Reshuffle Menteri Ekonomi Layak Dipercepat

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Jakarta, Bhirawa
Reshuffle kabinet yang sudah diagendakan Presiden Joko Widodo sebaiknya dipercepat dengan merombak tim ekonomi kabinet. Pasalnya, popularitas pemerintahan saat ini sedang anjlok, karena tim ekonomi Kabinet Kerja tidak sensitif pada aspirasi rakyat. Sejak awal April 2015 harga-harga berbagai kebutuhan pokok terus naik hingga kini.
Politisi Golkar Bambang Soesatyo menilai, para menteri ekonomi di Kabinet Kerja sekarang ini tampaknya tidak mampu melakukan penyesuaian ritme kerja mereka setelah Presiden Jokowi mengubah kebijakan subsidi energi.
Perubahan mendasar yang dampaknya langsung dirasakan rakyat adalah membiarkan harga eceran BBM dibentuk sesuai mekanisme pasar. Harga BBM turun naik kapan saja tanpa disosialisasikan ke masyarakat. Dampaknya sangat luas dan strategis, karena menyentuh harga kebutuhan pokok dan tarif jasa angkutan. Harga kebutuhan pokok dan tarif angkutan bisa turun naik kapan saja.
Seharusnya, kata Bambang, dalam situasi seperti itu, pemerintah tidak boleh diam saja. Pemerintah sebagai regulator harus hadir di pasar untuk menstimulir harga dan pasokan agar segala sesuatunya terkendali dan terjangkau oleh rakyat kebanyakan.  “Itulah pekerjaan besar yang harus selalu diantisipasi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah di semua provinsi,” ujar anggota DPR RI ini kepada wartawan, Minggu (3/5).
Konsekuensinya, lanjut Bambang, harus ada koordinasi berkesinambungan antara tim ekonomi di Kabinet Kerja dengan semua pemerintahan provinsi. Namun, tim ekonomi di kabinet tidak sensitif. “Presiden harus menanggung akibat dari kelemahan tim ekonomi itu,” tegasnya.
Munculnya reaksi publik atas kinerja pemerintah yang dinilai tidak maksimal membuat sejumlah organisasi aktivis angkat bicara. Kali ini datang dari Persatuan Nasional Alumni Ikatan Senat Mahasiswa Seluruh Indonesia (PENA ISMSI).
Ketua Umum Pengurus Pusat PENA ISMSI Fuad Bachmid mengatakan bahwa sejumlah program yang dicanangkan oleh Pemerintahan Jokowi-JK dinilai tidak berjalan maksimal. Hal ini dikarenakan oleh masuknya beberapa orang dalam kabinet yang dinilai tidak mempunyai kemampuan maksimal dalam menjalankan program kementeriannya. “Semua orang pasti tahu, bahwa sebagian besar para menteri tidak tahu apa yang mesti mereka lakukan untuk mengemban amanah itu. Terbukti dari program yang mereka canangkan hanya bisa dipresentasikan melalui garis globalnya, mereka tidak memberikan spesifikasi soal gambaran teknis seperti apa sehingga tidak ada parameter sama sekali soal kinerja tersebut,” tegas Fuad Bachmid .
Mantan Ketua Presidium Nasional Ikatan Senat Mahasiswa Ilmu Sosial Politik se-Indonesia itu bahkan menambahkan bahwa faktor utama ketidakmampuan mereka dalam menjalankan program itu karena memang latar belakang disiplin bidang dan minim pengalaman di bidang tersebut. “Bagaimana mau kerja, disiplin bidang saja beda. Belum lagi miskin pengalaman di kementerian yang mereka tempati, maka sangat beralasan juga jika pernyataan para menteri  sering Asbun (Asal bunyi)” katanya.
Faktor kedua yakni terjadinya tumpang tindih kewenangan oleh orang lingkaran istana yang membuat kinerja kabinet kurang efektif sehingga para menteri cenderung salah menafsirkan yang mana murni arahan presiden dan yang mana saja arahan orang di lingkaran istana yang mengatasnamakan presiden. Bahkan menurutnya hal ituterjadi pasca penambahan kewenangan Staf Kepresidenan. “Saya kira para menteri ini tidak mau didikte oleh pihak tertentu selain Presiden, makanya wajar jika mereka cenderung ragu dalam menjalankan instruksi tersebut. Bahkan hal ini terbukti saat KAA kemarin yakni pernyataan Jokowi soal IMF yang mendapat respon yang sifatnya korektif dari mantan Presiden SBY, ini bukti Jokowi dibuat blunder oleh orang lingkarannya sendiri,” ungkap Fuad.
Sementara  pakar ekonomi dari PAN Dradjad Wibowo menilai tim ekonomi Kabinet Kerja Jokowi -JK kurang jam terbang, kurang pengalaman dan masih kerja amatiran. Tim ekonomi yang dibutuhkan saat ini adalah yang mengerti permainan dan tahu lubang-lubang serta jalan tikus yang mesti dilewati. Rentetan panjang pengambilan rezeki rakyat berupa subsidi BBM (yang kini dihapuskan), harus segera diakhiri demi perbaikan ekonomi.
Menurut Drajad, rendahnya penerimaan negara dari sektor pajak, karena kurang tepatnya sasaran penarikan. Ada 25 juta penduduk yang dipajaki lewat NPWP, tapi hanya 10 juta yang terlapor. Itupun sebanyak 900 ribu adalah pembayar pajak pribadi yang nilainya kecil. Anehnya, pembayar kecil-kecil ini yang diburu, pemerintah justru mengabaikan perburuan pembayar pajak kelas kakap.
“Seperti PT Astra Internasional yang menunggak pajak hingga Rp 2 triliun. Lalu PT Nestle menunggak pajak sampai Rp 800 miliar. Belum lagi tunggakan 5 perusahaan besar CPO,” papar Dradjad Wibowo dalam dialektika demokrasi bertajuk ‘Penurunan Penerimaan Negara’ di pressroom DPR RI. Hadir sebagai nara sumber lain, Ketua Panja Penerimaan Negara DPR RI John Erizal dan Ketua Bidang Ekonomi PDIP Prof Hendrawan Supratikno.
Prof Hendrawan sependapat bahwa tim ekonomi inkompeten, jam terbang masih rendah dan kinerjanya amatiran. Namun hal ini bisa diperbaiki asal mau belajar dengan kurva tajam. Tim ekonomi harus ekspansif untuk segera membenahi infrastruktur seperti jalan tol, jalur KA, pelabuhan. Apalagi anggaran infrastruktur sudah dinyatakan sebesar Rp 200 triliun.    ” Reshuffle menteri bidang ekonomi memang layak dilakukan,” tutur Hendrawan.
Disebutkan Hendrawan, evaluasi terakhir pada 29 April 2015, penerimaan negara hanya Rp 283,61 triliun. Jumlah itu sudah termasuk penerimaan dari migas yang hanya terealisasi 21,3%, dari target. Namun jangan sampai kekurangan ini ditutup dengan utang keluar negeri. Sayangnya dia pesimistis pada kinerja tim ekonomi dan bagaimana kinerja mereka agar pemerintah bisa menutup kekurangan pendapatan ini. [ira]

Tags: