Resistensi Pesantren di Era Society 5.0

Judul Buku : Potret Moderasi Pesantren
Penulis : M. Badrus Zaman
Penerbit : Dio Media
Tahun Terbit : Cet I, Agustus 2021
Tebal Buku : xxiv+252 Hlm, 14×21 cm
ISBN : 978-623-7880-92-9
Peresensi : Muhtadi.ZL
Penulis lepas kelahiran Gedangan, Sukogidri, Ledokombo, Jember. Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika).

Awal-awal di era industri 5.0 seperti saat ini, pesantren memiliki problematika yang semakin kompleks, hal tersebut belum terhitung problematisasi-problematisasi yang masih tereram dalam sangkar; belum menetas ke publik. Sehingga untuk menyikapi hal tersebut, pesantren dituntut untuk memobilisasi setiap gerakan agar fleksibel dan elastis. Dengan memanfaatkan gerakan tersebut, pesantren mampu memberikan kompetitur yang signifikan dalam menghadapi isu-isu sosial, budaya dan agama bersama instansi independent lainnya.

Reaktivitas masa lampau pesantren setidaknya, untuk Era Society 5.0, kembali dimunculkan ke permukaan untuk mengevaluasi sistem pesantren yang “mungkin” tidak sesuai dengan masa sekarang. Maksimalisasi sistem tersebut sangat mungkin direalisasikan, pasalnya orang-orang pesantren (santri) memang digodok bagaimana menangkal kriminalisasi, intoleransi dan radikalisasi. Maka ketika kaum sarungan keluar dari pesantren, ia mampu meju ke garda terdepan dalam menyuarakkan rahmatan lil alamin. Santri telah banyak digembleng secara intelektual oleh kiai dan ustaz di pondok pesantren.(Hal.192)

Ikhtiaritas buku Potret Moderais Pesantren, barangkali menjadi momentum yang kongkret dalam mendobrak semangat moderasi pesantren. Mengingat kebutuhan pesantren yang sangat kompleks (dan problematika yang lebih kompleks) mampu menjadi wahana baru bagi pesantren itu sendiri dalam menyikapi setiap isu kontemporer, radikalisasi, intoleransi dan kriminalisasi, yang untuk era mutakhir ini kerap menyerang dari berbagai lini. Sehingga resistensi pesantren dalam mengarungi Era Society 5.0 tetap dalam porosnya-tidak keluar jalur yang semestinya.

Narasi tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang) dan I’tidal (tegak berkeadilan), harus kembali didengungkan lebih kuat agar diskursus arus utama bisa terortodoksi pada narasi universal pesantren. Wacana-wacana inilah yang diusung oleh M. Badrus Zaman, dalam buku perdananya ini. Mengingat ‘terkadang’ kesimpulan dari gagasan pesantren condong hipotetif, perlu pembuktian aktual dan faktual. Intisari tersebutlah yang menjadikan, M. Badrus Zaman, menyuguhkan gagasan preverentif agar pesantren tidak terprovokatif dengan narasi non-pesantren yang efek dominonya menyudutkan pesantren pada neokolonialistik industri barat.

Akuisisi yang disuguhkan M. Badrus Zaman perlu dikaji kembali, mengingat setiap gagasan yang dikoarkan hanya diambil dari kacamata pesantren, sehingga dari hal tersebut sangat mungkin akan terjadi yang namanya kontradiktif. Ranah inilah yang sangat perlu diperbaiki agar gagasan-gagasan yang ditawarkan tidak hanya deklaratif, dalam artian hanya sekadar wacana tanpa aksi yang presisi.

Memobilisasi elemen pesantren agaknya, oleh M. Badrus Zaman, menjadi hal yang sangat primodial demi merealisasikan gagasannya. Akan tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi pesantren yang notabene memiliki skala kecil atau duduk manis di posisi minoritas. Dari hal inilah terkadang idiom-idiom pesantren terpental ketika disuguhkan ke ranah publik. Hal tersebut yang menjadi batu sandungan M. Badrus Zaman dalam menyuarakkan gagasan-gagasan revolusioner pesantren ke ruang publik.

Agent of peace (agen perdamaian) selayaknya menjadi pisau analisis yang dilakukan oleh M. Badrus Zaman dengan memposisikan dirinya sebagai manusia pesantren. Sehingga setiap lembarnya, narasi yang termaktub dalam bukunya interpretatif. Banyak pemaknaan tekstual yang disuguhkan, dalam artian gagasan tersebut berangkat dari hasil ikhtiarnya, bukan hasil analisisnya.

Untuk itu, posisi pesantren yang saat ini memang berada di ujung tanduk, padahal semestinya “pesantren” memiliki taring yang kuat dalam menjaga resistensinya. Namun ketika taring tersebut salah tertancap akan berdampak signifikan terhadap perkembangan pesantren itu sendiri. Sehingga melakukan polarisasi yang aksidental sangat dibutuhkan agar peran pesantren di Era Society 5.0 terwujud berakibat pada resistensinya.

Lipolisis pesantren ektrimis, moderatis dan liberalis agaknya dibantah mentah-mentah oleh M. Badrus Zaman. Dengan posisinya sebagai orang pesantren, tentu dia tidak mau apabila pesantren disebut-sebut sebagai sarang pemberontak; sarang teroris. Sehingga dari posisi tersebut dia bisa menarasikan bahwa pesantren adalah tempat belajar, terlebih ilmu agama.

Intinya, Potret Moderasi Pesantren, merupakan buku yang memberikan wacana-wacana besar terkait perkembangan pesantren seterusnya. Karena secara ontologis, pesantren tidak perlu dibicarakan, karena hal tersebut jelas secara holistik. Hanya saja yang perlu dipertanyakan ulang dari gagasan moderasi pesantren ialah aksiologisnya. Seberapa besar perjuangan pesantren hari ini adalah nasib pesantren mendatang.(Hal.232)

——– *** ———

Tags: