Rendemen Tebu Merosot

Rendemen TebuMusim giling sudah berakhir, pertengahan September ini. Selanjutnya istirahat, jeda musim menunggu hujan pada bulan Oktober. Selanjutnya lagi, petani pemilik lahan akan pikir-pikir, apakah akan meneruskan bertanam tebu, atau beralih tanaman. Atau bahkan meng-alih fungsikan lahannya untuk perumahan. Jika saat ini luas lahan tebu mencapai 40 ribu hektar, boleh jadi tahun depan akan menyusut. Itu disebabkan rendemen tebu terus merosot dibawah 8 Persen.
Rendemen yang rendah, tentu saja hanya menghasilkan gula sedikit. Sehingga tidak menjamin kesejahteraan petani. Pabrik Gula (PG) pun kalah bersaing dengan gula impor. Nampaknya, pemerintah mesti bekerja keras memperbaiki sistem kinerja produksi per-gula-an, secara on farm (pada lahan tebu) maupun off-farm (pada pabrik gula). Pemerintah sudah berkali-kali berjanji namun tidak pernah ter-realisasi.
Lebih dari 8 tahun terakhir, rendemen tebu tidak beranjak naik. Kalkulasi bertani sungguh bagai berjudi. Dengan HPP Rp8.250-an, hasil panen tebu akan senilai Rp 59,5 juta per-hektar. Perhitungan ini diperoleh jika petani sukses menuai panen (tidak diserang hama), serta sukses memenuhi rendemen. Yakni, menyetor tebu sebanyak 85 ton, dengan rendemen 8,5 persen untuk menghasilkan gula sebanyak 7,225 ton. Tidak banyak petani yang bisa mencapainya.
Tapi kalau rendemennya kurang dari 8 persen, maka hasilnya juga berkurang, hanya sekitar 6,8 ton. Dengan HPP (Harga Patokan Petani) sebesar Rp8.250,-, maka petani akan menerima uang sebesar Rp5,6 juta saja. Tetapi yang diterima petani tebu pada tahun ini tak lebih dari Rp5 juta per-hektar. Padahal ongkos produksi mencapai Rp 7.900,- per-kilogram (termasuk sewa lahan). Sudah pasti, petani jeblok.
Penerimaan petani itupun banyak yang belum dibayar, karena gula masih menumpuk di gudang PG, belum dijual. Agaknya, pasar belum bisa menyerap gula lokal karena harganya cukup mahal. Sedangkan gula impor lebih murah! Nyata-nyata problem off-farm masih berkutat pada posisi PG yang lemah. Mesin tua, tidak effisien, serta masih harus bersaing pula dengan produk impor yang lebih murah. PG yang lemah, tentu merugikan petani.
Pada sisi lain, importir gula memiliki peluang lebih besar. Dus, menguntungkan petani tebu luar negeri. Ironisnya, Pemprop Jawa Timur seolah-olah bangga menempati posisi ketiga (sampai kesepuluh) urutan rendemen yang masih dibawah 8 persen. Tetapi realisasi rendemen tahun ini juga sangat jauh dibawah amanat Perda. Jawa Timur telah memiliki Perda Nomor 17 tahun 2012 tentang rendemen tebu.
Rendemen sebesar 11 persen menjadi klausul yang diamanatkan bertahap dalam tiga tahun, yang bergerak mulai dari rendemen rata-rata 8%. Seharusnya, rendemen 11% bukanlah mimpi kosong. Tahun 2013 seharusnya sudah mencapai 9%, serta tahun 2014 ini mencapai 10%. Kenyataannya saat ini rendemen tertinggi dicapai PG Gunung Madu Plantation, Lampung, rendemennya 8,34%. Disusul runner-up PG Bunga Mayang, Lampung (8,26%).
Posisi PG di Jawa Timur (seluruhnya BUMN) hanya menempati peringkat ketiga. Tertinggi PG Mojopanggung milik PTPN X (8,16), disusul berturut-turut PG Prajekan PTPN XI (7,93), PG Asembagus PTPN XI (7,9), PG Gempolkrep PTPN X (7,85), PG Panji PTPN XI (7,76), PG Pesantren PTPN X (7,7), PG Ngadirejo PTPN X (7,51), PG Krebet milik PT RNI (7,32). Ini sangat memperihatinkan, karena gagal memenuhi amanat Perda Nomor 17 tahun 2012.
Apa yang akan dilakukan oleh Pemprop Jawa Timur (dan DPRD baru periode 2014-2019)? Seharusnya bergerak cepat melindungi petani lokal. Ketika rendemen tebu sudah berhasil mencapai 11%, diperkiarakan usaha perkebunan tebu oleh rakyat semakin menjanjikan kemakmuran. Itu dengan catatan gula rafinasi jatah industri makanan dan minuman tidak menyusup ke pasar.
                                                                          —————   000   —————

Rate this article!
Rendemen Tebu Merosot,5 / 5 ( 1votes )
Tags: