Reorientasi Peran Orang Tua Dalam Pendidikan

SusantoOleh:
Susanto
Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia.  Instruktur Nasional K-13,  
Mengajar di SMAN 3 Bojonegoro.

Keberhasilan sebuah pendidikan sejatinya bukan terletak pada nilai yang diperoleh oleh individu siswa akan tetapi terletak sejauhmana siswa itu dapat mengimplementasi teori ilmu dalam praktik kehidupan. Nilai di sekolah hanya persoalan angka dan teori-teori. Substansi yang terpenting adalah bagaimana setelah lulus siswa dapat mengimplementasikan dalam kehidupan nyata baik sikap, pengetahuan, dan ketrampilan  seperti pada kurikulum 2013.
Nah, apakah pendidikan kita masih terjebak pada angka-angka atau hasil?. Mengapa demikian? Karena Unas pada hakikatnya sebagai media untuk memetakan kulaitas pendidikan di Indonesia. Ibarat orang yang sedang general cek up adalah media untuk mengetahui sejauhmana organ atau tubuh yang mengalami gangguan. Dengan kata lain, keradaan Unas paling tidak dijadikan patokan atau standar untuk mengetahui sejauh mana kualitas pendidikan di Indonesia.
Lantas bagaimana solusinya agar pendidikan kita tidak terjebak pada angka-angka atau hasil semata? Pertama, sudah saatnya Unas bisa memberikan “darah baru” bagi bentuk evaluasi atau penilaian bagi siswa di sekolah baik KTSP maupun K-13. Guru, siswa,  kepala sekolah atau pembuat kebijakan atau orang-orang yang terlibat Unas harus selalu mengedepankan sikap jujur dan objektif dalam memahami persoalan. Jangan terjebak pada orientasi kuantitas agar semua siswanya lulus semua tetapi proses dalam mengerjakan ulangan mencederai sportivitas dan kejujuran. Jujur dapat dijadikan momentum untuk menata kembali pendidikan kita lebih maju. Perilaku jujur adalah media dan wahana untuk penanaman karakter bangsa yang jujur, tangguh dan menjunjung sportivitas. Apa yang bisa kita harapkan bila anak didik kita menghalalkan segala cara, nyontek, tukar-tukar jawaban (SMSan), dan juga tidak jujur.  Terpenting juga perlu interospeksi diri jangan menyalahkan orang lain dan semuanya perlu introspeksi diri.
Kedua, unas  harus tetap dijadikan spirit melindungi hak-hak dan psikologis siswa untuk belajar sepanjang hayat. Jangan untuk mematikan minat, motivasi dan kemauan untuk selalu belajar. Momen ini jangan muncul tudingan bahwa ini adalah pencitraan dan “politis”. Justru ini harus menjadi bagian terpenting untuk merevolusi mental bangsa ini melalui sistem evaluasi yang kredibel dan transparan dunia pendidikan seperti yang digelorakan oleh Jokowi. Dengan demikian, apapun bentuknya Unas apakah sebagai pemetaan atau atau alat evaluasi tentunya harus tetap menyelamatkan psikologis siswa.
Penguatan Karakter
Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan  pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk  pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan   warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga   masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat    atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang  banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena  itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni  pendidikan nilai-nilai luhur   yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka  membina kepribadian generasi muda.
Tentunya perlu ada solusi konkritnya. Bangsa yang maju dan jaya tidak semata-mata disebabkan oleh kompetensi, tehnologi canggih ataupun kekayaan alamnya, tetapi utama dan terutama karena dorongan semangat dan karakter bangsanya. Pemahaman karakter diri yang tangguh akan menjadikan seorang individu berkarakter yang sesungguhnya.  Sebab bagimanapun juga peran karakter bagi diri seorang manusia adalah ibarat kemudi sebuah kapal. Karakter adalah kemudi hidup yang akan menentukan arah yang benar bahtera kehidupan seorang manusia. Sudah saatnya untuk selalu mengedepankan sikap dan jiwa yang berkarakter dalam membangun sebuah peradaban.
Reorientasi Peran Ortu
Ada beberapa hal yang perlu dikaji bersama agar pendidikan kita konsisten dalam pengarusutamaan karakter.  Pertama,  perlu ada sikap kepedulian kita bersama, baik orang tua atau guru sekalipun. Dengan kata lain, sudah saatnya orang tua untuk memberikan pengawasan dan perlindungan kepada anak-anak kita dari bagai macam ancaman baik secara fisik maupun verbal. Sudah saatnya orang tua di rumah selalu memberikan kasih sayang secara maksimal dan sudah tidak relevan lagi orang tua memperlakukan berdasarkan status. Anak adalah sahabat orang tua dalam menyelesaikan persoalan. Anak-anak  akan selalu diajak komunikasi secara langsung tanpa sekat dan jarak.
Kedua, sekolah menjadi tempat yang indah dan nyaman dalam mengeksplore kreativitas dan pengetahuan. Mengapa demikian? Karena dengan sekolah anak-anak dapat menemukan problematikan dan mencari solusi setelah bertemu dengan guru dan teman sebayanya. Sebab bagaimanapun juga dengan pendekatan saintifik yang sekarang ini digelorakan oleh pemerintah anak-anak dapat menemukan sendiri problematikan yang dihadapi saat di sekolah dan juga di rumah. Alangkah tidak bijaksananya apabila prolematika kehidupan rasa aman dan kegagalan anak dalam menyikapi hidup. Sampai saat ini dan sampai kapanpun sekolah harus menjadi tempat yang aman bagi tumbuhkembangnya pribadi anak dalam mendewasakan diri. Dengan demikian, guru dan sekolah tetap menjadi katalisastor dalam menanamkan karakter anak seiring pengaruh globalisasi teknologi.
Ketiga, perlunya pemahaman yang konkrit bahwa sekolah tetap menjadi alternatif yang mencerahkan sebagai tempat untuk mengasah pengetahuan, keterampilan dan sikap diri. Sangatlah naif manakala sekolah dituding mengalami kegagalan dalam menjalankan peran maksimalnya. Sudah saatnya keluarga sebagai katalisator penguatan karakater. Artinya, komunikasi antara orang tua (ibu dan Bapak) dengan anak-anak harus berjalan dua arah. Sudah semestinya orang tua memberikan perilaku dan keteladanan yang konkrit terhadap semua masalah yang ada. Dan dalam posisi ini anak harus bisa menghargai orang tua. Begitu sebaliknya, apabila anak-anak mengingatkan kepada orang tua manakala ada perilaku yang tidak pas maka orang tua harus bisa legowo untuk menerima dengan lapang dada dan sikap yang sportif. Tentunya orang tua dan anak jangan merasa jaim (jaga imej). Dengan demikian, orang tua dan anak harus saling sinergi untuk menampilkan karakter yang baik dan santun.
Nah, sudah saatnya sekolah, orang tua, guru dan masyarakat bergandengan tangan mencari formula bagaimana ke depan anak-anak kita dalam menjalani keselarasan hidup secara maksimal.  Sudah saatnya, jangan ada tudingan yang diarahkan kepada sekolah terutama para guru.  Anak-anak harus jauh dari kepungan kekerasan baik fisik maupun verbal. Anak-anak juga perlu diajari proses pembelajaran yang baik  jangan terjebak instanisme. Anak-anak harus memiliki karakter pribadi yang kuat, unggul, berdaya tahan, berdaya saing, dan daya berkelanjutan  dalam menjalini kehidupan. Dengan demikian,  anak-anak akan tetap bangga karena sekolah, orang tua, dan guru  selalu menjadi sahabat dan sekaligus katalisator pendewasaan melalui penguatan karakter.

                                                                                                             ——————— *** ———————-

Tags: