Revitalisasi Spirit Kepahlawanan

(Refleksi hari Pahlawan, 10 Novemver 2019)

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Mahasiswa S3 FISIP Unair, Surabaya

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” (Bung Karno, 1966)
Setiap tanggal 10 November sering dikenal dan kita peringati sebagai hari Pahlawan. Tanggal itu merupakan tonggak yang paling bersejarah bagi bangsa Indonesia, terutama arek-arek Suroboyo dalam mengusir kolonialisme penjajah dari bumi pertiwi. Pekik Allahu Akbar tersebut mampu menggelorakan semangat kepahlawanan; patriotisme dan nasionalisme rakyat Indonesia dalam menggusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Saat ini merdeka dari kolonialisme penjajah asing sudah terlewati dan selesai. Namun bernahkah kita sudah merdeka dalam arti yang sesungguhnya? Merdeka dari penjajahan fisik perang memang ya, tapi kita belum merdeka dari yang lainya, terutama merdeka dari korupsi dan merdeka dari penjajahan ekonomi. Di zaman kemerdekaan seperti sekarang ini yang paling kita butuhkan adalah bukan pahlawan yang angkat senjata karena memang musuh besar kita bukanlah orang-orang yang bersenjata, melainkan pahlawan-pahlawan bangsa yang bernurani besar yang mampu berjuang secara konsisten dan tanpa pamrih untuk membebaskan negeri ini dari berbagai problem multidimensional.
Begitu juga dengan semangat nasionalisme bangsa kita. Semangat nasionalisme yang dibangun dengan susah payah, penuh dengan pengorbanan darah dan air mata oleh para pahlawan dan para founding father juga saat ini sedang mengalami degradasi. Nasionalisme sosial, politik, budaya, ekonomi dan kemanan bangsa kita pelan-pelan dan pasti terkikis seiring dengan munculnya persoalan multidimensional bangsa ini yang tak kunjung reda. Penjajahan ekonomi dan korupsi adalah dua dari sekian masalah besar yang akan menjadi ancaman serius bagi bangsa kita dalam membangun negara yang maju dan berdaulat jika tidak disikapi secara serius
Penjajahan konvensional yang paling membahayakan negeri ini ke depan adalah ancaman penguasaan asset-asset ekonomi strategis Indonesia oleh pihak asing, dan perampokan uang negara yang berlangsung secara sistematis, struktural, dan masif. Di bidang ekonomi, misalnya, saat ini asing kini menguasai sekitar 70%-80% asset Negara, mulai dari perbankan, telekomunikasi, hingga pertambangan. Sebut saja misalnya; asset di industry perbankan, bangsa asing menguasai lebih dari 50%. Begitu pula di sector migas dan batu baru 70%-75%, telekomunikasi sekitar 70%. Lebih parah lagi adalah pertambangan hasil emas dan tembaga yang dikuasai asing mencapai 80%-85%. Asset negara yang masih kurang dari 50% yang dikusai asing hanya sector perkebunan dan pertanian. Namun demikian, bukan tidak mungkin, dua sector yang berkait dengan hajat hidup orang banyak tersebut pun -pelan tapi pasti- juga akan jatuh ke tangan asing . Pendek kata, kita yang memiliki sumber daya alam yang begitu berlimpah, tapi semua itu hingga kini didaulat oleh perusahaan asing atau orang indonesia yang menjadi cukungnya orang asing atau kaum predator. Hal ini memicu kekhawatiran nasional, dan jika tidak ada dukungan dan kebijakan nasional yang pro rakyat, maka lambat laun seluruh asset negara akan jatuh ke tangan asing. Dan ujungnnya, ketahanan nasional kita akan semakin terancam.
Persoalan lain yang tak kalah parah dan menggerogoti bangsa ini adalah masalah korupsi. Dalam arti luas, pola pada arti sempit “Korupsi “, korupsi seperti panu yang sudah menjamuri seluruh tubuh Republik. Usaha-usaha untuk memberantasnya, baik yang bersungguh-sungguh maupun yang hanya sekadar menjadikanya komoditas politik nasional atau internasional, sudah berulangkali dilakukan. Tapi seperti biasa, setiap usaha, seruan itu diawali selalu dengan tanda seru dan diakhiri dengan tanda tanya besar. Pandangan tentang korupsi memiliki beragam perspektif. Dalam Perspektif sosiologis, H. A. Brasz (1963) memasukan korupsi dalam kategori tanpa aturan hukum, karena selalu ada praduga pemakaian kekuasaan untuk mencapai suatu tujuan selain dari tujuan yang tercantum dalam pelimpahan kekuasaan tersebut. Berbicara terkait dampak korupsi, sebenarnya tidak ansich berkaitan dengan kerugian keuangan negara namun jangkauanya sangat luas. Adanya kemiskinan, kekurangan sumber daya alam, bencana alam, kemerosotan moral adalah salah satu penyakit yang berasal dari kata “korupsi”. Potensi kerugian negara akibat korupsi sudah mencapai puluhan trilujh rupiah.
Berdasarkan data yang dimiliki Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dari tahun 2005 hingga Agustus 2014, terdapat 3.169 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terlibat kasus korupsi baik di tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota. Berdasarkan data Kemendagri, dari tahun 2004-2017 terdapat 392 kepala daerah yang tersangkut kasus hukum. Dari jumlah itu, 313 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Angka ini akan terus meningkat menyusul hasil tangkapan baru dari KPK dalam satu tahun terakhir. Terakhir adalah Walikota Medan Dzulmi Eldin yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK, karena kasus jual beli jabatan. Dalam daftar KPK, Eldin ini menjadi pasien KPK yang ke 120. Sejak penerapan otonomi daerah, sekitar 70 persen dari total kepala dan wakil kepala daerah diseret ke meja hijau. Anehnya, data statistik itu tidak membuat efek jera pejabat-pejabat lain.
Meskinpun penjajahan fisik atau kolonialisme asing sudah berakhir dan kita kini sedang berusaha untuk mengisi kemerdekaan, namun bukan berarti kita tidak membutuhkan para pahlawan-pahlawan baru untuk mengatasi berbagai problem bangsa ini yang cukup krusial. Tantangan dan ancaman bangsa ini bukan dari penjajahan fisik, namun penjajahan non fisik seperti masalah kemiskinan, penguasaan aseet Negara oleh asing, dan masalah korupsi. Masalah terakhir ini yang menjadi rakyat dan negeri ini loyo, miskin, dan tak berdaya dan bahkan mengancam sendi-sendi kehidupan masyarakat dan negeri ini. Sendi-sendiri kehidupan negeri ini menjadi rapuh, lumpuh, tak mampu bangkit apalagi maju.
Inilah bentuk penjajahan gaya baru yang coba dipraktikkan oleh pihak asing dan komprador asing di Indonsia dan tentunya kondisi ini akan menjadi ancaman serius bagi semangat nasionalisme Indonesia dan pembangunan bangsa yang berdaulat. Kedaulatan nasional mudah dipengaruhi bahkan diintervensi oleh pihak asing. Dengan melihat realitas, kita bagaikan hidup di bawah pengaruh dan tekanan asing, tidak bisa lepas (baca: merdeka) dari segala bentuk penjajahan asing, terutama penjajahan politik, korupsi, dan ekonomi. .
Mantan Presiden Soekarno pernah mengatakan; jika ingin membangun nasionalisme bangsa yang kuat, maka harus dibangu, tiga pilar atau yang dikenal dengan Trisakti, yakni: 1) Berkemandirian dalam Ekonomi; 2) Berkedaulatan dalam Politik; dan 3) Berkepribadian dalam Kebudayaan. Problem nasional ini harus menjadi perhatian semua pihak, terutama para pemimpin dan generasi muda bangsa ini. Bagaimana membangun kembali spirit kepahlawanan dan semangat nasionalisme baru Indonesia menuju negara yang maju dan berdaulat?.
Nilai-nilai kepahlawanan dan nasionalisme pada masa kini perlu diaktualisasikan kembali, dan direvitalisasi dalam bentuk sikap, perilaku dan tindakan yang lebih nyata. Negeri ini membutuhkan pahlawan-pahlawanan otentik yang berjuang dan berkorban untuk negeri tanpa pamrih. Bangsa ini membutuhkan pahlawan-pahlawan bangsa yang berani melawan dominasi dan hegemoni asing atas kekayaan sumber daya alam Indonesia dan asset dan melawan penyakit korupsi.

———————— 000 ————————–

Rate this article!
Tags: