewa lahan seluas 12 hektare. Secara otomatis dengan rendemen gula yang hanya 6 Kg per kwintal tebu, ditambah Harga Pokok Penjualan (HPP) gula dari pemerintah sebesar Rp 8.500 per Kg, Nanang merasa bakal rugi besar. ’’Rendahnya rendemen tebu yang ditetapkan pabrik sangat berdampak pada pendapatan petani. Padahal harga sewa lahan terus naik,’’ katanya.
Belum lagi, biaya operasional lanjutnya, yang bisa mencapai lebih dari Rp 8 juta, ditambah biaya tebang dan angkut yang harus dikeluarkan petani mencapai Rp 7 juta per tahun, membuat potensi kerugian semakin besar dialami petani. ’’Biaya pada tanam pertama sangat tinggi, dan operasional untuk tetes juga kadang membengkak. Tetapi yang paling menjadi biang masalah, adalah rendemen yang tidak pernah meningkat,’’ tambahnya.
Sementara itu Adm PG Tjoekir Adi Baskoro, saat akan dikonfirmasi di kantornya tidak ada di tempat. Dihubungi melalui telephon selularnya nomor yag biasa digunakan tak ada respon. Tak menjawab sms atau menereima telephon “ Pak Adm sedang pergi ke Kediri,besuk bisa kembali kesini mas,  ” ujar Siswiyono salah seorang satpam yang berjaga di pos masuk PG Tjoekir. [rur]

Tags: