Revolusi Industri 4.0, Pilih Acuh atau Tak Acuh?

Oleh :
Eka Sugeng Ariadi
Pemerhati Masalah Sosil dan Kmasyarakatan

Banyak yang gugup dan gagap dengan penggunaan istilah 4.0, entah karena belum tahu atau ingin tahu atau tidak mau tahu. Apapun jawabannya, yang pasti era revolusi industri 4.0 sudah berjalan sejak 18 tahun lalu. Perubahan yang paling menonjol di era ini adalah berkembang pesatnya sistem siber dan kolaborasi perusahaan (Irianto, 2017) atau digitalisasi perusahaan (Lee et al, 2013). Pemerintah Indonesia sendiri baru secara resmi merilis roadmap Making Indonesia 4.0 bulan April 2018.
Bagi kita yang baru dengar, baru tahu, baru paham tentang hadirnya era ini, itu artinya kita sudah tertinggal 18 tahun lamanya. Pemerintah pun terlambat meresponnya. Untung ada pepatah “Lebih baik terlambat, daripada tidak sama sekali.” Meski tidak bisa dikatakan sangat terlambat, namun siapkah lembaga pendidikan kita menyiapkan peserta didiknya bersaing dalam perkembangan teknologi digital yang super cepat? Mampukah negeri ini merawat sumber daya manusia (SDM) yang dikatakan menjadi generasi emas nantinya di era tahun 2030 – 2045 sebagai keuntungan demografi?
Kehadiran revolusi industri 4.0 menghadirkan tantangan sekaligus peluang yang tidak mudah untuk dihadapi, khususnya bagi lembaga-lembaga pendidikan (mulai Pendidikan Dasar hingga Perguruan Tinggi) yang notabene adalah ‘produsen’ terbesar SDM bagi dunia industri. Jika pemerintah dan semua elemen yang terlibat sepenuhnya menyadari, kemudian sanggup menyiapkan diri menjawab tantangan cepatnya era disrupsi berjalan serta mampu mengisi setiap peluang/celah yang ada, maka era 4.0 akan kita menangkan di negeri sendiri. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, tak bisa dihindari lagi mayoritas penduduk negeri ini akan menjadi pengangguran di rumah sendiri. Harapan Presiden Joko Widodo adalah dengan hadirnya revolusi ini tidak justru menambah jumlah pengangguran di negara ini.
Fakta kuantitas pengangguran terbuka yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik tahun 2017 per bulan Februari sebesar 7,01 juta jiwa (Sumber: BPS 2017). Tentu bukan jumlah yang sedikit, apalagi pada tahun 2030-2045 negeri ini mendapatkan bonus demografi dimana penduduk usia produktif (64%) lebih banyak daripada penduduk usia non produktif (36%). Artinya jika mayoritas penduduk usia produktif ini mampu bersaing dengan multi-skills yang memang dibutuhkan, maka keuntungan demografi (demographic devidend) akan menjadi hadiah terindah di ulang tahun emas Indonesia. Jika yang terjadi sebaliknya, maka jumlah pengangguran semakin meledak, dan itu artinya kerugian besar akan menimpa (demographic disaster). Berita di sisi lain adalah misalnya hadirnya startup/unicorn (perusahan baru dengan nilai investasi yang besar) telah menandai geliat perekonomian milenial di era sekarang. Harapan paling mendasar tentunya, semoga perusahaan-perusahaan ini benar-benar menjadikan SDM negeri ini sebagai tuan rumah/produsen di negeri sendiri, bukan sebagai tamu/konsumen. Sebab apalah artinya semakin banyaknya startup/unicorn, jika tidak menambah kesejahteraan rakyat sendiri.
Sekolah/madrasah adalah ‘rahim-rahim’ dari lahirnya pekerja-pekerja potensial yang mau tak mau, suka tak suka, memiliki kewajiban untuk mempersiapkan peserta didiknya menjadi siswa 4.0. Siswa yang memiliki kemampuan mumpuni dalam memahami kompleksitas sebuah teks/informasi, mampu menggunakan bermacam-macam teknologi dan aplikasi digital untuk kehidupannya. Jika ‘rahim-rahim’ ini gagal memenuhi kebutuhan kompetensi dan tidak sanggup menjawab tantangan era 4.0, maka sekali lagi, bisa dipastikan bonus demografi yang diharapkan negeri ini semakin sulit direalisasikan.
Yahya (2018) mengingatkan bahwa salah satu cara efektif memenuhi tantangan era 4.0 adalah dengan mempraktikkan secara kontinyu dan serius gerakan literasi di lembaga-lembaga pendidikan. Kemudian, pemerintah secara masif menggencarkan program GLS (Gerakan Literasi Sekolah)/GLM (Gerakan Literasi Madrasah) (Kemdikbud, 2017). Gerakan literasi ini juga sangat ditekankan oleh Aoun (2017) dalam bukunya Robot-proof: higher education in the age of artificial intelligence, khususnya dalam menyiapkan kebutuhan SDM yang diinginkan era industri 4.0. Tiga literasi utama yang direkomendasikan agar segera dikuasai oleh SDM sebuah negara yaitu: Literasi Digital, Literasi Teknologi, dan Literasi Manusia. Dengan literasi digital, diharapkan mampu meningkatkan kemampuan membaca, menganalisis, dan menggunakan informasi di dunia digital. Dengan literasi teknologi ditujukan mampu memberikan pemahaman cara kerja mesin dan aplikasi teknologi, dan yang terakhir dengan literasi manusia diharapkan bisa meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan penguasaan ilmu desain (Irianto, 2017).
Dengan penjelasan di atas, penulis berharap lembaga-lembaga pendidikan acuh terhadap perkembangan dunia saat ini yang semakin cepat berubah dan tentunya fokus pada literasi yang wajib dikuasai oleh pendidik dan peserta didiknya. Pendidik harus mau dan mampu mengejar ketertinggalan literasi teknologi dan literasi digitalnya. Tidak malu untuk belajar dan belajar, meski harus berguru pada peserta didiknya. Karena peserta didik sekarang adalah peserta didik milenial yang ketika mereka lahir di dunia, teknologi digital sudah ada di sekitarnya. Setali tiga uang, peserta didik sudah saatnya memiliki kesadaran bahwa ke depan persaingan hidup yang mereka hadapi lebih berat, karena pesaing mereka bukan lagi manusia normal, tapi robot. Robot sangat mudah ditaklukkan, jika dibuat oleh peserta didik kita sendiri. Namun, jika harus bersaing menjadi sesama pekerja, manusia jelas kalah. Maka dari itu, acuhlah!

———— *** ————

Tags: