Revitalisasi Spirit Kepahlawanan

Umar-Sholahudin (1)Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Hukum FH unmuh Surabaya

Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” (Bung Karno, 1966)
Setiap tanggal 10 November sering dikenal dan kita peringati sebagai hari Pahlawan. Tanggal itu merupakan tonggak yang paling bersejarah bagi bangsa Indonesia, terutama arek-arekSuroboyo dalam mengusir kolonialisme penjajah dari bumi pertiwi. Dengan semangat takbir “Allahu Akbar”, para pahlawan kita mampu mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Pekik Allahu Akbar tersebut mampu menggelorakan semangat kepahlawanan; patriatisme dan nasionalisme rakyat Indonesia dalam mempertahankan dan menggusir penjajah.
Saat ini merdeka dari kolonialisme penjajah asing sudah terlewati dan selesai.  Namun benarkah kita sudah merdeka dalam arti yang sesungguhnya? Merdeka dari penjajahan fisik perang memang ya, tapi kita belum merdeka dari yang lainya, terutama merdeka dari korupsi dan dominasi asing di negeri sendiri. Di zaman modern sekarang ini sebagaimana dinyatakan The Founding Fahter kita, Soekarno, perjuangan saat ini lebih sulit karena melawan “penjajah” dari bangsa kita sendiri. Karena itu, pahlawan yang kita butuhkan bukan pahlawan yang angkat senjata karena memang musuh besar kita bukanlah orang-orang yang bersenjata, melainkan pahlawan-pahlawan bangsa yang  bernurani dan berpikiran besar yang mampu berjuang secara konsisten dan tanpa pamrih untuk membebaskan negeri ini dari berbagai problem mutltidimensional, khususnya masalah korupsi dan dominasi asing terhadap aset-aset Negara..
Penjajahan konvensional saat yang membahayakan negeri ini adalah ancaman penguasaan aset-aset ekonomi strategis Indonesia oleh pihak asing, dan perampokan uang Negara yang berlangsung secara sistematis, struktural, dan masif.
Di bidang ekonomi, misalnya, saat ini Asing kini menguasai sekitar 70%-80% asset Negara, mulai dari perbankan, telekomunikasi, hingga pertambangan. Sebut saja misalnya; asset di industri perbankan, asing menguasai lebih dari 50%.
Sementara di sektor migas dan batu bara 70%-75%, telekomunikasi sekitar 70%. Lebih parah lagi adalah pertambangan hasil emas dan tembaga yang dikuasai asing mencapai 80%-85%. Aset Negara yang masih kurang dari 50% yang dikusai asing hanya sector perkebunan dan pertanian. Namun demikian, bukan tidak mungkin, dua sector “hajat hidup orang banyak” tersebut pun -pelan tapi pasti- juga akan jatuh ke tangan asing. Pendek kata, kita yang memiliki sumber daya alam yang begitu berlimpah, tapi semua itu hingga kini didaulat oleh perusahaan Asing. Hal ini memicu kekhawatiran nasional, dan jika tidak ada dukungan dan kebijakan nasional yang pro rakyat, maka lambat laun seluruh asset negara akan jatuh ke tangan asing.
Kemandirian Ekonomi?
Kemandirian ekonomi Indonesia semakin diperparah dengan semakin menumpuknya utang luar negeri yang semakin tidak terkontrol. Pemerintah Indonesia tidak memiliki kemandiran sama sekali dalam masalah utang luar negeri dan tekanan ekonomi dari pihak luar. Kedaulatan politik dan ekonomi kita di obok-obok sesuai dengan kepentingan asing. Menurut data Bank Indonesia, sampai Agustus 2014 posisi utang pemerintah Indonesia sudah mencapai Rp2.531,81 triliun.
Setiap tahun, setengah dari APBN kita nyaris digunakan untuk bayar utang dan cicilan. Bahkan cicilin dan bunga sudah lebih besar dari utangnya. Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa kita telah masuk dalam situasi yang dalam teori ekonomi internasional di sebut sebagai Fisher Paradox.  Di mana  semakin banyak cicilan yang dibayar berarti semakin besar akumulasi utang sebuah negara. Bangsa asing sangat begitu mudah memberikan utang kepada pemerintah kita. Utang tersebut bukannya menyelesaikan kemelut ekonomi dalam negeri, tapi justru memperparah perekonomian kita.
Saat ini, kita sudah terjerat oleh beban utang luar negeri yang begitu parah. Jika di rata-rata per kepala dan calon bayi yang lahir, penduduk Indonesia menanggung beban utang negara seberasar Rp 7 juta lebih. Bahkan menurut Yuyun Harmono, Program Officer Sekretariat Nasional Koalisi Anti Utang (KAU); besarnya pembayaran utang tiap tahun hampir sama dengan 3 kali anggaran pendidikan, 11 kali anggaran kesehatan dan 33 kali dari anggaran perumahan dan fasilitas umum.
Kondisi ini sungguh sangat ironis, negeri yang sangat kaya raya dengan sumber daya alam yang berlimpah, tapi negara dijerat utang dan rakyatnya jatuh miskin. Penjajahan ekonomi pihak asing terhadap bangsa Indonesia ini lebih kejam dari pada penjajahan fisik dan konvensional pada jaman penjajahan dan kemerdekaan.
Pihak asing melalui berbagai para cukong dalam negeri mampu mempengaruhi dan bahkan memaksa pemerintah Indonesia tunduk dan patuh pada kemaun asing melalui berbagai kesepakatan yang dibuat seperti Memorandum of Understanding (MoU) atau juta Letter of Inten (LoI) dari IFM dan negara atau lembaga donor asing lainnya. Berbagai kesepakatan yang dibuat pemerintah Indonesia dengan pihak asing, selalu merugikan kepentingan pemerintah dan rakyat Indonesia. Bahkan yang paling ironis lagi adalah munculnya para komprador  (baca: cukong asing) dalam negeri yang menjadi kepanjangan tangan kepentingan pihak asing. Praktik ini yang kemudian kita kenal sebagai neo-kolonialisme di bidang ekonomi.
Inilah bentuk penjajahan gaya baru yang coba dipraktikkan oleh pihak asing dan tentunya kondisi ini akan menjadi ancaman serius bagi semangat nasionalisme Indonesia dan pembangunan bangsa yang mandiri dan berdaulat. Bila ketergantungan ini terus berlanjut dan “dipelihara”.
Maka indonesia akan kehilangan kewibawaan dan harga diri. Kedaulatan nasional mudah dipengaruhi bahkan diintervensi oleh pihak asing melalui imig-iming uang. Dengan melihat realitas, kita bagaikan hidup di bawah pengaruh dan tekanan asing dan bangsa sendiri karena itu negeri ini membutuhkan pahlawan-pahlawanan otentik yang berjuang dan berkorban untuk negeri tanpa pamrih. Negeriini membutuhkan pahlawan-pahlawan bangsa yang berani melawan dominasi asing atas aset negara.

                                                                                   —————————– *** —————————–

Rate this article!
Tags: