Revitalisasi Pendidikan Muatan Lokal

Oleh :
Aminuddin
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Gempuran budaya baru tidak bisa dihindari. Sementara budaya yang menjadi entitas bangsa semakin tergilas oleh perkembangan zaman. Ditambah lagi dengan absennya masyarakat terhadap budaya lokal (local wisdom), membuatanya semakin terjepit. Akibatnya, generasi bangsa semakin tidak mengenal budaya lokal di daerah masing-masing. Maka jangan heran jika dalam beberapa tahun ke depan, bangsa kita tidak lagi memiliki identitas dan jati diri karena tergantinya budaya lokal.
Bangsa Indonesia memiliki corak dan kekhasan budaya berbeda-beda. Suku Jawa tentu memiliki ragam budaya lokal yang berbeda dengan luar Jawa. Begitupun suku Madura, Batak, Minangkabau, Asmat, dan lain sejenisnya. Keanekaragaman dan kekhasan ini tentu saja tidak boleh punah. Sebab jika punah, itu sama saja dengan menghilangkan seluruh warisan budaya bangsa yang paling berharga. Apalagi akhir-akhir ini, sudah banyak seni daerah yang menjadi etalase kebudayaan di Indonesia teridentifikasi punah.
Merujuk statistik Kebudayaan 2016 yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat total kesenian yang diperkirakan akan punah mencapai 167. Antara lain adalah seni pertunjukan sebanyak 30 buah, seni rupa (1), seni musik (33), seni tari (58), teater (6), kriya (1), tradisi lisan (1), sastra lisan (5), permainan rakyat (4), tutur (20), beladiri tradisional (4), dan tradisi (2). Sementara ada sekitar 40 seni asli Jawa Barat yang nyaris punah seperti Topeng Menor, Ronggeng Ketuk (untuk menyongsong panen padi) serta Ngaguyah Hujan. Ada pula dari Sumatera Barat seperti Talempong Unggan, Gandai, serta Tupai Janjang.
Seni lokal merupakan ciri khas yang memiliki nilai kebudayaan yang tinggi. Nilai-nilai kebudayaan sebenarnya tidak akan punah jika proses pembelajaran muatan lokal di sekolah kembali digaungkan. Sebab, pembelajaran muatan lokal yang menjadi jembatan penghubung kepada generasi mudah untuk terus mengingat dan melestarikan budaya daerah. Namun yang terjadi saat ini, pembelajaran bermuatan lokal seolah-olah hidup segan, mati pun tak mau. Memang masih ada pembelajaran muatan lokal di sekolah. Namun porsi dan proses pembelajarannya tidak dominan layaknya mata pelajaran unggulan seperti Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Porsi pembelajaran muatan lokal pun seolah-olah hanya diselipi terhadap waktu yang kosong. Sehingga, nilai-nilai yang semestinya diinternalisasikan terhadap siswa menjadi bias.
Nilai-nilai kebudayaan kita seperti mengalami dilema. Di satu sisi, nilai budaya harus ditransformasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, nilai kebudayaan merupakan falsafah hidup yang harus terus diinternalisasikan oleh bangsa Indonesia. Namun di sisi lain, nilai-nilai kebudayaan acap kali tidak menemukan cara dan juga tempat untuk diajarkan ke peserta didik. Pada akhirnya, nilai-nilai kebudayaan hanya nyaring dari luar, tapi sepi dalam konteks pembelajaran. Jadi tidak heran apabila banyak kalangan pembelajar tidak memahami kebudayaan masing-masing di daerah secara utuh. Mereka akan gagap jika ditanyakan kekayaan kebudayaan di daerah masing-masing. Sementara mereka lebih mengenal budaya luar yang lebih dominan diakses di internet. Misalnya budaya K-pok. Hal ini terjadi karena budaya luar lebih menari ketimbang budaya kita sendiri.
Dalam konteks ini, ada beberapa alasan mengapa pembelajaran muatan lokal bisa menjadi pelestari nilai-nilai kebudayaan. Pertama, hanya pelajaran muatan lokal yang membahas secara holistik mengupas seluk-beluk kebudayaan di berbagai daerah. Sebab, pembelajaran muatan lokal murni terkait dengan perkembangan dan sejarah kebudayaan lokal di daerah masing-masing. Kedua, kebudayaan di daerah masing-masing lah yang pertama dikenal oleh masyarakat. Pasalnya, kebudayaan di daerahnya bertautan langsung dengan perkembangan. Karenanya, menjadi sangat relevan apabila muatan lokal benar-benar menjadi narahubung terhadap kebudayaan masing-masing.
Ketiga, pembelajaran muatan lokal sama dengan mengajarkan sikap nasionalisme bangsa. Sikap nasionalisme akan bertumbuh ketika siswa maupun masyarakat diperkenalkan kekayaan budaya daerah sendiri dan kebudayaan lain. Ada proses akulturasi budaya yang terjadi di dalamnya. Ketika proses akulturasi terjadi, maka masyarakat akan saling menghargai budaya masing-masing daerah. Mereka juga merasa saling memiliki.
Tantangan
Namun sayang, masyarakat rasa nasionalisme masyarakat terhadap kekayaan budaya lokal masih kurang. Masyarakat di daerah tidak lagi antusias melestarikan kebudayaan sendiri. Bahkan tidak jarang kesenian di daerah dipertentangkan dengan ideologi agama tertentu. Pada akhirnya, pro kontra bermunculan. Padahal, kesenian maupun adat istiadat tidak memiliki hubungan dengan ideologi apapun. Pasalnya, kebudayaan, kesenian tumbuh dan berkembang di masyarakat sesuai dengan kesepakatan bersama, bukan berdasarkan ideologis.
Selain itu, tidak banyak juga anak muda yang antusias melanjutkan studi fokus mempelajari kesenian dan kebudayaan lokal. Identifikasi ini sebenarnya mudah diketahui ketika tidak banyak kampus yang secara khusus membuka jurusan kesenian dan pendidikan yang bermuatan lokal. Kampus juga belum fokus melestarikan kebudayaan lokal dengan mengkaji secara serius. Bahkan, tidak banyak penelitian yang membahas tentang kesenian dan budaya lokal yang terekspos ke khalayak. Alhasil, kebudayaan lokal semakin tidak memiliki panggung. Harus diakui memang, masih ada perguruan tinggi yang fokus terhadap kesenian. Hanya saja, dominasinya tidak sebesar perguruan tinggi.
Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk tetap melestarikan kebudayaan lokal melalui pembelajaran. Pertama, lembaga pendidikan mulai dari dasar hingga perguruan tinggi harus mampu memberikan porsi yang luas agar kebudayaan lokal tidak tergerus zaman. Kedua, metode pembelajaran di berbagai jenjang pendidikan harus didesain lebih modern agar generasi muda tidak bosan dalam proses pembelajaran budaya lokal. Ketiga, tenaga pendidik pun harus dipersiapkan secara matang agar mampu menyalurkan dan menyampaikan dengan baik kepada siswa. Artinya, pendidik harus benar-benar memahami budaya daerah itu sendiri, sehingga apa yang disampaikan benar-benar merepresentasikan kekhasan daerah tersebut.

———– *** ————-

Rate this article!
Tags: