Revolusi Mental Perlu Disegerakan

Camera 360Oleh:
Muhammad Ali Fuadi
Peneliti Muda di Monash Institute; Peneliti di LPM IDEA Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang

Gagasan “revolusi mental” yang dipopulerkan Joko Widodo (Jokowi) dan kemudian digunakan sebagai jargon ketika kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) 2014 sangat menarik untuk dikaji, melihat selama ini belum ada penjelasan secara komprehensif mengenai frasa tersebut. Gagasan menarik inilah yang kemudian menghipnotis seluruh rakyat Indonesia untuk mengikuti sekaligus mendukung Jokowi menjadi orang nomor wahid di Indonesia. Selain itu, Jokowi juga terkenal sebagai pemimpin yang bersih, jujur, sederhana, dan merakyat. Oleh karena itu, tidak khayal apabila Jokowi berhasil menduduki jabatan Presiden di Indonesia.
Frasa revolusi mental, diakui maupun tidak telah menyita perhatian banyak orang yang kemudian dipertanyakan oleh mayoritas rakyat Indonesia, baik rakyat desa maupun kota, dari kalangan akademisi maupun non-akademisi, semuanya tertarik untuk mengetahui apa itu revolusi mental. Bahkan oleh para kalangan akademisi, frasa tersebut kemudian didiskusikan apa makna hakiki yang terkandung di dalamnya. Pada kesempatan lain, frasa tersebut pun akhirnya mulai terjawab tepatnya pada acara diskusi publik yang membahas tentang frasa “revolusi mental” di Balai Kartini, pada hari Jumat, 17 Oktober 2014 yang dihadiri Jokowi dan Panda Nababan, sedangkan Najwa Syihab sebagai presenternya.
Dalam diskusi tersebut, Panda Nababan, salah satu politisi ulung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjelaskan dengan cara pada awalnya memperkenalkan organisai Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMK). Selanjutnya dijelaskan bahwa SRMK itu datang dari jauh, sedangkan dulu, Pak Jokowi adalah orang yang seperti mereka. Namun, dengan tekad yang tinggi Pak Jokowi mampu mengubah hidupnya, beliau selalu berusaha ‘mati-matian’ hingga sukses sebagaimana yang kita lihat saat ini. Penafsiran itu digunakan oleh Panda untuk menjelaskan makna revolusi mental yang digagas oleh Jokowi. Sebab, dulu Pak Jokowi merupakan bagian dari mereka, namun kini mampu menduduki kursi presiden.
Untuk mengetahui informasi lebih jelas mengenai makna frasa itu, kemudian Jokowi sendiri yang menyampaikan makna revolusi mental pada acara tersebut. Jokowi menjelaskan revolusi mental merupakan sebuah keniscayaan atau keharusan, karena dewasa ini rakyat Indonesia lupa dan tidak sadar dengan karakter orisinilnya. Yaitu karakter bergotong royong, santun, ramah, dan berbudi pekerti. Idealnya, dengan karakter itu bangsa Indonesia mampu bangkit untuk melawan segala bentuk penjajahan agar segera sejahtera. Selain itu, karakter tersebut adalah modal besar bangsa, yang apabila diindahkan oleh seluruh rakyat, maka negeri ini akan berdikari.
Perubahan karakter itulah yang menyebabkan munculnya permasalahan seperti praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin meningkat. Di sisi lain, karena perubahan karakter itu membuat etos kerja lemah, ketidakdisiplinan, serta birokrasi yang semakin terdegradasi. Parahnya, hal itu dibiarkan saja oleh para pemimpin mereka selama ini sehingga mengakar kuat pada diri bangsa Indonesia. Hal itulah yang menjadi kegelisahan Jokowi sehingga memunculkan frasa revolusi mental. Apabila terus dibiarkan, kemungkinan bangsa ini akan segera hancur.
Tantangan Jokowi
Setelah melihat makna revolusi mental yang disuguhkan oleh Pak Jokowi, apa yang terlintas di benak kita tentu yang berkaitan dengan realisasinya ke depan. Bagaimana langkah Jokowi untuk merekonstruksi karakter bangsa yang sudah sedemikian parah? Beliau menjelaskan bahwa langkah awal yang perlu dibangun adalah melalui jalur pendidikan dan penegakan hukum. Menurutnya, pendidikan harus didesain sebagus mungkin dan berkualitas secara merata. Sedangkan dalam hal penegakan hukum, yang harus dilakukan adalah menegakkan hukum dengan tanpa pandang bulu, karena dewasa ini hukum hanya dijadikan mainan atau “tumpul ke atas dan lancip ke bawah”.
Namun harus disadari bahwa hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Yang perlu direkonstruksi bukan hanya bidang pendidikan dan penegakan hukum saja, melainkan masih banyak bidang-bidang yang lain, apalagi sifat atau watak orang Indonesia sudah tidak memiliki arah yang jelas. Watak orang Indonesia sudah sangat parah, sangat berbeda dengan watak orang yang ada di negara-negara tetangga, sebut saja Vietnam, Singapura, Jepang, Tiongkok, apalagi jika dibandingkan dengan orang-orang yang ada di negara-negara maju Eropa.
Mochtar Lubis, sastrawan Indonesia pada 16 April 1977 berpidato menjelaskan tentang manusia Indonesia yang memiliki 12 sifat negatif, di antaranya adalah; feodal (gila hormat), hipokrit (suka berpura-pura), suka menyembunyikan keadaan sebenarnya, dengki, rakus, suka menipu, suka menggerutu, boros, tidak bersifat pekerja keras, suka dengan tahayul, mental lemah, dan tidak bertanggung jawab. Selang lima tahun, beliau ditanya kembali mengenai sifat negatif yang dimiliki oleh orang Indonesia tersebut, apakah tetap konsisten dengan pendapatnya? Beliau mengatakan bahwa semakin yakin dengan pendapatnya itu. Sungguh ironis bukan?
Nah, itulah yang harus dihadapi Jokowi ke depan. Watak orang orang Indonesia sudah kian parah, sehingga mengharuskan pemimpin kita untuk bekerja lebih keras. Oleh karena itu, presiden Jokowi harus menciptakan konsep secara lebih matang untuk merekonstruksi karakter parah orang-orang Indonesia yang sudah mendarah daging itu. Revolusi mental harus segera digulirkan sedikit demi sedikit-dari hulu hingga hilir-melihat kondisi dan situasi kehidupan ke depan yang sungguh mencemaskan, apalagi akan ada Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang segera bergulir tahun 2015 mendatang.
Revolusi mental akan membawa bangsa Indonesia mencapai peradaban yang sesungguhnya. Oleh karena itu, kita harus mendukung Pak Jokowi untuk membantu mensukseskan kerja-kerjanya selama lima tahun ke depan untuk mengembalikan karakter bangsa yang sudah punah. Kita harus menjaga keaslian, orisinalitas, dan identitas kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Karena pentingnya hal ini, pemerintah harus selalu konsisten untuk mengembalikan jati diri bangsa sedikit demi sedikit. Dan untuk membantu pemerintah, sebagai warga negara kita harus sadar untuk ikut serta membangun Indonesia menjadi lebih baik. Wallahu a’lam bi al-shawab.

                                                                             ————————- *** ————————–

Rate this article!
Tags: