Revitalisasi Komite Sekolah Sebuah Keniscayaan

(Membaca Kehadiran Permendikbud Nomor 75 tahun 2016)

Oleh :
Retno Susilowati
Kolumnis ; Peneliti Public Sphere Center (Puspec), Surabaya

Hadirnya Komite Sekolah sejatinya merupakan amanah UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang diharapkan berperan dalam meningkatkan kualitas dan pelayanan pada satuan pendidikan. Dalam pasal 56 (3) UU 20/2003 menjelaskan  Komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri, yang dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
Secara lebih teknis, keberadaan komite sekolah selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam PP ini mengatur banyak hal terkait dengan keberadaan komite sekolah, baik menyangkut proses pembentukan, komposisi keanggotaan tata kerja dan pertanggungjawaban komite sekolah.
Namun demikian, aturan dan ketentuan yang sudah ada terkait dengan keberadaan komite sekolah nampaknya belum  cukup memadai dalam memandu dan memberi rambu-rambu bagi komite sekolah untuk menjalankan peran sebagaimana yang diamanahkan UU 20/2003. Terbukti, keberadaan komite sekolah masih belum menampilkan peran kelembagaan yang bisa memberi kontribusi signifikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Komite sekolah hari ini seolah masih dipahami sebatas sebagai lembaga penggalang dana.
Bahkan ironisnya, dengan berdalih untuk mencari dana demi penyelenggaraan pendidikan, komite sekolah acap menjadi ‘pintu masuk’ bagi pengusaha untuk mendapatkan proyek sekolah. Modus yang biasa terjadi adalah, pengusaha menjadi anggota komite sekolah hanya untuk mendapatkan ‘pekerjaan’ dari sekolahan. Selanjutnya ‘keuntungan’ dari proyek tersebut nanti ‘dikembalikan’ ke sekolah lewat kepala sekolah. Sehingga tidak aneh, seseorang (baca : pengusaha) yang karena pengaruh dan kemampuan memberi ‘kontribusi’ kepada sekolah bisa menjadi anggota komite sekolah di beberapa sekolahan.
Revitalisasi Komite Sekolah
Secara konseptual, komite sekolah merupakan pelembagaan ruang partisipasi publik dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, kontribusi komite sekolah terhadap penyelenggaraan pendidikan sungguh bukan hanya berkisar pada penggalangan dana semata namun juga menyentuh pada peningkatan kualitas pendidikan berikut kualitas layanan penyelenggaraan pendidikan.
Berpijak pada realitas di atas, maka langkah revitalisasi kelembagaan komite sekolah menemukan relevansinya. Spirit revitalisasi ini  menemukan momentumnya dengan langkah Menteri Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy yang menerbitkan Permendikbud Nomor 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Hari-hari ini, upaya sosialisasi keberadaan Permendikbud 75/2016 tengah secara massif dilakukan. Artinya, memang ada kesungguhan dari pemerintah agar komite sekolah bisa berperan dan berfungsi sebagaimana amanah undang – undang.
Permendikbud ini mengisyaratkan ada penekanan bagi komite sekolah dalam menggalang sumbangan dan bantuan bagi sekolah. Hal ini tampak lebih jelas dan tegas tentang panduan dan rambu-rambu dalam peran Komite Sekolah membantu sekolah melakukan fund raising (penggalangan dana), menggali dana dari masyarakat. Sumber potensial yang diharapkan dapat digali adalah dana Corporate Social Responsibility (CSR), donator, dan alumni.
Dalam pasal (3) Permendikbud ini menegaskan Komite sekolah dalam melaksanakan fungsinya mempunyai tugas  menindaklanjuti keluhan, saran, kritik, dan aspirasi dari peserta didik, orangtua/wali, dan masyarakat serta hasil pengamatan Komite Sekolah atas kinerja Sekolah.
Permendikbud ini juga ingin menegaskan  posisi komite sekolah tidak di bawah kepala sekolah, melainkan sebagai penyeimbang pihak sekolah. Dalam posisi sebagai penyeimbang, maka komite sekolah bisa mengupayakan untuk merealisasikan aspirasi orangtua siswa. Termasuk, jika tak setuju apabila pihak sekolah mengambil kebijakan tertentu yang berkaitan dengan siswa/orangtua siswa misalnya memungut biaya tertentu.
Jadi kalau sekolah tidak bisa lagi memaksakan memungut biaya. Contoh lainnya, jika sekolah ingin membeli perlengkapan penunjang aktivitas para murid, komite sekolah juga mengonsolidasikan hal tersebut.  Misalnya, sekolah mau beli alat drum band. Maka bisa ditindaklanjuti dengan rapat komite sekolah untuk memutuskan membeli peralatan tersebut termasuk dari sumber mana dana tersebut akan diperoleh.
Spiritnya tentu tidak dimaksudkan komite sekolah akan mengintervensi sekolah, tetapi lebih ingin mengakomodasi aspirasi tua siswa diakomodasi di dalam komite sekolah.  Ruang akomodasi ini dapat terbaca dari ketentuan tentang komposisi keanggotaan, dalam Permendikbud ini menegaskan anggota komite maksimal 50 persen dari orangtua, jadi kalau ada keputusan yang menyangkut kepentingan siswa dan orang tua bisa disampaikan di komite itu.
Kecemasan bahwa komite sekolah akan dikendalikan oleh ‘orang kuat’ baik karena kekuasaan politik maupun finansialnya (baca : pengusaha) tidak akan terjadi karena komposisi anggota dalam komite sekolah sudah mengatur secara jelas. Misalnya anggota komite sekolah tidak boleh berasal dari kalangan forum pimpinan kecamatan, Forpimda, anggota DPRD maupun pejabat yang menangani pendidikan. Ketentuan dalam Permendikbud ini menggariskan bahwa seseorang tidak bisa menjadi anggota komite sekolah di lebih dari satu sekolah. Pembatasan ini tentu dilandasi agar anggota komite sekolah adalah orang-orang yang memiliki kepedulian dan perhatian terhadap pengembvangan pendidikan.
Singkatnya, bahwa tujuan dari Permendikbud ini agar sekolah lebih mandiri dan tidak hanya bergantung kepada Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Harapannya sekolah bisa lebih maju, jangan hanya menggantungkan diri kepada BOS yang tidak seberapa. Anggaran pendidikan yang disiapkan pemerintah melalui dana BOS maupun skema lainnya, itu sejatinya untuk layanan minimal.  Sungguh perlu dibuka juga akses bagi pihak manapun termasuk orangtua yang ingin membantu sekolah.  Dalam permendikbud ini juga menegaskan tidak boleh bersifat pungutan. Biaya seperti SPP itu masuk kategori pungutan dan tidak diperbolehkan di jenjang SD dan SMP karena ada dana BOS.  Selain itu wali murid dari keluarga mampu juga tidak perlu khawatir terbebani sumbangan dan bantuan. Sebab sifatnya sukarela, tidak mampu membayar juga tidak apa-apa.
Hak komite sekolah untuk menggalang dana bukannya tanpa rambu-rambu. Kemendikbud melarang komite menampung dana sumbangan dan bantuan dari industri rokok, minuman beralkohol, dan duit dari partai politik manapun. Komite juga dilarang menjual buku, bahan ajar, pakaian seragam, bahkan bahan untuk pakaian seragam sekolah.
Revitalisasi Komite Sekolah yang merupakan roh dari hadirnya Permendikbud Nomor 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah pada derajat tertentu sejatinya juga ingin menegaskan tentang ruang partisipasi publik dalam penyelenggaraan pendidikan.
Bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara terang benderang telah membuka ruang partisipasi bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Dalam Pasal 46 (1) misalnya, UU 20/2003 ini menegaskan  bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Dalam pasal 47 (2) mengatur (2) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.
Melibatkan partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan akan membuat masyarakat merasa ikut bertanggung jawab dalam mengurus dan mencari solusi terhadap tantangan yang dihadapi terkait Pendidikan. Keterlibatan Publik diharapkan bisa membantu pemerintah membawa perubahan dalam dunia Pendidikan khususnya dalam melakukan pengawas sehingga pengelolaan anggaran menjadi transparan dan bisa dipertanggungjawabkan.

                                                                                                  ———– *** ————

Tags: