Revisi UU ITE Dibutuhkan Mengikuti Pesatnya Laju Perkembangan ITE

Diskusi forum legislasi bertajuk “Membaca Arah Revisi UU ITE, Akankah Ruang Multitafsir Dipersempit ?”, hari Selasa (22/11).

Jakarta, Bhirawa.
Pengamat hukum pidana Abdul Fikar Hajar mengatakan, UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) tidak hanya mem-fasilitasi hak orang untuk berpendapat. Tetapi juga bagaimana hukum atau UU ITE ini, membuat satu keadaan dimana orang bisa saling berdiskusi, yang sekelas apapun tidak saling menuntut.

“UU itu sebenarnya adalah hak demokrasi dari masyarakat. Karena ITE bukan hal baru, hanya tempat baru untuk orang meng-ekspresikan baik pendapat, keluhan dll,” tutur Abdul Fikar Hajar dalam forum legislasi bertajuk “Membaca Arah Revisi UU ITE, Akankah Ruang Multitafsir Dipersempit ?”, hari Selasa (22/11).

Nara sumber lain, Dirjen Aplikasi Informasinya Kominfo Samuel Abriyani Pangerapan, anggota Komisi I DPR RI Dave Laksana (Golkar) dan anggota Komisi I Yan Permenas Mandenas (Gerindra).

Abdul Fikar lebih jauh mengatakan; Perubahan dalam UU ITE, bukan hanya kebetulan, tetapi suatu keharusan. Karena perkembangan komunikasi dalam masyarakat, juga cepat. Dengan perkembangan alat alat komunikasi yang cepat, sehingga pengertian tindak pidana elektronik juga cepat berkembang. 

“Misalnya UU harus melalui email atau alat perhubungan elektronik, bisa dikualifikasi sebagai tindak pidana. Bahkan mungkin orang ngobrol dalam WA saja, itu bisa jadi di kua” indikasi sebagai tindak pidana,” lanjut Abdul Fikar.

Yan Permenas Mandenas menyatakan; revisi UU ITE harus lebih baik, karena revisi kali ini adalah yng kedua kalinya. 

“Saya berharap revisi UU ITE kedua ini bukan saja soal efektivitas dari proses tindakan hukum. Yang akan diberikan bagi setiap pelanggar UU ITE. Tapi yang paling penting adalah konsistensi kita dan azas kepastian hukum ini kan harus bicara azas kepastian,” tandas Yan Permenas.

Disebutkan, jadi atas kepastian  hukum dalam memberikan jaminan kepada setiap warga negara. Yang merasa dirugikan dari sisi penggunaan ITE. Sehingga nanti rujukan UU ini, benar benar relevan dan komitmen.

Ditandaskan, nantinya akan ada tindakan tindakan pidana yang benar benar bisa memberikan efek jera bukan kompromi. Seperti selama ini, memang ada tindakan hukum tetapi banyak juga yang kompromi.

“Revisi UU ITE yang kedua kali ini, hendaknya mengedepankan rasionalitas kita. Untuk menjawab tantangan dunia digitalisasi informasi dan teknologi yang semakin canggih dan sema’in modern. Sehingga kedepan nya, pemerintah tidak terlalu mendapat banyak hambatan dan tantangan dalam meng-eksekusi ketika ada pelanggaran,” tambah Yan Permenas.

Menurut Dirjen Samuel Abriyani Pangerapan tujuan UU adalah membuat rambu-rambu, dengan tujuan memberi pedoman agar terjadi kelancaran dalam suatu bidang. Revisi UU ITE, bertujuan untuk memperbaiki peraturan yang ada. Untuk mengembangkan antara hak dan kewajiban. Jadi memang di era digital ini ada kebebasan besar yang hampir tidak ada batasnya.

“Diruang digital kita perlu rambu rambu, karena ruang digital memberikan kebebasan sebelas bebasnya. Nah, ini juga harus meng-edukasi masyarakat jangan juga terlalu baper. Makanya di UU ITE ini dibatasi. Jadi kebebasan itu harus dibawa juga sebagai ruang untuk saling mebgha3gai. Kalau ruang fisik kita ngobrol, kita juga saling menghargai,” paparNya.

Yang pasti, lanjut Dirjen Samuel, dalam ber ekspresi, jangan sampai kita menuduh. Sebab menuduh punya implikasi hukum. Kalau tidak senang sama seseorang, gak apa apa, tapi jangan menuduh. Sebab menuduh bisa ber implikasi hukum. (ira.hel).

Tags: