Ribuan Dosen Tak Punya Jabatan Fungsional

Foto: ilustrasi

Terkendala Publikasi Ilmiah
Surabaya, Bhirawa
Publikasi karya ilmiah masih menjadi problem di kalangan dosen perguruan tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya dosen yang belum mempunyai jabatan fungsional akademik. Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah VII Jatim mencatat, terdapat 9500 dosen yang belum mempunyai jabatan fungsional akademik.
Sekretaris LLDikti Wilayah VII Jatim Widyo Winarso mengatakan, ada 21 ribu dosen di wilayah LLDikti Wilayah VII. Dari jumlah itu, 18.300 orang merupakan dosen tetap. Selebihnya merupakan dosen tidak tetap. Selanjutnya, dari 18.300 dosen tetap tersebut masih 9500 dosen belum mempunyai jabatan fungsional akademik. Kendala utamanya, ujar Widyo, dosen yang bersangkutan tidak mempunyai publikasi karya ilmiah. “Ini yang jadi hambatan. Padahal untuk asisten ahli, setidaknya butuh satu artikel,” tuturnya.
Bagi dosen pemula, publikasi yang dilakukan setidaknya merupakan publikasi tingkat nasional. Publikasi karya ilmiah, ujar dia, merupakan faktor penting bagi seorang dosen. Sebab, jabatan fungsional akademik identik dengan riset dan publikasi.
Karena itu, pihaknya mendorong para dosen pemula untuk aktif membuat riset. Perguruan tinggi juga harus memiliki dana untuk pembiayaan riset dosen muda. Sebab, antrian pendanaan di tingkat pusat juga terbatas. “Pengajuan ke pusat sangat kompetitif,” jelasnya.
Penggunaan dana pribadi dosen untuk riset juga sangat dianjurkan. Namun, kendalanya, biaya riset juga tidak murah. Setidaknya, butuh Rp 5 juta untuk dana riset. Di sisi lain, gaji dosen perguruan tinggi swasta rata-rata Rp 1,5-2 juta per bulan. Untuk itu, perguruan tinggi didorong untuk membantu pembiayaan riset.
Pihaknya mengakui, untuk bisa tembus publikasi memang butuh effort yang besar. Sebab, persaingan juga besar. Karena itu, upaya keras memenangkan kompetisi sangat dibutuhkan. Kapasitas membangun riset yang bagus harus ditingkatkan. Termasuk dari segi tema riset. “Kalau ogah-ogahan ya kalah. Bukan sekadar riset, tapi punya impact dan kompetitif,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Jatim Suko Wiyono menyebut, masih banyaknya dosen yang belum publikasi bukan karena dosen kurang kompeten. Melainkan, karena persaingan yang ketat. Untuk bisa publikasi juga tidak sembarangan. Di antaranya tidak boleh ada plagiasi. “Jadi kalau di jurusan hukum, pasal-pasal dikeluarkan dulu, supaya tidak dihitung plagiasi,” terangnya.
Di sisi lain, jurnal yang terakreditasi juga terbatas. Belum semua perguruan tinggi punya jurnal terakreditasi. Bagi yang punya pun, tidak semua program studi jurnalnya terakreditasi. Dia memisalkan, dari 15 prodi di satu perguruan tinggi, bisa saja baru 3-4 prodi yang jurnalnya terakreditasi. “Antrian untuk bisa tembus jurnal terakreditasi juga panjang,” katanya.
Meski begitu, pelatihan terhadap para dosen terus dilakukan. Terutama, terkait penulisan jurnal yang baik. Pihaknya juga mengajak perguruan tinggi untuk mendorong para dosen aktif melakukan riset. “Biasanya ada bonus yang diberikan, misalnya dosen berhasil nulis buku, atau bisa masuk jurnal SINTA, jurnal internasional, ada bonus atau insentif,” ujarnya.
Para dosen, imbuh dia, juga harus memacu diri. Sebab, jika tidak melakukan publikasi, maka dosen itu sendiri yang akan rugi. “Karena dia tidak akan naik pangkat,” pungkas dia. [tam]

Tags: