Revitalisasi PG Tak Bisa Ditawar dan Ciptakan Varietas Baru

Indonesia pernah berjaya dalam produksi gula pada era 1930-an. Sayang prestasi tersebut tak bisa dipertahankan karena banyak hal. Satu diantaranya adalah usangnya pabrik gula karena warisan zaman Belanda.

Indonesia pernah berjaya dalam produksi gula pada era 1930-an. Sayang prestasi tersebut tak bisa dipertahankan karena banyak hal. Satu diantaranya adalah usangnya pabrik gula karena warisan zaman Belanda.

Mempercepat Swasembada Gula Bersama PTPN XI (bagian – 1)

Tebu, si manis beribu manfaat. Tanaman yang tumbuh subur di Pulau Jawa dan Sumatera ini mempunyai peran vital dalam perekonomian nasional. Sebab budaya masyarakat Indonesia yang menyukai makanan dan minuman manis, telah menempatkan gula sebagai salah satu bahan pokok bersanding dengan beras ataupun minyak goreng.
Berbicara tebu, ada baiknya mengetahui seklumit mengenai tanaman yang bernama ilmiah saccharum officanarum ini. Ternyata, tanaman tebu yang tumbuh lebih di 200 negara ini tidak sekedar dijadikan bahan baku gula. Tapi zat-zat yang terkandung dalam air tebu juga bisa digunakan berbagai obat alternatif.
Ada beberapa kandungan utama senyawa di dalam air tebu. Seperti senyawa octacosanol memiliki khasiat menurunkan kadar kolestrol dalam darah, menghambat penumpukan plak pada dinding pembuluh, serta memberikan perlindungan terhadap oksidasi protein darah.
Air tebu juga banyak mengandung asam lemak seperti asam linoleat (36,1 persen), asam palmitat (25,0 persen), asam oleat (10,2 persen), asam linolenat (6,9 persen) dan asam arachidat (7,6 persen). Pada air tebu juga memiliki efek anti radang dan analgetik (obat penghilang nyeri).
Menurut dr CJ Soegiharjo Apt dari Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, air tebu juga memiliki efek antidiabetik. Air tebu yang mengandung saccharant merupakan senyawa jenis polisakarida nonpati berkhasiat sebagai antidiabetik.
Sayangnya dalam pengolahan menjadi gula pasir, senyawa polisakarida itu pecah saat proses pemanasan menjadi disakarida yang dikenal sebagai saccharosa (sukrosa), senyawa pencetus diabetes. Inilah yang membedakan air tebu dengan gula pasir yang menjadi momok bagi penderita diabetes.
Dengan banyaknya zat yang terkandung dalam air tebu itu, tak heran jika dijadikan obat tradisional multifungsi. Secara tradisional, masyarakat memang sudah memanfaatkan tebu sebagai antiracun, antiseptik, pengencer dahak dan obat lambung. Bahkan air tebu juga dipakai untuk mengobati kanker paru-paru, beberapa tumor dan menyembuhkan luka.
Air tebu bisa digunakan untuk pengobatan gonore dan gangguan vagina. Sedangkan ampas tebu dipakai untuk menutup luka dan membalut patah tulang. Di India, sebagai negara kedua produsen terbesar tebu setelah Brasil, jus tebu menjadi obat untuk tumor di bagian perut.
Terlepas dari banyaknya manfaat kesehatan yang terkandung dalam tebu, realisasi produksi gula di Indonesia mengalami pasang surut. Sempat bertengger sebagai produsen dan eksportir terbesar kedua di dunia setelah Kuba pada dekade 1930-an, kini Indonesia justru menjadi salah satu negara pengimpor gula.
Kalah dari Thailand
Pada 2002 lalu, pemerintah telah mencanangkan target swasembada gula 2007. Untuk mendukung target itu, dibentuklah Dewan Gula Indonesia pada 2003 berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 63 Tahun 2003 tentang Dewan Gula Indonesia. Namun di tengah jalan, target yang dicanangkan tak semudah membalikkan telapak tangan. Target itu pun kemudian diundur terus-menerus hingga kini belum mampu diwujudkan.
Macetnya riset seputar pergulaan, usangnya teknologi pabrik-pabrik gula, hingga tingginya tingkat konsumsi gula diyakini menjadi penyebab sulitnya swasembada gula. Kurangnya investor untuk membuka lahan tebu baru juga turut menyumbang semakin tak tergapainya swasembada gula.
Kasubdit Pemasaran Regional dan Multilateral Direktorat Pemasaran Internasional Kementerian Pertanian, Octa Muchtar mengatakan, jika pada 1930-an jumlah pabrik gula di Indonesia mencapai 179, kini hanya ada 63 pabrik gula (PG). Dari jumlah itu, 53 pabrik merupakan perusahaan milik negara dan sisanya swasta.
Octa menjelaskan, berdasarkan data Kementerian Pertanian, total produksi gula kristal putih pada 2009 sebanyak 2.299.504 ton, sedangkan kebutuhannya sebesar 2.593.658 ton. Angka kebutuhan melonjak tajam pada 2014 mencapai 2.841.897 ton, padahal jumlah produksinya hanya 2.579.173 ton. Sedangkan ditahun 2015, jumlah kebutuhan mencapai tiga juta ton dan produksinya hanya terpenuhi 2,5 juta ton.
Untuk memenuhi kekurangan gula itu, Indonesia mendatangkan gula dari luar negeri. Satu diantaranya dari negara tetangga Thailand. Dibanding Negeri Gajah Putih, Indonesia sangat jauh tertinggal dalam dunia pergulaan. Total produksi gula di Thailand telah mencapai 10,6 juta ton per tahun dari 50 PG. Padahal kebutuhan lokal Thailand hanya dua juta ton per tahun. Sisa produksi itu pun diekspor ke berbagai negara, sehingga menempatkan Thailand salah satu negara pengekspor gula terbesar di dunia bersama Brazail dan India.
Revitalisasi dan Varietas Baru
Sebenarnya, upaya mewujudkan swasembada gula bukan tidak dilakukan. Berbagai terobosan telah dilaksanakan oleh pabrik-pabrik gula ataupun PT Perkebunan Nusantara (PTPN) sebagai induk PG milik pemerintah. Salah satu PTPN yang getol melakukan terobosan situ adalah PTPN XI. Untuk mencapai rendemen maksimal, PTPN XI melakukan berbagai langkah strategis. Seperti dengan memaksimalkan efisiensi dan revitalisasi PG.
“Target rendemen 8 persen optimis bisa kami mewujudkan. Caranya melakukan perbaikan pabrik gula dan meminimalisir kehilangan atau tingkat looses dalam proses pengolahan. Selain itu efisiensi juga kami maksimalkan,” kata Direktur SDM dan Umum PTPN XI M Cholidi.
Perbaikan-perbaikan PG yang dilakukan diantaranya dengan memperbaiki atau mengganti alat penggilingan. Revitalisasi PG ini tak bisa ditawar mengingat mayoritas usia alat pabrik gula di Indonesia sudah udzur karena sejak Belanda. Ada dua PG yang telah diganti penggilingannya, yakni PG Asembagus dan PG Jatiroto. Dengan adanya penggantian itu, diharapkan tingkat ekstraksi menjadi maksimal dan potensi gula dalam tebu bisa dikeluarkan secara maksimal pula.
Tak hanya itu, PTPN XI juga melakukan penyempurnaan beberapa sistem pengolahan dalam pabrik. Penggunaan uap secara efisien telah dilakukan, sehingga tidak ada uap yang terbuang sia-sia. Sebab uap bekas pengolahan ini digunakan untuk memproduksi berikutnya dan seterusnya dan seterusnya.
“PTPN XI menargetkan produksi gula bisa mencapai 470 ribu ton dengan tingkat rendemen sekitar 8,04 persen. Target produksi tersebut lebih besar dibanding pencapaian 2015 yang berada dikisaran 418 ribu ton,” ungkapnya.
Selain merevitalisasi PG, PTPN XI juga melakukan penelitian membuat varietas baru tanaman tebu. Menggandeng Universitas Jember, PTPN XI sukses membuat varietas tebu transgenik yang tahan kekeringan. Tebu transgenik ini dinyatakan sudah lulus dalam pengujian varietas baru, uji kemanan pangan dan uji keamanan lingkungan.
Meski sudah lulus banyak uji, masih ada satu uji yang harus dilakukan yaitu uji keamanan pakan. Ini karena daun dan pucuk tebu banyak digunakan untuk pakan ternak. Uji ini masih belum dilakukan karena Peraturan Menteri Pertanian tentang pedoman uji keamanan pakan belum ada.
“Informasi terakhir draft Permen uji keamanan pakan sudah di meja Menteri Pertanian tinggal ditandatangani. Kalau sudah keluar maka uji kemanan pakan segera dilakukan dan kita harap akhir 2016 ini bibit tebu transgenik sudah beredar,” kata Direktur Indonesia Biotechnology Information Centre, Bambang Purwantara.
Menurut dia, tebu trasgenik ini merupakan salah satu solusi untuk mencapai swasembada gula. Sebab tebu yang ada sekarang dirancang untuk ditanam di lahan sawah, sedang sekarang budidaya tebu sudah bergeser ke lahan kering. Untuk itu, tebu transgenik ini sangat cocok untuk dikembangkan dewasa ini.
Kesuksesan PTPN XI dan Universitas Jember mengembangkan varietas tebu baru, sampai juga ke telinga pelaku bisnis tebu di India. Secara khusus India telah meminta varietas tebu baru ini untuk dikembangkan di negeri yang terkenal dengan bangunan Taj Mahal-nya ini.
“Permintaan India belum bisa dipenuhi karena masih ada uji yang belum terselesaikan. Jika sudah beredar disini baru permintaan India bisa dipenuhi. Sebelumnya juga harus ada perjanjian Hak atas Kekayaan Intelektual (Haki) karena terciptanya varietas tebu baru ini melibatkan PTPN XI dan Universitas Jember. Harus ada kompensasi khusus untuk Haki,” ujarnya.
Dengan banyaknya terobosan yang telah dilakukan PTPN XI ini, sudah sepatutnya diikuti PTPN-PTPN lainnya. Sebab bukan hal yang mustahil jika Indonesia akan menjadi produsen tebu terbesar di dunia melebihi Brazil dan India. Jika Thailand yang hanya memiliki 50 pabrik gula bisa memproduksi 10,6 juta ton, seharusnya Indonesia juga bisa melakukan hal yang sama, bahkan bisa lebih dari itu.
Optimisme ini harus dipupuk, sebab Indonesia memiliki segalanya. Mulai banyaknya pabrik gula, SDM dan lahan yang melimpah hingga tingginya jumlah konsumen bisa menjadi motivasi ganda untuk mewujudkan swasembada gula. (bersambung). [iib]

                                                                                                        ————- *** ————–

Tags: