Ribuan Warga Lereng Kelud Gelar Ritual Sesaji di Puncak

6-FOTO KAKI mb2-sesaji IMG_00000356Kab Kediri, Bhirawa
Ribuan warga di sekitar lereng Gunung Kelud, Kabupaten Kediri menggelar ritual sesaji yang pertama kali paska erupsi Gunung Kelud yang terjadi bulan Februari lalu, Minggu (2/11). Dengan menggunakan pakaian Khas Jawa mereka membawa Tumpeng ke kawasan puncak Gunung kelud sarana ritual. Nasi tumpeng yang terdiri dari beberapa jenis sayur lengkap dengan nasi berbentuk gunung.
Dalam pelaksanaan ritual kali ini ada sedikit perbedaan dari tahun sebelumnya, jika sebelumnya lokasi ritual ada di area kawah, namun kali ini ritual dilakukan di atas jembatan yang berjarak kurang lebih 500 meter dari area parker. Hal ini dilakukan karena kondisi area kawah yang tidak memungkinkan.
Camat Ngancar, Kabupaten Kediri Ngaseri mengatakan, ritual tersebut bagian dari rasa syukur warga sekitar atas rahmat Tuhan dengan karunia gunung yang membawa berkah bagi warga sekitar meskipun Gunung kelud juga menjadi ancaman. “Inilah wujud syukur warga, keberadaan gunung bisa menjadi ancaman juga bisa menjadi berkah. Berkah itulah yang saat ini sudah banyak dinikmati warga sehingga selayaknya bersyukur,” kata Ngaseri.
Pemandangan lain terlihat di area parkiran, ribuan tumpeng terkumpul dari warga sekitar, dan  tempat tumpeng terbuat dari pelepah pohon pisang yang dibentuk sedemikian rupa. Inilah sesaji yang disuguhkan masyarakat.
Hanya beberapa tumpeng utama atau disebut Tumpeng Robyong yang dibawa ke puncak. Itupun tidak sampai ke kawahnya. Hanya berjarak sekitar 2,5 kilometer dari puncak lalu dibacakan doa oleh para sesepuh desa. Selanjutnya setelah dibacakan do’a-do’a oleh sesepuh desa tumpeng utama yakni tumpeng robyong ini menjadi rebutan pengunjung yang hadir dalam upacara ritual ini.
Di Probolinggo
Sementara itu, prosesi sakral ‘Larung Sesaji Bumi’ merupakan budaya Jawa yang digelar tiap tahun.  Prosesi tersebut, tahun ini dilaksanakan Selasa, (28/10) lalu di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Mayangan, Kota Probolinggo. Diharapkan bisa menjadi salah satu Wisata Budaya Kota Probolinggo ke depannya. Hal ini diungkapkan Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya dan Pariwisata (Dispobpar) kota Probolinggo, Paeni Efendi, Minggu (2/11).
Menurutnya rangkaian acara yang  sebelumnya digeber oleh PAMU (Purwo Ayu Mardi Utomo) tersebut. Diantaranya, Juanda Menari, dilanjut keesokan harinya ruwatan massal, serta Pagelaran Wayang Kulit semalam suntuk dengan lakon ‘Semar Sang Jiwo Manulyo’.
“Guna memperkuat potensi budaya yang ada, serta melestarikannya sebagai warisan budaya adiluhung, ritual larung sesaji bumi rutin digelar setiap tahun. Orang Jawa sering mengatakan Suro’an. Acara ini digelar bekerja sama dengan PAMU untuk menyambut tahun baru Jawa 1 Suro 1948 Ehe,” paparnya.
Ritual ini, mempunyai makna membersihkan aura negatif alam, bumi, air, dan angin agar semua potensi alam bisa memberikan kesejahteraan dan terhindar dari bencana. Sekaligus memupuk persatuan dan bentuk kebersamaan masyarakat.
Secara terpisah Walikota Probolinggo Hj Rukmini mengungkapkan, “Masing-masing daerah memiliki ciri khas budaya yang unik dan beragam. Untuk itu sebagai anak bangsa harus bisa dan mampu melestarikan budaya khas ini sebagai jati diri nmasyarakat kita,” ungkapnya.
Larung sesaji juga diharapkan bisa menjadi salah satu wisata budaya kota Probolinggo di kancah regional maupun nasional. Mengingat juga berhubungan dengan peningkatan perkembangan dan kemajuan dari berbagai sektor pembangunan, baik kebudayaan, kepariwisataan, perekonomian serta pendidikan.
Pada acara tersebut terdapat acara panggeh atau penjemputan pinisepuh menuju tempat prosesi larung. Ki Guco Bambang Suripono bersama rombongan pembawa pusaka dan sesaji dijemput oleh penari cilik yang di awal tadi menghibur masyarakat.
Rombongan tampak membawa kepala sapi, tumpeng sewu, bubur abang putih, bubur sengkala atau tumpeng, serta hasil bumi, laut dan hewan ternak lainnya yang dihias khusus. Usai menceritakan makna masing-masing sesaji, Ki Guco langsung memimpin doa. Selanjutnya seluruh sesaji dijadikan satu dalam gethek yang akan dilarung ditengah laut.
Peserta larung sesaji bumi sendiri sejumlah 250 orang, dari berbagai daerah. Bukan hanya dari Kota Probolinggo, termasuk dari luar daerah seperti Banyuwangi, Madura, Jawa Barat,  sampai dari Amerika, dan Australia, ungkapnya.
“Budaya spiritual ini untuk keseimbangan alam, ibaratnya ada bahaya dari alam akibat dari alam yang tidak diopeni. Maka, ini bagian dari sedekah untuk bumi, termasuk laut yang digali hasilnya.  Kita doakan, agar bisa memberi manfaat terus menerus bagi manusia,” katanya.
Kegiatan ini merupakan budaya bangsa yg sudah mulai ditinggalkan dan kurang diminati. Untuk itu agar tidak punah, harus tetap  dilestarikan. Peminat sebenarnya banyak, hanya masyarakat masih merasa gengsi dengan budaya spiritual semacam ini.
Sekilas Paeni menunjukkan makna dari berbagai sesaji itu. Sebagai sebuah perlambang atau media untuk mempermudah mengingatnya. Misalnya, jenang abang putih (bubur merah putih) perlambang kelahiran kita berasal dari ayah dan ibu. Termasuk tumpeng dan sesaji lain yang memiliki tersendiri. [mb2,wap]

Keterangan Foto: Sesepuh Desa membacakan doa-doa, dalam Ritual Sesaji Tahunan di Area Puncak Kelud. [ervan cholis/ bhirawa]

Tags: