Resensi: Masalah Sosial Kesetaraan Gender di Korea

Judul : Kim Ji-Yeong, Lahir Tahun 1982
Penulis : Cho Nam-Joo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : III, Januari 2020
ISBN : 978-602-0636-191
Peresensi : Siti Maisarah

Kim Ji-Yeong, Lahir Tahun 1982 adalah salah satu dari sekian banyak novel Korea Selatan yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Novel ini bisa dibilang sangat kontroversial di negaranya sendiri karena mengangkat isu yang tabu di negara tersebut. Meski saat ini Korea Selatan sudah membebaskan masyarakatnya untuk mengemukakan pendapat, nyatanya tetap ada hal yang tak bisa dibantah sejak dulu. Salah satunya adalah rasa hormat berlebihan kepada orang tua dan budaya patriarki.
Pandangan bahwa perempuan tak boleh membantah laki-laki hingga istri yang harus tetap di rumah mengurus keluarga masih sangat kental di sana. Parahnya lagi, diskriminasi gender ini seolah dibiarkan saja dalam sistem masyarakat negara tersebut.
Kim Ji-Yeong sendiri adalah anak perempuan kedua keluarga Kim. Ia lahir di keluarga yang sangat mengharapkan anak laki-laki. Di lingkungan keluarga, ia dan kakak perempuannya selalu mendapatkan giliran paling akhir. Yang selalu mengambil nasi lebih dulu adalah ayah, kemudian adik laki-laki dan nenek lalu ibu. Begitu juga dalam pembagian makanan dan lainnya. Ayah dan adik laki-laki selalu mendapatkan yang paling bagus dan bebas mengambil sebanyak apapun, sedangkan mereka mendapat sisa. (Hal. 23-24).
Tak hanya di rumah, di sekolah, Kim Ji-Yeong dan anak perempuan lain juga mendapat diskriminasi yang sama bahkan dari guru mereka. Misalnya masalah pakaian. Anak laki-laki bisa menggunakan kemeja dengan kancing terbuka, sepatu olahraga dan lainnya. Sedangkan bila murid perempuan yang melakukannya, mereka akan mendapat hukuman.
Masalah diskriminasi gender dan budaya patriarki yang diangkat novel ini tak berhenti sampai di situ. Di dunia kerja, hal tersebut pun terjadi. Kim Ji-Yeong, meski ia adalah mahasiswi berprestasi, namun ia tak pernah mendapat rekomendasi dan promosi dari dosen untuk bekerja di perusahaan. Sebaliknya, mahasiswa laki-laki yang biasa-biasa saja mendapatkannya. Wanita di Korea sangat sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Meskipun ada, gaji yang diterima jauh lebih rendah dibanding pekerja laki-laki. Jumlah pekerja wanita pun sangat timpang. (Hal 123 dan 159).
Kebanyakan dari pekerja wanita itu pun biasanya akan berhenti tatkala mereka menikah atau memiliki anak karena tekanan dari berbagai sisi seperti yang terjadi pada tokoh utama novel ini. Jadi, serba salah sebenarnya. Di satu sisi, bila memilih bekerja, mereka akan dikatakan wanita yang tak menuruti kodrat dan tak bertanggung jawab. Namun, bila memilih menjadi ibu rumah tangga, mereka akan mendapat celaan lain yang sama buruknya.
Tak heran kalau saat ini, Korea menempati urutan bawah pada survei yang dilakukan World Economic Forum tentang keseteraan gender. Lebih tepatnya, mereka berada di posisi 115 dari 149 negara. Angka tersebut lebih buruk dari Indonesia yang berada di posisi 85, meskipun hal tersebut juga bukanlah hal yantg bisa dibanggakan.
Jangan heran ketika membaca novel ini, pembaca akan menarik napas panjang berkali-kali dan merasakan ketidakadilan dan depresi yang dialami tokoh nyaris di semua bagian novel. Penulis benar-benar berhasil membuat suasana yang menyakitkan tergambar dengan jelas. Wajar saja kalau novel yang sudah dibuatkan filmnya ini mendulang kontoversial di negaranya sendiri sebab kebanyakan wanita Korea mengiyakan apa yang terjadi di dalam novel, benar-benar terjadi di kehidupan mereka. [*]

Tags: