Revitalisasi Pelaksanaan Pendidikan Inklusif

Oleh :
Nuruddin Musyafa’
Dosen AIK Universitas Muhammadiyah Malang

Tahun 2011 Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 6 tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif. Harapan dari pergub ini dapat memberi payung hukum tersedianya pendidikan yang ramah anak difabel.
Pergub ini ibarat angin segar bagi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) atau kecerdasan istimewa untuk memperoleh pendidikan di tempat yang sama dengan mereka yang normal. Secara psikologis, pada umumnya mereka para orang tua malu bila anak-anaknya sekolah di lembaga khusus (baca: SLB) dan lebih bangga bila anaknya mendapat pendidikan di sekolah inlusif meskipun harus ada biaya khusus.
Hingga saat ini pergub tersebut masih menyisakan beberapa persoalan untuk diselesaikan dengan baik. Salah satu contoh adalah ketersediaan person, lembaga assesment yang kompeten, ketersediaan sekolah yang bersedia membuka program inklusif, ketiadaan Surat Keterangan Hasil Ujian (SKHU), dan lain-lain.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, Apakah seluruh siswa yang divonis inklusif oleh guru sesuai kondisi anak ? Apakah ada lembaga khusus untuk assessment yang recommended dari Dinas pendidikan kabupaten dan kota? Bagaimana kondisi ketersediaan sekolah yang siap melaksanakan sekolah inklusif ?
Informasi yang diperoleh penulis dari salah satu Guru Pendamping Khusus (GPK) di Kota Malang, prediksi tahun 2019 ini siswa Sekolah Dasar (SD) Inklusif yang akan lulus sebesar 93 anak. Daya tampung Sekolah Menengah Pertama (SMP) Inklusif di Kota Malang kurang lebih setengah dari jumlah lulusan yang ada. Hal ini menjadi persoalan tersendiri yang harus segera diselesaikan oleh lembaga pendidikan secara umum dan Dinas Pendidikan demi keberlangsungan pendidikan ABK.
Ketentuan vonis terhadap anak ABK perlu dilakukan oleh person atau lembaga khusus yang kompeten. Tidak semua Kepala Sekolah, guru, Bimbingan Konseling (BK) dapat mudah memberi tes psikis kondisi perkembangan siswa. Seringkali anak divonis ABK oleh seorang guru dari faktor sporadis yang muncul terhadap diri anak, dan celakanya secara premature langsung divonis bahwa anak tidak normal serta memerlukan pendampingan khusus.
Dari jenjang dasar, pihak SD harus hati-hati, tepat dan teliti dalam menganalisis serta melakukan pengambilan keputusan tentang siswa inklusif. Bila tidak tepat memberi keputusan, maka resiko akan ditanggung anak selama memperoleh pendidikan mulai jenjang dasar hingga menengah. Kalau dirasa tidak memiliki kompetensi keilmuan yang memadai, maka sudah sepatutnya mereka konsultasi dengan orang tua, serta orang yang ahli dalam bidangnya. Kehati-hatian dalam pengambilan keputusan penting dilakukan demi kemaslahatan pendidikan anak serta menekan anak yang masuk dalam kategori inklusif.
Di Kota Malang ada satu sekolah yang telah lama menyelenggarakan pendidikan inklusif yaitu SMP Muhammadiyah 2 Kota Malang. Tahun 2018 didapati seorang anak yang telah divonis oleh guru SD sebagai anak dengan pendidikan inklusif. Setelah dilakukan assessment kembali oleh GPK SMP tersebut, didapati fakta bahwa yang bersangkutan mampu secara normal mengikuti pendidikan pada jenjang umum dan tidak layak menyandang ABK.
Fakta di atas dapat memberikan gambaran bahwa hal yang sangat urgent dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan aturan tentang prosedur serta lembaga assessment siswa inklusif. Pergub sekolah inklusif perlu didukung sebagai proses kesetaraan dan jangan hanya sebatas tulisan tetapi juga kebijakan nyata di lapangan.
Perlu ada sosialisasi dan workshop singkat kepada person dan lembaga assessment dari pemerintah tentang memvonis anak dalam kategori ABK. Hal ini bukan untuk menggurui, namun semata demi keseragaman kondisi siswa inklusif yang akan memperoleh pendidikan. Selain problem assessment, pelaksanaan sekolah inklusif terkendala kesiapan sekolah. Pemerintah sudah selayaknya tidak hanya membuat peraturan tetapi juga perlu dikondisikan pelaksanaannya. Ketersediaan sekolah inklusif tidak sekedar wacana, namun harus ditekankan khususnya di sekolah-sekolah negeri.
Seperti halnya kondisi sekolah inklusif di Kota Malang. Ada ketidakseimbangan antara jumlah sekolah inklusif SD dan SMP. Prediksi tahun 2019 ada sekitar 50% dari lulusan SD Inklusif yang kemungkinan akan kesulitan memperoleh pendidikan selanjutnya. Kendala tersebut karena minimnya SMP Negeri dan Swasta Inklusif, serta kesan tidak ada komunikasi yang sejalan antara bagian pendidikan dasar dan menengah.
Bagi dinas pendidikan kabupaten atau kota melaksanakan Permen atau Pergub merupakan suatu keniscayaan, namun seringkali hanya sebatas gugur kewajiban tanpa progress yang signifikan. Ada kewajiban Pemerintah menunjuk sekolah sedikitnya satu sekolah tiap jenjangnya dalam satu kecamatan untuk melaksanakan pendidikan inklusif. Pemerintah jangan hanya asal menunjuk, namun kewajiban lainnya perlu disiapkan, seperti GPK. Alasan ketiadaan GPK menjadi satu-satunya jurus bagi sekolah negeri untuk tidak sanggup menjalankan sekolah inklusif.
Sekolah swasta muncul bak pahlawan yang siap menampung seluruh siswa inklusif. Namun tujuan mereka terkendala aturan jumlah persentase jumlah siswa inklusif dan regular biasa. Kalau mereka mau memaksakan menerima siswa inklusif dengan jumlah banyak, maka istilah penyebutnnya menjadi berbeda yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB) bukan Sekolah Inklusif.
Selama ini memang tidak banyak diskusi di ruang publik tentang pelaksanaan pendidikan inklusif. Di wilayah Jawa Timur, Pemerintah Provinsi kiranya perlu adanya monitoring dan evaluasi pelaksanaan Pergub Sekolah Inklusif di Kabupaten dan Kota. Hal ini bukan untuk menilai, namun peningkatan kualitas pendidikan dan pelayanan terhadap siswa inklusif.
Tulisan ini murni dari pengalaman yang diperoleh penulis di Kota Malang. Bila sekolah negeri kurang siap melaksanakan amanah Permen dan atau Pergub, maka pemerintah harus berupaya mendorong sekolah-sekolah swasta untuk siap melaksanakannya. Karena pada dasarnya administrasi lembaga pendidikan swasta lebih mudah dan fleksibel daripada negeri.
Bila jumlah siswa inklusif tiap tahun bertambah banyak, maka perlu diimbangi pula dari segi jumlah sekolah pelaksana pendidikan inklusif. Penambahan pelaksana sekolah inklusif tentunya harus ada kemauan dan dorongan kuat dari pemerintah demi mewujudkan kesetaraan dalam memperoleh pendidikan.

——— *** ———–

Tags: