Revisi UU KPK Bermakna Politis

SalahudinOleh :
Salahudin
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang, Sedang melanjutkan studi master pada Program Local Government di College of Local Administration, Khon Kaen University, Thailand.

Akhir-akhir ini politisi senayan (Anggota DPR RI) sibuk membicarakan revisi Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pembicaraan mereka itu berdampak pada munculnya resistensi publik  terhadap mereka yang berupaya ingin merivisi UU KPK. Nampaknya masyarakat Indonesia tidak menginginkan UU KPK direvisi. “Save KPK”, demikian suara rakyat Indonesia.
Resistensi publik nampak dengan berbagai bentuk pertanyaan kritis diantaranya apa urgensi (pentingnya) revisi UU KPK pada saat ini? Kenapa UU KPK itu direvisi, toh selama ini UU itu dianggap efektif dalam mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia? Dengan UU KPK itu, KPK memiliki power yang kuat dalam melakukan pemberantasan korupsi secara efektif, masif, dan sistimatis. Harus diakui, hingga saat ini kinerja KPK dinilai baik dan profesional.
Tapi kenapa sebagian besar politisi di senayan sangat ngotot untuk segera merevisi UU KPK itu dalam waktu dekat. Apakah mereka tidak ada pekerjaan yang lebih besar dan lebih penting dari sekedar merivisi UU KPK yang dinilai tidak ada masalah didalamnya (tidak perlu dilakukan perubahan). Dalam dunia politik praktis, pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat sulit untuk dijawab dengan logika yang sederhana. Dunia politik praktis adalah dunia politisi yang penuh teka teki.
Tapi kita sebagai masyarakat dapat menganalisis kemana arah dan tujuan politisi dibalik wacana mereka ingin merevisi UU KPK. Tentu saja, tujuan dan arah mereka adalah untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan politik pragmatis yang dimiliki oleh mereka dan atau dimiliki pihak lain namun mereka sebagai garda depan untuk melindungi pihak lain itu dengan memanfaatkan posisi mereka sebagai dewan senayan.
Politisi-politisi itu seolah takut dengan keberadaan KPK. Mereka sangat takut suatu saat nanti akan ditangkap KPK lalu kemudian menjadi pesakitan dibalik jeruji besi sebagimana yang dialami sejumlah politisi lain dimana pada saat ini sedang menikmati hidupnya dibalik jeruji besi karena mereka terbukti melakukan tindakan korupsi.
Apabila keberadaan KPK masih kuat sebagaimana saat ini, maka politisi-politisi itu takut melakukan tindakan korupsi, dan pada akhirnya mereka tidak mendapatkan bagian yang lebih besar dari harta negara. Pada akhirnya, politisi-politisi itu tidak mendapatkan keuntungan ekonomis dan mereka tidak dapat mengembalikan modal dari biaya politik yang pernah mereka keluarkan pada saat pemilihan legislatif. Disinilah titik poin ketakutan mereka pada kekuatan KPK.
Karena itupula, politisi-politisi senayan kita mengajukan revisi UU KPK dengan merubah poin-poin sentral dari kekuatan KPK, diantaranya KPK dalam waktu 12 tahun akan dibubarkan, KPK hanya dapat menindaklanjuti kasus korupsi yang merugikan negara senilai Rp. 50 Milliar, KPK tak memiliki kewenangan penuh untuk merekrut penyelidik karena harus mendapat usulan dari Kepolisian atau Kejaksaan, dan masih banyak poin lain yang dianggap melemahkan KPK.
Wacana revisi UU KPK dengan menitikberatkan pada poin-poin tersebut, ini nyata-nyata menunjukkan adanya permainan para politisi senayan ingin berlindung dibalik undang-undang yang akan dibuat oleh mereka sendiri. Rupanya mereka ingin melegitimasi tindakan korupsi dengan membuat UU KPK yang baru, dan tentunya isi dari UU itu “melegalkan” tindakan korupsi.
Menurut politisi-politisi yang ingin merevisi UU KPK itu, adalah sebaiknya urusan kasus korupsi cukup diselesaikan atau diselidiki oleh lembaga penegakkan hukum negara yaitu Kepolisian, dan ditindaklajuti oleh lembaga tinggi negara yaitu Mahkama Agung (MA). Menurut mereka KPK tidak perlu eksis selama-lamanya sebagai lembaga yang bertugas melakukan pemberantasan korupsi, karena lembaga KPK sifatnya ad-hoc (bersifat sementara) bukan lembaga permanen negara.
Rupanya para politisi senayan sedang mencari pembenaran yang akan melegitimasi rencana mereka untuk tetap melakukan revisi UU KPK. Mungkin masyarakat akan menerima pembenaran mereka itu. Tapi masyarakat pun akan menyampaikan pertanyaan kritis kepada mereka: (1) Sudahkan lembaga kepolisian melakukan upaya pemberantasan korupsi dengan baik dan benar, (2) Sudahkan lembaga kepolisi melakukan reformasi internal secara baik, (3) Bagaimanakah strategi untuk menjamin lembaga kepolisian melakukan penyelidikan secara profesional, dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang perlu dijawab pada kontesk ini.
Pada saat ini, kinerja lembaga kepolisian dalam penegakkan hukum masih perlu dipertanyakan. Kita memang sudah mendengar di tataran elit kepolisian telah berupaya melakukan penataan dan pembenahan internal mereka, dan mereka juga sudah membuat seperangkat peraturan hukum untuk menuju kepolisian bersih dan profesional. Tapi ingat, itu semua belum ditunjukkan secara nyata dalam tindakan kepolisian di lapangan. Kinerja kepolisian di lapangan sangat buruk, mereka gagal melayani masyarakat dengan bersih dan profesional.
Apa yang bisa diharapkan dari lembaga kepolisian dalam bidang penegakkan hukum termasuk dalam melakukan pemberantasan korupsi, may be impossible. Para politisi kita membuat pembenaran untuk revisi UU KPK tidak dapat diterima dengan akal pikiran yang rasional. Melihat perilaku politisi yang seperti ini, menjadi benar dan tepat apa yang dikatan oleh Gus Dur “Anggota DPR RI itukan seperti anak-anak TK”. Mereka betul-betul seperti anak TK yang cara berfikirnya masih perlu dibina dan dibimbing ke arah yang baik dan benar.
Masyarakat menilai dengan kondisi membudayannya tindakan korupsi di Indonesia, maka keberadaan KPK sangat dibutuhkan untuk terus eksis dan berupaya melakukan pemberantasan korupsi secara masif, komprhensif, dan sistimatis sebagaimana yang dilakukan oleh pimpinan KPK selama ini. Bahkan, KPK harus terus diperkuat dalam segala aspek seperti memperkuat peran dan fungsi, sarana dan prasara, dan bahkan perlu pembentukan KPK diberbagai daerah diseluruh Indonesia.
Mestinya politisi merevisi UU KPK dalam rangka memperkuat KPK dalam segala aspek seperti yang disebutkan di atas. Bukan mala merevisi UU KPK untuk melemahkan KPK, membubarkan KPK, membudayakan korupsi, dan membiarkan para koruptor berkeliaran diberbagai sumber kekuasaan dan anggaran negara.
Sebaiknya, para politisi yang mendukung dan menginginkan revisi UU KPK harus mengedepankan kepentingan bangsa yang lebih besar, kepentingan masyarakat, dan kepentingan penegakkan hukum. Sebaiknya pula mereka harus memahami bahwa pada saat ini masyarakat sudah sangat kritis dalam membaca dan memahami kondisi sosial politik dan hukum, termasuk masyarakat sangat paham makna politik dibalik kepentingan para politisi.
Para politisi senayan harus kembali pada hakikatnya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan mereka harus menjalankan kewenangan, tugas, dan kewajiban secara baik dan benar, dan semua itu diarahkan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Wahai politisi yang terhormat, masih banyak persoalan-persoalan besar bangsa yang perlu diselesaikan dengan baik dan benar. Wahai politisi, fokuslah pada pekerjaan yang dapat mendukung terwujudnya cita-cita besar negara sehingga Republik Indonesia menjadi sebuah bangsa yang berdaya saing dan berkemajuan dalam segala bidang. Semoga!!.

                                                                                                                ———- *** ———-

Rate this article!
Tags: