Revolusi Paradigma Pendidik PAUD

Oleh :
Rizka Alifah
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris UIN Walisongo Semarang 

Generasi muda Indonesia tengah mengalami penurunan kualitas atau yang umum disebut sebagai degradasi pemuda. Dalam konteks ini, degradasi yang dimaksud bukan dalam ranah jumlah melainkan lebih pada kualitas akhlak dan kognitif. Penanaman akhlak dan budaya belajar perlu dipupuk sejak anak berada di bangku pendidikan pra sekolah dasar. Lembaga pendidikan pra sekolah dasar yang umum berkembang dalam masyarakat adalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Kanak-kanak (TK).
Mayoritas pemuda dan pemudi di daerah pedalaman mengenyam pendidikan dasar mulai SD/MI (Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah) atau sederajat hingga SMP (Sekolah Menengah Pertama) atau sederajat serta sedikit yang melanjutkan ke SMA (Sekolah Menengah Atas) atau sederajat. Selepas lulus SMP, orang tua lebih banyak mengarahkan putra putrinya masuk sekolah kejuruan, balai pelatihan keterampilan (seperti menjahit, memasak, tata rias, dan lain sebagainya), atau bahkan sekadar mengurus lahan pertanian keluarga.
Fenomena yang demikian terjadi karena disorientasi pemuda, juga atas dorongan keluarganya adalah bekerja atau memperoleh penghasilan dengan cara apapun setelah lulus dari SMP atau SMA meski menjadi budak sekalipun (red: bekerja pada orang lain/buruh). Mereka cenderung bermental inferior akibat penjajahan yang sebelumnya melanda nenek moyangnya selama ratusan tahun.
Perantau Muda
Setelah pengumuman kelulusan mereka selaiknya anak panah yang terlepas dari busurnya menuju kota-kota besar, sehingga muncul istilah pemuda perantauan. Kebanyakan mereka dibawa oleh sanak saudara mereka yang sudah lebih lama bekerja atau nekat pergi tanpa memiliki orang yang dikenal sama sekali di kota-kota perantauan.
Keberuntungan bagi pemuda yang kemudian memperoleh pekerjaan dan bisa menyisihkan sedikit banyak penghasilannya ke kampung halaman sebagaimana tujuan awal kepergian mereka. Namun, tidak sedikit pula pemuda yang kemudian berubah haluan karena pengaruh pergaulan baru komunitas pemuda kota yang kurang baik. Akibatnya penghasilan mereka yang tidak seberapa digunakan untuk berfoya-foya dalam dunia baru mereka.
Terlepas dari nasib pemuda perantauan yang konsisten bekerja, ada pula pemuda perantauan yang hanya bertahan beberapa waktu. Setelah berkelana di kota perantauan dan habis masa kontrak kerja atau belum menemukan pekerjaan baru yang tepat, mereka menyerah dan kembali ke kampung kelahiran sebagai pengangguran. Mereka membentuk komunitas baru dengan pekerjaan serabutan atau musiman sebagai tukang parkir dan penjaga toilet di tempat wisata, sekadar membantu mengatur lalu lintas di persimpangan jalan yang tidak terjangkau polisi saat musim lebaran, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang sesungguhnya tidak perlu kehadiran mereka. Penghasilan yang mereka peroleh kemudian mereka kumpulkan untuk dibelanjakan minuman keras dan menyewa orkes dangdut beserta penyanyinya. Mereka lebih tepat disebut sebagai preman kampung.
Perangai yang demikian kemudian mereka ajarkan kepada anak-anak yang masih di bawah umur. Sebagai contohnya mereka mengajarkan bagaimana cara merokok, mempertontonkan film biru, dan lain sejenisnya. Selanjutnya akan muncul bibit-bibit preman baru berseragam biru tua putih, sehingga tidak aneh lagi saat terdengar siswa SMP mencuri ayam warga kemudian mabuk-mabukan di jalanan bahkan siswi SMP hamil dan dikeluarkan dari sekolah.
Paradoks Pendidikan Indonesia
Pendidikan di daerah-daerah dalam lingkup NKRI sesungguhnya telah merata. Bahkan hingga daerah pelosok pun telah memiliki instansi pendidikan dari PAUD hingga Perguruan Tinggi. Pemerintah melalui ‘Permendikbud Nomor 10 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Tunjangan Profesi, Tunjangan Khusus, dan Tambahan Penghasilan Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah’ telah memberikan upah sebagai jaminan penghidupan yang layak bagi pendidik di daerah-daerah yang berstatus Pegawai Negeri Sipil. Bagi pendidik PAUD dan atau TK berhak menerima upah tersebut setelah melampirkan surat lulus S1 PAUD dan sertifikat pendidik.
Meskipun telah memperoleh jaminan penghidupan, pendidik beserta instansinya di tingkat PAUD dan TK terkesan masih setengah-setengah dalam menjalankan perannya. Bahkan, dalam beberapa kasus terdapat instansi pemerintah maupun non-pemerintah yang mengkomersilkan pendidikan yang seharusnya menjadi hak setiap lapisan masyarakat.
Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa kekurangan dalam pengelolaaan pendidikan masyarakat pada tingkat PAUD dan TK. Di antaranya adalah kenyataan bahwa kualitas internal pendidik sendiri yang masih kurang. Terkadang seseorang yang dianggap sebagai guru PAUD dan TK hanyalah orang yang pandai bermain, bernyanyi, dan bercerita. Padahal, pada saat itu seorang anak tengah mengalami masa keemasan, sehingga mereka memerlukan lebih dari sekadar teman bermain dan bernyanyi.
Implikasi dari banyaknya pendidik PAUD dan TK yang berlaku hanya sebagai teman bermain dan bernyanyi adalah tidak maksimalnya perkembangan anak di masa mendatang. Anak yang seharusnya belajar banyak hal tentang alam dan dunianya yang baru harus diamputasi oleh kualitas pengajar PAUD dan TK yang kurang profesional. Dengan demikian maka perlu ditemukan langkah revolusi paradigma Madrasah al-Uula di Instansi Pendidikan Anak Usia Dini dan Taman Kanak-kanak di daerah-daerah guna membentuk generasi unggul di masa mendatang.
Wallahu a’lamu bi al-shawwab.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: