Rentetan OTT KPK Jelang Pilkada 2018

Oleh:
Hutri Agustino
Dosen FISIP Unmuh Malang dan Pendiri Pondok Sinau Lentera Anak Nusantara

Perilaku korup penyelenggara negara sepertinya belum ada tanda-tanda akan segera mereda. Keyakinan tersebut didasarkan pada peningkatan jumlah Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap sejumlah Kepala Daerah akhir-akhir ini.
Pada tahun 2014 dan 2015, tercatat sebanyak lima kali KPK melakukan OTT. Sepanjang tahun 2016 naik menjadi 17 kali OTT, sedangkan sampai dengan bulan September kemarin sudah ada 16 OTT yang tersebar di berbagai daerah. Tren perilaku korup tersebut terus mengalami kenaikan cukup signifikan.
Sebagaimana data yang pernah dirilis oleh KPK sejak tahun 2004 sampai dengan bulan Juni tahun 2012, sedikitnya terdapat 32 walikota/ bupati atau wakil dan 8 gubernur yang menjadi aktor korupsi  dalam berbagai kasus. Sedangkan sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2014 lalu, sebanyak 522 aktor korupsi hanya diganjar dengan hukuman rata-rata selama 3 sampai 5 tahun penjara dan yang divonis bebas sebanyak 203.
Termasuk yang terbaru adalah vonis tidak sah atas penetapan Setya Novanto sebagai tersangka dalam korupsi mega proyek e-KTP oleh KPK dalam sidang pra peradilan kemarin. Bahkan, DPR justru makin bersemangat dalam upaya mendelegitimasi eksistensi KPK sebagai satu-satunya lembaga anti rasua yang masih dipercaya publik lewat panitia angket yang masa kerjanya terus diperpanjang.
Realitas tersebut yang membuat lembaga pemeringkat korupsi seperti Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong dan Corruption Perceptions Index terus menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup minimal di kawasan Asia Tenggara (ASEAN). Padahal dalam waktu yang bersamaan, dengan bergulirnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) seharusnya dapat dijadikan momentum strategis dalam upaya perbaikan kinerja lembaga negara agar prestasi ekonomi nasional kita mampu bersaing di tingkat kawasan bahkan di kancah global. Karena, sampai dengan saat ini kinerja ekonomi makro di Eropa dan Amerika masih mengalami perlambatan yang cukup berarti. Itu menjadi salah satu alasan Inggris lebih memilih Brexit karena tidak ingin menanggung efek domino dari krisis di negara-negara bagian selatan Eropa. Namun, harapan tersebut tampaknya masih jauh dari kenyataan. Mengingat komitmen (good will) penyelenggara negara untuk memutus mata rantai perilaku korup tersebut justru terus menemui jalan terjal dan berliku.
OTT yang dilakukan oleh KPK justru dipertanyakan, mulai dari hal teknis-prosedural seperti penyadapan sampai pada anggapan bahwa hal tersebut hanya membuat martabat bangsa dan negara ini semakin buruk di tengah pergaulan internasional. Jika memang DPR itu masih dalam konstruksi sebagai lembaga wakil rakyat, bukan wakil parpol atau ketua umum-maka mereka harus mendengar suara arus bawah bahwa rakyat yang mereka wakili masih percaya kepada KPK. Karena, belum ada jaminan dan kepastian jika KPK dibubarkan, Polri dan Kejaksaan mampu bekerja sebagaimana yang telah, sedang dan akan terus dilakukan oleh KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
KPK sebagai salah satu lembaga produk reformasi politik akan membubarkan diri secara ikhlas, jika memang tidak terdapat satu kasus korupsi di Indonesia bahkan sampai kurun waktu 10 hingga 30 tahun berapapun nominal dan siapapun pelakunya. Jika hal tersebut dianggap menjadi sebuah kemustahilan (mission impossible), maka opsi lain bahwa Polri dan Kejaksaan harus berani memberi semacam garansi hukum dalam upaya perang terhadap perilaku korup harus menjadi sebuah keniscayaan. Bukan hanya pepesan kosong yang hanya menjadi komoditas politik dalam silang sengkarut perebutan kursi kekuasaan pada tingkat elit.
Alarm warning
Sesuai dengan informasi tahapan Pilkada oleh KPU, bahwa pada tanggal 27 Juni 2018 telah ditetapkan sebagai hari pencoblosan Pilkada serentak. Sedikitnya 171 daerah yang terdiri dari 17 propinsi, 39 kota dan 115 kabupaten yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia akan memilih pemimpin politiknya.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagai salah satu konsekuensi politik dari bergulirnya paket Otonomi Daerah (Otoda) pasca reformasi bukan sekedar memilih paket individu yang ditawarkan oleh (koalisi) parpol pengusung berdasarkan pada pertimbangan subyektif dan irrasional. Pilkada merupakan eksemplar konkrit kedaulatan politik rakyat dalam iklim demokrasi yang sehat. Rakyat diberikan kebebasan dalam menilai dan menentukan calon pemimpinnya tanpa dipengaruhi oleh aksi pencitraan media dan hasil survei pesanan sampai pada pengkondisian suara dengan berbagai modus transaksional-material. Rakyat jangan terus disuguhi kucing dalam karung sebagai analog subyektivitas perilaku elit yang tidak edukatif.
Selanjutnya, rentetan OTT KPK terhadap sederet kepala daerah di Indonesia telah membunyikan alarm peringatan bagi bangsa ini bahwa sistem dan struktur politik yang ada selama ini hanya melahirkan produk pemimpin yang semakin korup. Agenda reformasi politik, reformasi hukum bahkan jargon revolusi mental ala Presiden Jokowi nyatanya belum mampu memberikan efek destruktif bagi segala bentuk perilaku korup kepala desa, camat, wali kota, bupati, gubernur, menteri, anggota DPR, bahkan sampai aparat penegak hukum itu sendiri (Kepolisian, Kejaksaan, MA, KY dan MK). Perdebatan antara human error dan abuse of power hanya membuat logika kita berputar-putar tanpa jelas ujung pangkalnya. Usia kemerdekaan bangsa ini sudah sampai pada angka 72 tahun atau dengan kata lain 28 tahun lagi jelang satu abad. Usia yang semakin menua hanya akan melahirkan akumulasi dosa saat setiap hela nafas dan detak jantung tidak difungsikan sebagaimana mestinya insan manusia diciptakan oleh Tuhannya.
Oleh sebab itu, pilkada tahun depan harus menjadi momentum politik bagi parpol, pasangan calon (paslon) dan masyarakat pemilih (konstituen) untuk melakukan pemutusan mata rantai perilaku korup. Jangan ada mahar politik paslon ke parpol dan hentikan money politics jual-beli suara rakyat, apapun bentuk dan motifnya.

                                                                                                            ———— *** ————-

Rate this article!
Tags: