Rentetan Penyakit Tiada Henti

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Belum reda pandemi Covid-19, kini dunia tengah dilanda ancaman baru yakni hepatitis akut, persisnya per 15 April lalu Badan Kesehatan Dunia, WHO menetapkan hepatitis akut sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Pada awal Mei ini, jumlah laporan terus bertambah, tercatat lebih dari 170 kasus dilaporkan oleh lebih dari 12 negara. Kasus Hepatitis Akut yang belum diketahui etiologinya (Acute Hepatitis Of Unknown Aetiology). Data WHO menyebutkan bahwa kasus hepatitis akut terjadi pada anak usia 1 bulan sampai dengan 16 tahun. Terakhir yang tak kalah bahaya adalah terjadinya outbreak (wabah) Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang ditemukan pada 1.247 ekor ternak sapi di Kabupaten Gresik, Lamongan, Sidoarjo dan Mojokerto. Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) merupakan penyakit hewan menular akut yang menyerang ternak sapi, kerbau, kambing, domba, kuda dan babi dengan tingkat penularan mencapai 90-100% dan memiliki potensi kerugian ekonomi sangat tinggi.

Sebenarnya Indonesia sudah dinyatakan bebas dari PMK sejak tahun 1986. Capaian tersebut salah satunya adalah kampanye besar-besaran vaksinasi massal memberantas PMK dimulai tahun 1974 hingga 1982 yang digencarkan setiap tahun wabah PMK dapat dikendalikan. Kedua penyakit yang hampir bersamaan muncul di masa libur lebaran tentu harus menjadi atensi semua pihak. Kedua memiliki tingkat bahaya terhadap kesehatan sangat tinggi sehingga dibutuhkan kewaspadaan ekstra. Apalagi ditengah mobilitas msyarakat yang sangat tinggi termasuk tingkat konsumsi hewan berbasis peternakan juga meningkat pesat seperti daging sapi, kambing dan lain-lain ditambah lagi dengan kondisi perubahan musim dan cuaca (pancaroba) di bulan-bulan ini. Dalam teori epidemiologi atau Epidemiologic Triangle menerangkan bahwa terjadinya penyakit infeksi berupa segitiga yang terdiri dari Agen (Agent), Penjamu (Host), & Lingkungan (Environment).

Pada kondisi normal, ketiga komponen tsb berimbang. Perubahan pd satu (atau lebih) komponen dapat menaikkan atau menurunkan risiko terjadinya penyakit infeksi sehingga apabila kemampuan agen (sumber penyakit) menginfeksi meningkat, atau kekebalan tubuh penjamu (manusia) rendah, atau sanitasi lingkungan buruk, maka memiliki risiko terjadinya penyakit infeksi akan meningkat. Fenomena tersebut seakan menjadi ancaman terhadap derajat kesehatan masyarakat saat ini termasuk risiko penambahan angka kesakitan akibat meningkatkan penyakit tidak menular seperti diabetes, stroke, kanker dan lain-lain yang sebagian diantaranya telah menyasar generasi muda.

Fenomena Triple Burden Disease

Di era serba digitalisasi saat ini, permasalahan kesehatan yang

dihadapkan pada Triple Burden Disease yaitu masih tingginya penyakit infeksi,

meningkatnya penyakit tidak menular dan penyakit lain yang seharusnya

sudah teratasi muncul kembali (re-emerging disease). Pola penyakit saat ini mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian oleh penyakit

yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak

menular. Perhatian dunia terhadap penyakit tidak menular semakin meningkat
.
seiring dengan peningkatan frekuensi kejadiannya. Turbulensi yang serba instan membawa konsekuensi perubahan perilaku manusia, perubahan genetik sumber penyakit dan pengaruh perubahan instabilitas lingkungan yang cenderung terdegradasi.

Dewasa ini coinfeksi antar manusia atau antar manusia ke hewan bukan barang baru, pengalaman MERS (Middle East Respiratory Syndrome), pes, rabies, flu burung, flu babi, SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome), ebola termasuk Covid-19 yang diyakini menular dari kelelawar ke manusia dan dideteksi berasal dari Wuhan, China dimana awalnya juga dari sumber hewan ke manusia yang menyebar begitu cepat, antar daerah, antar wilayah, bahkan antar negara. Berdasarkan cara penularan yang paling banyak adalah melalui sistem pernafasan (airborn system) dan sistem pencernaan (digestivus system) mengingat akses ke tubuh 90 persen melalui dua “jalur” tersebut.

Terdapat persamaan karakter antar keduanya antara lain : probabilitas kasus kian meningkat seiring dengan masa libur lebaran dimana masyarakat secara masif melakukan perjalanan, beranjangsana, berwisata termasuk menyantap aneka makanan dan jajanan di sentra-sentra kuliner di berbagai wilayah nusantara termasuk didalamnya bahan dasar daging ternak. Oleh karena itu faktor kesehatan, keselamatan dan keamanan pangan menjadi prioritas agar tidak menjadi beban baru timbulnya permasalahan kesehatan. Meskipun saat ini belum ditemukan penularan PMK antar hewan ke manusia, namun berkaca pada kasus-kasus infeksi dewasa tidak menutup kemungkinan penularan itu akan terjadi sehingga antisipasi penguatan surveilans harus dikedepankan.

Oleh karena itu menjamin kebersihan dan keamanan pangan menjadi kewajiban mutlak bagi penjual, distributor serta industri makanan dan minuman. Di sisi lain masyarakat perlu melakukan tindakan pencegahan seperti mencuci tangan, memastikan makanan dalam keadaan matang dan bersih, tidak bergantian alat makan, menghindari kontak dengan orang sakit serta tetap melaksanakan protokol kesehatan serta berperilaku hidup bersih dan sehat mutlak wajib dijalankan dalam aktivitas keseharian. Dengan demikian kondisi tubuh dapat dipertahankan secara optimal atau dalam kondisi prima sehingga pada akhirnya dapat memiliki kekebalan (imunitas) yang memadai yang pada giliranya mampu beraktivitas lebih produktif baik secara individu maupun dalam bermasyarakat.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: