Reshuffle Kabinet, Perlukah?

Syaprin ZahidiOleh :
M. Syaprin Zahidi, MA
Dosen Pada Prodi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

Reshuffle Kabinet Presiden Jokowi dalam beberapa hari terakhir ini menjadi topik yang hangat dibahas oleh para pengamat kebijakan baik dalam talk show di stasiun televisi atau dibahas dalam media cetak ataupun online. Tekanan agar terjadinya reshuffle kabinet ini didasari oleh kinerja para menteri yang dianggap tidak memenuhi ekspetasi publik. Hal yang menjadi aneh disini menurut penulis adalah. Inisiasi reshuffle kabinet Jokowi ini malah didorong oleh partai pengusungnya di Pemilu Presiden (Pilpres) lalu yaitu PDI-Perjuangan.
Dalam konteks negara demokrasi seyogyanya partai pengusung menjadi partai koalisi yang mendorong semua program pemerintahan kader partainya. Namun, yang terjadi malah sebaliknya dalam beberapa kebijakan Presiden Jokowi malah PDI-P sendiri yang menjadi aktor terdepan dalam mengkritisi kebijakan tersebut.
Dalam perspektif yang lain penulis melihat bahwa apa yang dilakukan oleh PDI-P dalam tanda kutip bisa dikatakan merupakan bentuk dari kekecewaan partai ini pada Jokowi yang sedari awal paska kemenangannya terlihat bersebrangan dengan apa yang diinginkan oleh Megawati sebagai ketua umum partai PDI-P adapun perbedaan pendapat antara Jokowi dan Megawati dapat dilihat dalam beberapa aspek berikut ini.
Pertama, Ketika pembentukan Rumah transisi Jokowi-JK sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden. Megawati sebagai ketua umum PDI-P tidak pernah mendatangi rumah transisi tersebut hal ini disebabkan karena Megawati menilai pembentukan rumah transisi tersebut bertentangan dengan konstitusi. Kedua, saat pemilihan menteri Kabinet Kerja ada beberapa nama yang menurut Megawati tidak cocok menjadi menteri namun Jokowi tetap memilihnya.
Perbedaan Ketiga dapat diihat dari RUU yang awalnya ditolak oleh PDI-P namun tetap diajukan oleh Jokowi dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) diantara RUU tersebut adalah RUU Kamnas dan cadangan strategis. Perbedaan lainnya adalah ketika PDI-P mengusulkan nama kabinet trisakti sebagai nama kabinet Jokowi karena itu merupakan keputusan Rakernas PDI-P di Semarang hal itu tidak dilaksanakan oleh Jokowi malah Jokowi memberikan nama lain yaitu Kabinet Kerja.
Dalam pandangan penulis hal-hal yang terjadi di atas menunjukkan bahwa ternyata paska kemenangannya dalam Pilpres Jokowi terlihat memiliki pandangan yang berbeda jika dibandingkan dengan partai pengusungnya dalam Pilpres  tersebut. Hal yang juga menguras perhatian publik adalah ketika pencalonan Budi Gunawan (BG) sebagai Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) ketika pada akhirnya KPK menetapkan BG sebagai tersangka maka Jokowi mengambil satu keputusan untuk mengganti dengan calon yang lain. Penggantian calon inilah yang disinyalir semakin membuat “sakit hati” ketua umum PDI-P karena Pencalonan BG merupakan masukan darinya dan hasil dari persidangan di Pra-peradilan juga memutuskan bahwa BG tidak bersalah.
Kembali ke topik reshuffle kabinet diatas menjadi suatu hal yang lumrah memang ketika pada akhirnya Jokowi memutuskan untuk mereshuffle kabinetnya atau tidak. Semuanya tergantung kepada Jokowi yang memiliki hak prerogatif untuk melakukan itu. Jika pertanyaannya adalah perlu atau tidak semuanya tergantung kepada Jokowi bukan tekanan dari partai pengusungnya. Dalam pandangan penulis evaluasi pastinya selalu dilakukan oleh Jokowi untuk memonitor kinerja dari para menterinya apakah telah mengimplementasikan program nawacita yang selama ini dijanjikan oleh Jokowi kepada publik dalam pilpres lalu.
Reshuffle sejatinya menjadi suatu hal yang lumrah dan merupakan hak dari Presiden sebagaimana diatur dalam  Undang-Undang nomor 39 tahun 2008 tentang kewenangan presiden untuk mengangkat dan memberhentikan para menterinya. Dalam sejarah republik inipun sering terjadi reshuffle kabinet sebagai contoh reshuffle perdana dari republik ini terjadi di era pemerintahan Soekarno. Kabinet pertama Soekarno dilantik pada 2 september 1945 yang bertahan selama 2 bulan 12 hari dan sudah mengalami reshuffle untuk pertama kalinya ketika menteri keamanan rakyat yang dijabat Supriyadi diganti oleh Sulyadi Kusumo. Menteri lainya yang diganti adalah Dr Samsi yang waktu itu menjabat menteri keuangan diganti oleh Mr AA Maramis yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri negara.
Sejak saat itulah bisa dikatakan bahwa reshuffle kabinet menjadi suatu rutinitas yang dapat diambil oleh Presiden jika menganggap menterinya tidak bekerja secara maksimal. Sekarang, mari kita kembali melihat kabinet Jokowi dalam beberapa bulan terakhir ini memang terjadi ketidakpuasan dimasyarakat melihat kinerja dari para pembantu Jokowi tersebut beberapa lembaga survei dan pengamat politik sampai-sampai membeberkan daftar nama menteri-menteri yang tidak memenuhi ekspektasi publik dalam kinerjanya. Nama-nama tersebut antara lain Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Tedjo Edhy Purdijatno; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly; Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel; Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Yuddy Chrisnandi; Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise; serta Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto.
Nama-nama yang tersebut diatas tentunya belum tentu menjadi bagian dari reshuffle kabinet Jokowi nantinya namun yang patut dicatat disini adalah nama-nama tersebut muncul karena tentunya didasari oleh rekam jejak mereka yang menurut publik tidak bekerja secara maksimal namun menciptakan kegaduhan politik yang dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan Jokowi. Sebagai contoh Menkumham Yasonna Laoly yang kebijakannya telah membuat dua partai besar yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golkar menjadi semakin bermasalah dengan unsur kepemimpinannya.
Dalam beberapa hari terakhir ini juga beredar rekaman seorang menteri yang dianggap oleh beberapa kalangan sangat “melecehkan” Presiden dan menteri tersebut oleh beberapa kalangan disinyalir sebagai Menteri BUMN Rini Soemarno yang dalam transkrip rekaman tersebut intinya menyatakan, “kalau memang saya harus dicopot, silakan! yang penting Presiden bisa tunjukan apa kesalahan saya dan jelaskan bahwa atas kesalahan itu, saya pantas dicopot! Belum tentu juga Presiden ngerti, apa tugas saya. Wong Presiden juga enggak ngerti apa-apa!.
Namun, diakhir menurut penulis sebagai seorang warga negara yang baik sudah sepatutnya kita menghormati segala keputusan Presiden Jokowi yang nantinya berkaitan dengan reshuffle kabinet ini dan semoga keputusan beliau berkontribusi positif pada kinerja kabinetnya kedepan. Semoga.

                                                                                                             ————– *** —————

Rate this article!
Tags: