Revitalisasi Pendidikan Tinggi Vokasi

Dr-MachsusOleh :
Dr Machsus, ST, MT
Kaprodi Diploma Teknik Sipil ITS, dan juga pernah sebagai Ketua Tim Penyusun Usulan Pendirian FakultasVokasi ITS

Pemerintah tampaknya benar benar serius dalammerevitalisasi pendidikan vokasi, setidaknya ditunjukkandengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun2016 tertanggal 9 september 2016. Inpres tentang revitalisasipendidikan vokasi pada level sekolah menengah kejuruan inimendapat sambutan hangat bukan saja bagi para guru SMK, melainkan juga bagi para dosen pendidikan tinggi vokasi di perguruan tinggi.
Di komunitas FPTVI (Forum Pendidikan Tinggi VokasiIndonesia) yang beranggotakan 33 perguruan tinggipenyelenggara pendidikan tinggi vokasi, kini semarak denganberbagai kegiatan diskusi, sarasehan, workshop dansejenisnya yang mengangkat topik revitalisasi pendidikantinggi vokasi. Misalnya, pada tanggal 28 September 2016 telah diselenggarakan sarasehan yang bertajuk RevitalisasiPendidikan Tinggi Vokasi di ITS, dengan menghadirkan Prof. Dr.rer.nat. Agus Rubiyanto, M.Eng.Sc., Atase Pendidikan danKebudayaan KBRI Berlin periode 2012-2016.
Mencermati perbincangan di berbagai forum diskusi atausarasehan seputar revitalisasi pendidikan tinggi vokasi di Indonesia, penulis mencatat setidaknya ada 2 (dua) halpenting dan menarik untuk disharingkan. Pertama, pendidikan tinggi vokasi lebih solutif. Pendidikan tinggi jalurvokasi kian mendapat perhatian dan menjadi pilihan karenakualifikasi lulusannya mampu menjawab kebutuhan duniakerja. Kompetensi lulusan yang dihasilkan melalui jalurpendidikan tinggi vokasi adalah salah satu jawaban dalammenghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang semakin kompetitif. Kini, masyarakat kian menyadari bahwadunia kerja membutuhkan lulusan yang trampil, bukansekadar bergelar sarjana.
Pengalaman implementasi kebijakan pendidikan vokasidi Jerman memperlihatkan bahwa salah satu yang menopangkemajuan Jerman adalah pendidikan vokasinya. Cara Jermankembangkan pendidikan vokasi setidaknya ini ditunjukanpada sejarah Berlin-Siemensstadt, dimana pada tahun 1897 Siemens memutuskan untuk membangun kantor dan pabrikSiemens di pinggiran Berlin dengan membeli tanah seluas 200 hektar di Nonnenwiesen. Mulai tahun 1914 area tersebutdinamakan Siemensstadt. Siemens Professional Educationmenawarkan pendidikan vokasi atau dikenal dengan dual education sebanyak 41 lokasi di seluruh Jerman. Setiaptahunnya, Siemens menghasilkan sekitar 2000 lulusan yang menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan Industri.
Singkatnya, Jerman maju karena pendidikan vokasinyamaju, sementara Indonesia tertinggal karena “meninggalkan” pendidikan vokasinya. Dengan kata lain, Indonesia akan majujikalau pemerintah memajukan pendidikan vokasi. Hal inipenting mengingat selama ini orientasi pengembanganpendidikan tinggi di Indonesia terlalu memprioritaskan jalurakademik, dan mengabaikan jalur vokasi. Pendidikan tinggivokasi acapkali diposisikan sebagai “anak tiri” dengan anekakekangan, sehingga menjadi sulit maju dan berkembang.
Vokasi dan Bonus Demografi
Kedua, pendidikan tinggi vokasi lebih adaptif. Indonesia diperkirakan akan mendapatkan bonus demografi di tahun2020-2030, dimana penduduk dengan usia produktif sangatbesar sementara usia muda semakin kecil dan usia lanjutbelum banyak. Diperkirakan usia produktif atau usia angkatankerja (15-64 tahun) mencapai sekitar 180 juta, sementara usianonproduktif hanya 60 juta. Oleh karena itu, revitalisasipendidikan tinggi vokasi ini lebih adaptif dengan kondisibonus demografi tersebut. Pemerintah harus memperkuatpendidikan tinggi vokasi untuk membekali penduduk usiaproduktif yang jumlahnya kian melimpah itu denganketerampilan dan keahlian yang cukup, sehingga dapatmereka berkontribusi dalam pembangunan nasional.
Namun, bila tidak dipersiapkan dengan bekalketerampilan dan keahlian yang cukup, maka kondisi bonus demografi bisa menjadi persoalan yang serius bagi bangsa ini. Seandainya lapangan kerja tersedia pun, belum tentu bisamenyerap tenaga kerja, bila penduduk usia produktif tidakmemiliki atau tidak memenuhi standar kompentesi yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Belum lagi, jika pekerjaIndonesia harus bersaing dengan pekerja asing. Hal inimenimbulkan konsekwensi terhadap ketersediaan peluangkerja dan posisi strategis di dalam negeri pun justru akan diisioleh tenaga kerja asing yang memang lebih kompeten.
Jika kondisi seperti ini yang terjadi maka bonus demografi bukannya menjadi berkah malah berpotensimenimbulkan bencana, karena angka pengangguran pendudukusia produktif pastinya akan meroket. Apalagi realitas saat iniindeks pembangunan manusia atau human development index (HDI) Indonesia masih tergolong rendah, dimana posisiIndonesia berada di urutan 111 dari 182 negara di dunia. Sementara untuk HDI Indonesia dari 10 negara Asean masihberada di urutan keenam.
Ancaman membludaknya angka pengangguran usiaproduktif ini perlu diantisipasi sejak dini. Salah satunya bisadengan belajar dari keberhasilan Jerman menerapkan sistempendidikan vokasi dalam memerangi pengangguran. Beberapanegara Uni Eropa bahkan telah mencoba untuk menerapkansistem pendidikan vokasi Jerman untuk mengatasipengangguran di negaranya. Lebih lanjut, Amerika Serikat, Brazil, dan Rusia pun juga tertarik untuk mengadopsi konseppendidikan vokasi dual training Siemens melalui kerjasamadengan partner lokal di negara-negara tersebut. Inimenunjukkan bahwa pendidikan tinggi vokasi lebih adaptifdengan kondisi Indonesia yang akan mengalami bonus demografi.
Mengakhiri tulisan ini, penulis ingin mengingatkan dansekaligus mengusulkan agar pemerintah juga segeramenerbitkan regulasi atau instruksi presiden tentangrevitalisasi pendidikan tinggi vokasi. Inpres tentang revitaliasipendidikan vokasi untuk level pendidikan tinggi ini penting, sebagai kesinambungan dari Inpres tentang revitalisasipendidikan vokasi pada level sekolah menengah kejuruanyang sudah diterbitkan.

                                                                                                        ———- *** ———–

Rate this article!
Tags: