Revisi (Sia-sia) HET Beras

Panen raya bersama sudah dimulai minggu ketiga Maret ini. Bagai menyongsong bulan Ramadhan. Sehingga seharusnya harga beras tidak mahal. Namun melimpahnya beras juga perlu dilindungi untuk memperoleh harga ke-ekonomi-an yang wajar. Petani tidak merugikan, dan tetap menanam padi. Realitanya, harga beras sudah jauh melampaui harga eceran tertinggi (HET). Harga Sembako menjadi “penggerak” inflasi, makin melilit perekonomian rumah tangga.

Spekulasi harga beras (dan Sembako lainnya) bertahan sangat tinggi. Tetapi petani tidak pernah memperoleh “berkah” harga beras mahal. Bahkan kenaikan harga beras bisa meruntuhkan NTP (Nilai Tukar Petani). Disebabkan indeks yang diterima (It) pada saat panen sangat rendah. Sedangkan belanja (indeks beli, Ib) pangan petani pada masa jelang panen lebih tinggi. Petani tekor. Usaha ke-pertani-an terasa infeasible (tidak layak). Sehingga memerlukan “perlindungan” dari kebangkrutan.

Konon pemerintah akan menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah, dan Beras. Walau bersifat fleksibel, karena harga beras terlanjur membubung. Fleksibilitas HPP gabah kering giling (GKG) dibanderol sebesar Rp 5.750,- per-kg, dan harga beras Rp 9.000,- per-kg untuk cadangan beras pemerintah (CBP) di gudang Bulog. Ironisnya, HPP Bagai ketinggalan kereta, sering tidak berlaku pada realita pasar, karena tidak disertai hukuman terhadap pelanggaran.

Tetapi yang lebih penting, Presiden Jokowi telah meng-instruksi-kan Bulog untuk menyerap sebsar-besarnya gabah hasil panen dalam negeri. Menurut Presiden, harga beras di tingkat petani, dan pedagang sampai konsumen, seharusnya berada pada level ke-wajar-an. Tidak mahal di hilir, seperti saat ini. Dalam prinsip harga wajar, seluruh petani, pedagang, dan rakyat konsumen, akan sama-sama di-untung-kan.

Ironis saat ini (ketika harga beras mahal), petani tidak diuntungkan. Pedagang juga mengeluh rugi karena omzet turun. Serta masyarakat harus membeli beras dengan harga mahal. Maka kenaikan HPP Gabah (dan HPP Beras) bisa menjadi pemicu inflasi. Padahal Presiden Jokowi telah wanti-wanti seluruh Kepala Daerah jaga inflasi. Realitanya, harga beras di seluruh daerah telah membubung. Termahal selama 5 tahun terakhir.

Yang lebih diperlukan sebenarnya, adalah pengawasan dan pengendalian harga gabah dan beras, sejak di ladang sampai di pasar. Dibutuhkan campur tangan pemerintah melindungi perekonomian rumah tangga, sesuai mandat UU (undang-undang). Karena harga Sembako telah menekan perekonomian rumahtangga. Sudah di luar nalar prinsip supply and demand. Surplus tapi harga melejit.

Pengendalian (dan pengawasan) harga Sembako menjadi mandatory undang-undang. Tercantum dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Pada pasal 13, dinyatakan, “Pemerintah berkewajiban mengelola stabilitas pasokan dan harga Pangan Pokok, mengelola cadangan Pangan Pokok Pemerintah, dan distribusi Pangan Pokok untuk mewujudkan kecukupan Pangan Pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat.”

Nyata-nyata terdapat frasa kata “stabilitas pasokan dan harga Pangan Pokok.” Jelas bermakna ke-tersedia-an, dan ke-terjangkau-an harga pangan. Sedikit kenaikan, bisa dipahami sebagai efek kesulitan pasokan. Serta sesuai asas supply and demand. Namun tidak boleh me-liar. Bahkan UU telah meng-antisipasi gejolak harga pangan. Pada pasal 31, pemerintah diamanatkan menyalurkan cadangan pangan (yang dikuasai pemerintah).

Maka benar Presiden memerintahkan Bulog menyerap beras hingga 2,4 juta ton (setara dengan 4 juta ton gabah). Namun juga patut diawasi segenap stake-holder ke-pertani-an. Terutama mutu rendemen gabah (dan beras), yang berujung harga panen yang akan diterima petani. Umumnya petani hanya pasrah, walau tidak puas. Melindungi ke-ekonomi-an gabah (dan beras) seyogianya bukan menaikkan harga. Tetapi pada mekanisasi teknologi pertanian, dan manajemen pengadaan pangan.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: