Revitalisasi Peran Orang Tua Dalam Pendidikan

H. DarmadiOleh:
H. Darmadi
Praktisi Pendidikan, Pemerhati masalah Sosial, Budaya, dan Politik,

Banyak tokoh yang memberikan perhatian penuh tentang anak-anak kita, tentang pendidikan anak-anak kita, tentang siapa yang seharusnya mengawal pendidikan anak-anak kita ketika anak-anak kita keluar dari rumah, ketika anak-anak kita pulang dari sekolah ? dan ketika anak-anak kita kembali ke lingkungan atau sekitar keluarga. Jadi, sangat dibutuhkan sinergi antara keluarga dan institusi pendidikan lainnya.
Kenapa Keluarga ? Karena keluarga adalah lingkungan pendidikan pertama dan utama yang sangat penting dan sangat besar pengaruhnya bagi perjalan hidup anak. Di lingkungan keluarga, anak disipkan kelahirannya, di lingkungan keluarga, anak didik penuh kasih sayang, tumbuh dan berkembang. Dari lingkungan keluarga, anak merancang program dan berangkat belajar, dan beristirahat. Di lingkungan keluarga, terjadi proses komunikasi, interaksi, dan pengaruh mempengaruhi yang sangat intens.
Dalam komunikasi dan interaksi dalam berkeluarga proses pendidikan, baik disengaja ataupun tidak sengaja, baik direncanakan ataupun tidak direncanakan, baik disadari ataupun tidak disadari. Namun demikian, terjadinya proses pendidikan yang tidak disengaja, tidak direncanakan, dan tidak disadari itu ternyata dari segi waktu lebih lama, dari segi frekwensi lebih tinggi, dan dari segi pengaruhnya jika dibandingkan dengan proses pendidikan yang disengaja, diprogram secara matang, dan di sadari yang berlangsung di institusi pendidikan formal seperti sekolah/madrasah.
Karena itu, orang tua selaku pendidik harus berupaya menjadi tokoh yang berwibawa, dihormati dan dicintai, menadi teladan dan panutan. Karena, ibu, misalnya, disebut “al-umm madrasatul ula/ibu adalah institusi utama dalam kehidupan anak”. Posisi yang penting ini tidak cukup dengan menuntut anak supaya ber-birrul walidain, tetapi lebih dari itu, orang tua harus berupaa menjadikan dirinya sebagai tokoh pendidikyang pantas dihormati, dicintai, dan diteladani anak-anaknya. Dalam iklim seperti ini yang menjadikan anak-anak terdidik baik, tumbuh dan berkembang dalam iklim keluarga kondusif, sehingga iklim seperti ini yang mewarnai kehidupan anak, termasuk di sekolah/madrasah dan masyarakat. Jadi, orang tua harus mengawal pendidikan anak mulai dari keluarga sampai sekolah dan keluarga lagi.
Sinergi dengan sekolah penting. Jika anak baik dilingkungan keluarga, semoga juga baik di sekolah/madarasah dan lingkungan yang dilalui anak antara keluarga dan sekolah/madrasah. Karenanya, tugas guru menjadi berat, diperberat dengan stigma kalangan tertentu yang menyalahkan guru. Jika anak nakal sering kali guru yang disalahkan. Padahal, jika orang tua jujur, mestinya harus jujur mengakui bahwa pendidik utama anak-anak kita adalah orang tuanya sendiri, bukan guru, karena guru hanyalah membantu kewajiban orang tua, setelah mereka menerahkan pendidikan anak-anak mereka ke sekolah/madrasah. Kurangnya sinergi keluarga dan sekolah ini terjadi, karena silaturahim orang tua dengan guru, sehingga “hati pendidik” di lingkungan keluarga dan pendidik di sekolah/madrasah “kurang nyambung”, sehingga waktu guru menjadi lebih terbatas dalam mengawal pendidikan anak-anak kita.
Kita perlu refleksi, bahwa kewajiban orang mendidik anaknya tidak mengenal waktu : 24 jam, ketika anak di sekolah/madrasah, kewajiban yang 24 jam berkurang, karena yang 7 jam sudah diserahkan ke sekolah/madrasah, sehingga 17 jam sisanya berada di rumah, dalam iklim dan keteladanan orang tua. Sekali lagi, anak di sekolah/madrasah hanya 7 jam, yang 17 jam di lingkungan keluarga, sehingga menjadi tidak adil jika kegagalan pendidikan anak yang disalahkan justru guru, bukan orang tua,dimana orang tua lebih berkewajiban. Namun, demikian, karena alasan sibuk, tidak jarang orang tua yang cukup menerahkakn pendidikan anaknya ke sekolah/madrasah, bahkan diperparah oleh masyarakat, yang seringmenyuguhkan nilai-nilai yang bertentangan dengan yang diperoleh anak di sekolah dan keluarga, karena di sekolah/madrasah anak-anak dibimbing beribadah, namun sesampai di rumah, anak tidak dapat memperoleh contoh atau teladan dari mereka. Yang lebih parah adalah ketika anak sudah tertarik untuk menerapkan ajaran agama, namun orang tua tidak hanya acuh terhadap kemajuan ini, tetapi justru mematahkannya dengan perilaku orang tua yang tidak taat beribadah, sehingga anak kehilangan reference person (suri teladan) yang ideal. Suasana seperti inilah yang enjadikan anak memperoleh standar ganda, yang bisa jadi sangat kontradiktif bagi pendidikan anak. Disini, pentingnya revalitasi peran orang tua.
Yang tidak kalah penting dari problem sinergi pengawalan pendidikan anak-anak kita adalah merubah minsed kita, bahwa pendidikan tidak sama dengan persekolahan, pendidikan bisa berlangsung dimana saja, disekolah maupun di luar sekolah. Sekolah bukan satu-satunya lembaga pendidikan, tetapi hanya salah satu saja. Penegasan ini penting, karena selama ini sekolah telah mendominasi persepsi masyarakat tentang dunia pendidikan, kalau tidak belajar di sekolah seolah-olah menjadi tidak terdidik. Penulis mengimpikan terjadinya sinergi pada ketiga institusi pendidikan yang dialami anak dalam kehidupan dan eksistensinya memperoleh pengakuan.
Sebagai pamungkas, perlu dikemukakan, bahwa mendidik anak adalah seni. Kemampuan mendidik adalah bagian dari rahmat Allah Swt. Mendidik tidaklah cukup hanya dipelajari dengan otak dan tenaga. Mengawal pendidikan anak tidak cukup jika hanya dikawal orang tua atau guru, tetapi harus dikawal bersama-sama, dan harus selalu dimohonkan dengan doa, doa, dan doa.
Wallahu a’lam.

                                                                                              ———————– *** ———————-

Tags: